Minggu, 28 Agustus 2016

Perfect For Me

Author : Reni Retnowati
Cast : Kim Jong Hoon, Park Hye Ri, etc.
Length : Oneshot

Happy reading!

~

"Hye?"

"Hmm."

"Park Hye Ri?"

"Ya?"

"Lihat aku."

"Aish! Wae?"

~Chu~

"Ya!! Oppa!!"

Wanita bernama Hye Ri itu melempar bantal sofa ke arah pria yang baru saja menciumnya tanpa ijin.

Pria yang saat ini sudah berlari dan menyembunyikan diri di kamar.

"Oppa! Buka pintunya! Kenapa kau suka sekali menciumku secara tiba-tiba seperti tadi?"

Dia mengetuk pintu kamar secara bertubi-tubi, memaksa untuk masuk.

"Hey, kau kan istriku. Aku berhak untuk menciummu setiap saat."

Suaranya teredam oleh pintu.

"Tapi bukankah sudah ku katakan, aku tidak suka jika kau menciumku seperti itu. Anak kita tidak menyukainya."

"Aku tahu itu hanya alasanmu saja."

"Tidak! Aku mengatakan yang sebenarnya."

"Lihatlah! Suaramu mulai berubah."

"Jonghoon oppa, cepatlah buka pintunya."

Dia mulai merengek.

"Baiklah baiklah, jangan menangis."

Jonghoon membuka pelan pintu dan mendapati sang istri tengah cemberut seraya mengusap-usap perutnya.

"Ada apa? Apa kau tadi berlari?"

Nadanya terdengar sedikit panik. Sedang yang ditanya hanya mengangguk.

"Aish! Aku kan sudah memperingatimu, berhati-hati. Kau sekarang sedang mengandung, ada nyawa lain yang harus kau jaga."

"Aku tahu, aku hanya berlari kecil tadi."

"Lalu apa kau baik-baik saja? Perutmu?"

Pria itu langsung menekuk lutut dan menghadapkan wajah ke perut rata Hye Ri lalu mengusapnya.

Kandungannya baru berumur 2 bulan, jadi perutnya masih belum terlihat membesar.

"Aku baik-baik saja."

Hye Ri mengusap lembut rambut pria yang tengah menciumi perutnya itu.

"Oppa, geli."

Dia terkekeh dan berusaha menjauhkan kepala sang suami.

"Aegi-ya, baik-baiklah di dalam. Appa akan menjagamu dan eommamu. Jangan menyusahkan eomma, eoh?"

"Ne, appa."

Hye Ri mengatur suaranya agar terdengar seperti anak kecil seraya memperhatikan Jonghoon yang berdiri setelah mencium perutnya.

"Ada apa?"

"Apa?"

"Kau selalu tersenyum saat melihatku."

"Memangnya aku tidak boleh tersenyum saat melihatmu?"

"Bukan seperti itu. Tapi kau terlihat aneh."

"Aneh apanya?"

"Ya aneh."

"Ya, terserah kau sajalah."

Dia mengacak rambut seraya berjalan ke dapur dengan istrinya mengikuti di belakang.

"Kau lapar?"

"Tidak, hanya haus."

"Ingin ku buatkan sesuatu?"

"Apa Kim ajhuma tidak menyiapkan apa-apa?"

"Dia tidak kemari hari ini. Hana sedang sakit jadi dia meminta izin untuk menjaganya."

"Sakit? Kau tidak memberinya libur?"

"Sudah. Aku memberinya libur untuk tiga hari."

"Apa kita perlu kesana? Kita bisa membeli buah untuk anak itu."

"Aku juga berniat seperti itu. Tapi ajhuma melarang, dia mengatakan Hana hanya demam ringan dan akan segera membaik."

"Benarkah? Baiklah. Kau bisa meminta ajhuma untuk mengajaknya kemari saat dia sembuh nanti."

Jonghoon berdiri di depan lemari pendingin dan membukanya.

"Ya. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan anak itu."

Hana, anak kecil berusia 7 tahun itu merupakan anak dari Kim ajhuma, wanita yang sudah bekerja bersama keluarga Hye Ri selama lebih dari 15 tahun dan sekarang bertugas di rumah Hye Ri semenjak gadis itu menikah.

"Kau sungguh tidak ingin ku buatkan sesuatu? Kau belum makan apapun sedari tadi."

"Tidak, tidak perlu. Kau istirahatlah, waktunya tidur siang."

"Tapi aku tidak mengantuk."

Dia berhenti dan memilih duduk di meja makan, seraya memperhatikan suaminya yang tengah menegak air mineral.

Pria itu lalu berdiri di sampingnya setelah terlebih dahulu meletakkan botol kosong ke wastafel.

"Ingin jalan-jalan?"

"Kemana?"

Jonghoon melirik jam di pergelangannya.

"Ke tempat favoritmu?"

"Pantai?"

Hye Ri langsung berdiri dan menampilkan wajah sumringah dan dibalas anggukkan oleh sang suami.

"Baiklah, ayo cepat pergi. Sekarang."

Dia menarik-narik baju yang dikenakan pria itu.

"Hey, semangat sekali."

Suaminya itu tampak terkekeh dan memperhatikan pakaiannya.

"Ganti dulu pakaianmu."

"Haruskah?"

"Kenapa? Tidak ingin menggantinya? Kalau begitu gunakan jaket saja."

"Baiklah. Aku akan mengambilnya dulu."

Jonghoon mengangguk dan mengikuti Hye Ri yang berjalan ke kamar. Dia lalu berhenti dan bersandar di pintu kamar.

"Sayang, bisa kau ambil ponselku di ranjang?"

"Sebentar."

Wanita itu terlihat kesulitan untuk menemukan sesuatu dari lemari.

"Apa yang kau cari? Jaketmu sudah ada di tanganmu."

Ucapnya saat sadar kalau wanita itu sudah menemukan jaketnya tapi masih saja sibuk mencari sesuatu.

"Aku mencari ini."

Sebuah jaket hitam disodorkannya kemudian.

Dia tidak hanya menyiapkan untuk dirinya tapi juga untuk sang suami.

"Ponselmu." Ucapnya lagi.

"Terima kasih, sayang."

Jonghoon memasukkan ponsel ke saku jaket dan kemudian merangkul Hye Ri lalu berjalan keluar.

~

"Bagaimana? Sudah puas? Kita sudah tiga kali berjalan kesana-kemari."

Jonghoon mengusap lembut rambut wanita yang tengah menikmati es krim itu.

"Sudah. Maaf jika aku membuatmu lelah."

"Justru aku yang khawatir jika kau kelelahan."

"Tidak. Aku tidak lelah sama sekali."

"Benarkah?"

Jonghoon mengusap sudut bibir Hye Ri yang kotor oleh es krim.

"Ya. Kau sudah lama tidak mengajakku pergi ke tempat ini."

"Maaf, kau tahu aku sibuk belakangan ini."

Dia mengangguk dan menyodorkan es krim coklatnya ke mulut Jonghoon.

Saat pria itu berniat memakannya dia justru menyodorkannya lagi dan membuat es krimnya menempel di hidung dan sudut bibir sang suami.

"Park Hye Ri !!"

Ucapnya sedikit garang sedang yang ditatap hanya terkekeh dengan wajah puas.

"Eits, jangan."

Menahan tangan Jonghoon yang hendak membersihkan hidungnya.

"Tanganmu bisa kotor."

Dia membuka tas dan mengeluarkan selembar tisu basah.

"Kau juga yang membuatnya kotor."

"Baiklah baiklah, maaf."

Wanita itu berniat membersihkan hidung Jonghoon namun pria itu menunduk karena ponsel di saku jaketnya bergetar. Sebuah panggilan masuk.

"Ya, nona Park?"

Hye Ri mengangkat dagu sang suami dan membersihkan hidungnya. Tidak ingin tahu perbincangan antara pria itu dan sekretarisnya.

"Aku tidak bisa ke kantor. Aku sedang mengurus temanmu ini."

Hye Ri memandang lalu memukul ringan perutnya.

"Ya, kau kirim saja melalui E-mail, aku akan memeriksanya malam nanti."

Dia menatap sang istri yang masih sibuk membersihkan hidung dan bibirnya.

"Ya, dan jangan lupa juga kau kirimkan hasil rapat kita kemarin. Aku sendiri yang akan mengirimnya pada Jung Soo."

"Ada apa? Ada pekerjaan mendadak?"
Hye Ri kembali fokus ke es krimnya setelah tugasnya selesai.

"Tidak. Hanya beberapa berkas yang perlu ku periksa."

"Apa Hye Soo belum mengambil cuti?"

"Belum. Aku bahkan sudah memintanya beberapa kali."

"Aku lama tidak melihatnya, pasti dia terlihat gendut sekali."

"Tentu saja, kandungannya kan sudah hampir 7 bulan."

"Apa nanti aku akan seperti itu? Badanku akan membulat dan wajahku membengkak?"

"Justru kau akan aneh jika tidak seperti itu, sayang. Sekarang saja nafsu makanmu sudah meningkat."

Perkataannya berhasil menghentikan Hye Ri yang berniat memakan potongan terakhir es krimnya.

"Eoh? Benarkah?"

Matanya sedikit membesar.

"Benar."

Jonghoon memajukan wajah dan memakan sisa es krim di tangan istrinya itu.

"Jadi?"

"Jadi apa?"

Dia mengeluarkan tisu basah lagi lalu membersihkan tangan dan bibirnya.

"Jadi jika tidak ingin tubuhmu membesar, berhentilah makan makanan ringan terutama coklat."

"Tapi aku kan tidak terlalu sering memakan coklat."

"Benarkah? Lalu siapa yang setiap hari meminta ku untuk membeli es krim, cake dan makanan lainnya? Bahkan lemari pendingin kita penuh dengan cemilan milikmu."

"Tapi itu kan-"

"Tapi apa, sayang? Kau bahkan selalu membawa cemilan ke kamar."

Jonghoon memojokkan wanita yang tengah memainkan tisu basah di tangannya itu.

Hye Ri sedikit sensitif tentang berat badan, dia akan berhenti makan saat seseorang mengatakan kalau badannya terlihat gendut atau pipinya membulat.

Dia tidak akan peduli walaupun yang dikatakan itu hanya untuk menjahilinya dan bukan benar-benar karena badannya yang membesar.

"Hey, matamu mulai berkaca-kaca. Apa kau ingin menangis?"

Jonghoon justru semakin semangat untuk menggodanya.

"Oppa."

"Kau benar-benar ingin menangis, eoh?"

Ingin rasanya tertawa saat melihat wajah Hye Ri yang mulai berkaca-kaca.

"Kau jahat sekali."

Suaranya bahkan terdengar lirih sekarang.

"Hahaha, jangan menangis, sayang. Aku hanya bercanda."

Jonghoon mengusap-usap lengan istrinya yang tengah menunduk.

"Kau selalu saja seperti itu. Kau tidak gendut. Dan kalaupun badanmu membesar nanti kau akan tetap terlihat cantik di mataku."

"Pembohong."

"Heish, aku serius. Untuk apa aku berbohong?"

Jonghoon menarik badan Hye Ri dan memeluknya.

"Sudahlah, jangan seperti itu. Kau tahu aku hanya berniat menggodamu tadi."

"Hmm."

"Kita pulang saja, bagaimana?"

Wanita itu mengangguk dan menarik tubuhnya menjauh.

~

Jonghoon merebahkan tubuh ke ranjang dengan kemeja kerja yang masih menempel di tubuhnya.

Akhir-akhir ini pekerjaannya semakin menumpuk dan terkadang membuatnya harus bertahan di kantor hingga larut malam bahkan hingga pagi hari.

Hal itu membuat waktunya bersama Hye Ri berkurang, dia bahkan sering tidak bisa menemani istrinya saat wanita itu merasa tidak enak badan karena mual-mual yang dialaminya setiap pagi atau tubuhnya yang sering terasa pegal karena perutnya yang sudah semakin membesar.

Karena itulah hari ini pria itu sengaja membawa sebagian pekerjaannya ke rumah, walaupun semenjak pulang tadi dia disibukkan oleh berkas-berkas itu.

Setidaknya kehadirannya bisa membuat Hye Ri tidak merasa kesepian lagi.

"Oppa, bangun."

Wanita itu muncul lalu meletakkan nampan berisi minuman hangat ke meja di samping ranjang.

Dia menarik pelan tangan sang suami yang tidur dalam posisi tengkurap.

"Minumlah dulu."

"Nanti saja."

Suaranya terdengar lirih karena posisi wajahnya yang menindih bantal.

"Jangan seperti itu, cepatlah. Kau tidak kasihan padaku? Aku sudah membuatkan ini untukmu."

"Baiklah baiklah."

Dia bergegas bangun dan duduk berhadapan dengan Hye Ri.

"Ini, dan obatnya."

Wanita itu menyodorkan gelas minuman dan obat yang diambilnya dari laci meja rias tadi.

Jonghoon sedikit demam dan membuatnya memaksa pria itu untuk membatalkan rencana kencannya bersama berkas-berkas dan proposal yang bertumpuk di ruang kerja.

Tangannya terulur mengusap wajah Jonghoon yang terlihat semakin pucat.

"Apa kepalamu pusing?"

"Sedikit."

Dia meletakkan gelas kosongnya ke nampan.

"Apa aku perlu menghubungi dokter Hoon dan memintanya kemari?"

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja, jangan khawatir."

Pria itu meletakkan bantal di belakang tubuh Hye Ri.

"Bersandarlah."

Perintahnya yang langsung dituruti oleh wanita itu.

"Bagaimana perutmu? Apa kau mual lagi pagi ini?"

"Ya, seperti biasa. Dia semakin aktif bergerak."

Dia menyentuh tangan Jonghoon yang tengah mengusap perutnya.

"Maaf, aku jadi sering meninggalkanmu akhir-akhir ini."

"Tidak apa. Aku tahu kau sibuk."

"Sayang, maafkan appa. Appa tidak bisa menemani eomma menjagamu. Kau baik-baiklah disana, eoh?"

Pria itu mengusap lembut perut Hye Ri dan menciumnya.

"Oh, astaga!"

"Apa? Ada apa?"

Tapi kemudian dia dibuat terkejut oleh suara sang istri yang mendadak terdengar.

"Dia menendang keras sekali."

Wanita itu meringis dan menggenggam erat tangan Jonghoon.

"Benarkah? Sakit?"

Pria itu jadi panik dan menciumi perut dan tangan Hye Ri bergantian, berniat mengurangi rasa sakit yang dirasakan istrinya.

"Kenapa kau diam? Apa sakit sekali?"

Hye Ri hanya mengangguk seraya tersenyum kecil.

"Lalu kenapa tersenyum? Aku panik disini, sayang."

"Maaf."

Dia melepas genggamannya dan mengusap pelan wajah Jonghoon.

"Maaf membuatmu panik. Tadi sakit sekali tapi aku sudah terbiasa."

"Aku seharusnya bisa lebih tenang."

Pria itu lagi-lagi mencium perutnya.

"Apa kau sering merasa kesakitan seperti tadi?"

"Dia sering menendang-nendang perutku, tapi hanya sesekali tendangannya begitu keras seperti tadi."

"Benarkah? Maaf."

"Sudahlah, jangan seperti itu. Kau istirahat saja sekarang."

Hye Ri menarik tangan Jonghoon agar pria itu merebahkan tubuh di sampingnya.

"Pekerjaanku sangat banyak tapi aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi."

"Karena?"

"Karena ada istriku yang sedang hamil hanya sendirian di rumah."

"Bukankah aku bersama Kim ajjhuma?"

"Memang. Tapi aku ingin menjagamu dengan tanganku sendiri."

"Aku tahu kau ingin seperti itu. Tapi kau seorang atasan, tidak baik jika meninggalkan pekerjaan."

"Dan bisakah istriku lebih mementingkan dirinya daripada pekerjaan suaminya?"

"Bukankah aku istri yang baik? Wanita yang baik akan selalu mendukung suaminya tanpa egois meminta seluruh waktu agar diberikan untuknya."

"Lalu jika memang aku ingin memberikan semua waktuku untukmu bagaimana?"

"Ada saatnya. Sekarang kau harus bisa menentukan mana yang lebih penting. Kau kan pria yang bertanggung jawab."

"Hm. Pria bertanggung jawab yang membiarkan istrinya kesepian."

Jonghoon melingkarkan tangan ke pinggang Hye Ri dan menariknya.

"Sebenarnya kau kan yang kesepian karena tidak bersamaku?"

"Kau cukup pintar untuk menyadarinya. Seandainya kau tahu kelakuan buruk Kyuhyun saat dia datang ke ruanganku. Dia akan sengaja berlama-lama disana dengan alasan menemani Hye Soo. Padahal aku tahu jika alasan terbesarnya adalah untuk menjahiliku."

"Dia jauh lebih muda darimu tapi kau kalah dengannya?"

"Wow! Tunggu dulu."

Wajahnya yang semula dibenamkan di bantal, ia angkat untuk menatap wajah sang istri.

"Kalah dalam segi apa, istriku? Kalah karena Hye Soo hamil lebih dulu darimu?"

"Ya!!"

Pria itu hanya tertawa dan sedikit menjauhkan wajah.

Menyelamatkannya dari sang istri.

"Mesummu lebih tinggi darinya ternyata."

"Dia yang mengajariku."

"Kalau begitu jauhi Kyuhyun. Pria itu jika sudah disatukan denganmu akan menyebabkan perang dunia ketiga."

"Tidak akan. Harus ada senjata nuklir yang digunakan. Mungkin Kangin bisa membantu."

"Ey, Kangin oppa tidak seburuk itu."

"Cih. Kau bahkan tahu seberapa tajam ucapannya."

"Tapi aku tidak merasa itu buruk."

"Tentu saja. Karena kau menyukainya."

"Kau mengenalku dengan baik."

"Sayang."

"Baiklah. Aku hanya bercanda."

Hye Ri menarik selimut menutupi tubuhnya dan sang suami.

"Tidurlah. Bicaramu sama sekali tidak berkurang walaupun kau sakit."

"Karena aku menyukai saat harus bicara denganmu."

Pria itu kembali memeluknya.

Lebih erat.

"Dan menyukai saat kau memarahiku."

"Baiklah. Tidur saja. Sebelum kau bicara yang tidak-tidak."

"Hm. Selamat malam, sayang."

~

"Permisi, sajangnim."

Min Ae -sekretaris sementara Jonghoon- masuk ke ruangan atasannya setelah terlebih dahulu mengetuk pintu beberapa saat yang lalu.

"Ya."

"Ini berkas yang anda minta."

Gadis itu meletakkan beberapa berkas.

"Min Ae-ssi, apa jadwalku setelah ini?"

"Tidak ada sajangnim, meeting tadi adalah jadwal terakhir anda hari ini."

"Benarkah? Baguslah."

Pria itu menyerahkan berkas yang sudah di tandatanganinya.

"Kau bisa pulang sekarang."

"Baik, sajangnim. Saya permisi."

Jonghoon tersenyum dan meraih jas hitamnya.

Pria itu terdiam saat melihat ponselnya yang bergetar karena ada panggilan masuk.

"Ya, tuan Lee?"

Ucapnya lalu mengaktifkan mode loud speaker di ponsel dan meletakkan benda itu ke atas meja.

"Berhenti memanggilku seperti itu, hyung! Dimana kau?"

"Di kantor. Ada apa?"

"Kemarilah, ke apartemen ku. Ada Siwon dan Hyukjae disini."

"Benarkah?"

Dia melirik jam tangannya. Pukul 5 tepat.

"Aku akan kesana. Tunggu saja."

"Ya."

Pria itu meraih ponselnya dan segera mengetik pesan untuk Hye Ri.

"Sayang, aku akan pulang sedikit terlambat hari ini. Aku ada janji bersama Donghae dan yang lain." Isi dari pesannya.

~

"Hei tuan Lee. Ada kabar apa dari gadis khayalanmu itu?"

Baru saja tiba, Jonghoon langsung mengajukan pertanyaan untuk pria yang tengah sibuk memainkan ponsel dan duduk di sofa.

"Sepertinya gadis itu sudah kembali ke negeri asalnya, hyung."

Sahut Donghae.

"Bukankah sudah ku katakan, gadis itu bukan gadis khayalan! Kalian saja yang tidak pernah melihatnya."

Ucapnya tidak terima.

"Lalu apa kau sendiri pernah bertemu dengannya?"

Siwon ikut menimpali.

"Kami berencana bertemu beberapa hari lagi."

"Itu sama saja, Hyukjae-ssi. Kau belum pernah bertemu dengannya."

Jonghoon mengangguk menyetujui perkataan Donghae.

Dia lalu meraih kaleng minuman di hadapannya. Membuka dan menegak isinya.

"Mungkin saja dia gadis jadi-jadian."

"Ya! Lee Donghae!"

"Ya! Lee Hyukjae!!"

"Ya! Kalian berdua!"

Siwon melempar bantal sofa dan mendarat tepat di wajah Hyukjae.

"Ya!!!"

Pria itu tidak terima dan berniat melempar kembali bantal itu.

"Berani kau melemparnya? Kau akan mati di tangan Jonghoon hyung."

Perkataan Siwon membuat pria yang disebut namanya jadi tersedak.

"Ya! Kenapa jadi namaku yang kau bawa-bawa? Jika ingin membunuhnya, bunuh saja menggunakan tanganmu sendiri. Aku juga sudah muak melihatnya."

"Kau pikir aku tidak muak padamu, hyung?"

Pria itu berdiri dan melempar bantal tadi ke sofa lalu berjalan dengan wajah kesal ke dapur.

"Jangan berani melampiaskan kekesalanmu pada dapurku, myeolchi bodoh!"

Donghae bergegas berdiri dan mengikuti Hyukjae, sedang Siwon dan Jonghoon hanya terkekeh melihatnya.

"Bagaimana keadaan istrimu, hyung?"

"Baik. Walaupun wanita itu terkadang sedikit susah menjaga dirinya agar berdiam diri di rumah."

Jonghoon melonggarkan sedikit ikatan dasinya.

"Dia pasti kesepian."

"Kau benar. Ditambah lagi belakangan ini aku sering pulang terlambat karena ada beberapa proyek yang masuk list deadline bulan depan dan memaksaku harus lembur di kantor."

"Kenapa kau tidak biarkan dia tinggal bersama eommanya atau ajjhuma? Dia tidak akan kesepian dan jadi ada yang menjaganya."

"Aku sudah memintanya, dia saja yang selalu menolak dan beralasan tidak ada yang mengurusku jika dia tinggal bersama mereka."

"Cah, wanita. Terlalu banyak pertimbangan."

"Lalu bagaimana hubunganmu dan Young Me? Aku dengar gadis itu baru kembali dari Paris."

"Ya, dia datang minggu lalu. Hubungan kami baik-baik saja, bahkan kami mulai membicarakan tentang pertunangan."

Siwon mengalihkan pandangan pada Donghae yang kembali dari dapur dengan Hyukjae mengikuti dari belakang.

"Benarkah? Baguslah. Lebih cepat lebih baik, dan Jiwon tidak perlu bersedih lagi karena selalu menunda pernikahannya karenamu."

"Gadis itu hanya berkoar-koar memasaku menikah dengan alasan agar dia juga bisa segera menikah. Dia saja tidak memiliki kekasih, mana mungkin aku termakan ancaman kosong seperti itu."

"Sudah ku katakan bukan? Kenalkan adikmu padaku, dia pasti akan terpikat dan sudah menjadi kekasihku saat ini."

Hyukjae berbicara dengan pandangan fokus ke piring berisi pasta di tangannya.

Sepertinya dia baru saja merampok lemari pendingin milik Donghae saat pergi ke dapur tadi.

"Dia adikku satu-satunya, tidak akan ku biarkan pria aneh sepertimu mendekatinya."

"Berhenti menyebutku aneh. Aku tidak aneh!"

"Kau aneh. Usiamu hampir kepala tiga, tapi bahkan tingkahmu tidak lebih dewasa dari anak kecil berusia 10 tahun."

"Kau menyebutku tidak lebih dewasa dari anak berumur 10 tahun? Lalu kau sebut apa Donghae yang lebih kekanak-kanakkan dariku?"

"Kalian sama saja. Tidak lebih tidak kurang."

Sahut Siwon kesal.

Donghae hanya menampilkan poker face, tidak ingin meladeni Hyukjae, pria paling pendek di antara mereka itu.

Sementara Jonghoon sudah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah sahabatnya yang menurutnya sangat konyol.

Sudah menjadi hobi mereka untuk menggoda Hyukjae, terlebih saat tidak ada Kyuhyun.

Pria itu sangat mudah dibuat kesal dan tidak segan-segan mengajak sahabat-sahabatnya untuk berdebat.

Dia tidak akan mengingat perbedaan usia di antara mereka jika kekesalannya sudah meledak.

"Habiskan saja pastamu itu, anak kecil. Kau akan menangis saat Siwon merebutnya."

Sindir Jonghoon dan merogoh saku celananya karena merasakan ponselnya bergetar.

Ada panggilan dari Hye Ri.

"Ya, sayang?"

"..."

"Eoh? Yongra? Ada apa? Kenapa ponsel istriku ada padamu?"

"..."

"Rumah sakit? Maksudmu? Apa terjadi sesuatu padanya?"

Suara Jonghoon meninggi dan membuat yang lain ikut terkejut.

"Baiklah baiklah, aku akan segera kesana. Tolong kau jaga dia sebentar!"

Pria itu panik.

Dia langsung berdiri dan tidak menghiraukan raut heran dan cemas dari sahabatnya yang lain.

"Ya! Ada apa? Kenapa kau terlihat panik, hyung?"

Suara Donghae.

"Aku harus pergi. Terjadi sesuatu pada istriku."

Ucapnya lalu menghilang di balik pintu apartemen.

"Apa ada masalah? Dia bahkan meninggalkan jasnya begitu saja."

Ucap Hyukjae seraya melirik jas hitam Jonghoon yang tersampir di sofa yang pria itu duduki tadi.

"Kau tidak lihat wajahnya tadi? Dia bahkan menyebut kata 'Rumah Sakit'. Sepertinya terjadi sesuatu pada Hye Ri, mungkin pada kandungannya."

Sahut Siwon.

"Apa kita harus menyusulnya?"

"Tidak perlu. Aku yakin istrinya akan baik-baik saja."

Hyukjae dan Donghae hanya mengangguk mengamini perkataan Siwon barusan.

~

Jonghoon yang berlari tergopoh-gopoh semakin mempercepat langkah kakinya saat melihat Yongra menangis di depan ruang pemeriksaan.

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

Tanyanya terburu-buru.

"Aku tidak tahu, oppa. Baru dua menit dia memasuki cafeku dia langsung pingsan. Aku panik dan segera membawanya kemari."

"Benarkah? Apa tubuhnya berbenturan dengan lantai tadi?"

"Tidak. Ada salah satu pelanggan pria yang kebetulan berdiri di dekatnya dan menangkap tubuhnya."

"Apa dokter sudah lama di dalam?"

"Sekitar 5 menit. Maaf oppa, seharusnya aku bisa mengetahui kalau ada yang tidak beres dengannya. Wajahnya terlihat pucat tadi."

Yongra kembali menangis, mengingat saat Hye Ri berkunjung ke cafe miliknya.

Wajah wanita itu pucat dan tubuhnya lunglai, jika dia sigap dia pasti bisa mencegah kejadian Hye Ri yang pingsan saat tengah bersandar di meja kasir.

"Sudahlah. Ini bukan salahmu, sahabatmu itu memang sedikit susah untuk di peringati. Dan aku berterima kasih karena kau segera membawanya kemari."

Yongra mengangguk dan bersamaan dengan itu seorang dokter dengan jas kebesarannya keluar dari ruang pemeriksaan.

"Bagaimana keadaannya dokter?"

"Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan dan kurang istirahat. Dia juga kurang asupan."

"Kurang asupan? Lalu kandungannya?"

"Tidak terjadi apa-apa. Karena kandungannya sudah memasuki bulan ke enam maka kondisinya lebih kuat dan tidak mudah lemah."

"Ah, syukurlah. Dan bolehkah aku menemuinya?"

"Silahkan. Tapi hanya sebentar, setelah itu biarkan dia beristirahat."

"Baik. Terima kasih, dokter."

Dokter berusia sekitar 40 tahunan itu meninggalkan Jonghoon dan Yongra.

Sementara pria itu segera masuk dan menemukan wanita yang dicintainya tengah terbaring lemah di atas ranjang.

Wanita itu tengah memejamkan mata dan benar apa yang dikatakan Yongra, wajahnya terlihat sangat pucat.

"Hai, sayang."

"Oppa."

Hye Ri membuka mata dan menatapnya.

Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang seraya menggenggam tangan kiri sang istri.

"Kau terlihat kacau. Apa aku membuatmu khawatir?"

"Tidak. Kau hanya membuatku hampir menabrakkan mobil ke pembatas jalan tadi."

Ucapnya skeptis.

"Maaf. Kau lelah? Kau pasti belum makan."

"Sekarang bukan saatnya memikirkan tentang ku. Kau sedang berada disini, bagaimana kau akan menjelaskannya?"

"Sepertinya aku kehilangan kesadaran saat menemui Yongra tadi."

"Saat aku mengirim pesan tadi kau sedang dimana?"

"Emm, di taman."

"Aku ingat aku tidak mengijinkanmu meninggalkan rumah hari ini. Benarkah itu?"

"Benar. Tapi-"

Perkataannya terpotong saat Yongra muncul dan berdiri beberapa langkah dari Jonghoon.

Terlihat gadis itu sempat menghapus air mata di pipinya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik. Kau yang membawaku kemari? Terima kasih."

"Hmm. Aku akan pulang sekarang."

Gadis itu membalik tubuhnya cepat.

"Dan..."

Dia kembali menatap Hye Ri.

"Jangan harap kau bisa berkunjung ke cafeku lagi setelah ini. Aku memblacklistmu dari daftar pengunjung."

Ucapnya dingin dan bergegas pergi.

"Eoh?"

"Dia khawatir dan merasa bersalah karena kau pingsan saat sedang berada di cafenya. Dia menangis tersedu-sedu saat aku datang tadi."

"Benarkah? Aku tidak sempat meminta maaf."

"Tenanglah. Dia tidak benar-benar marah padamu."

Jonghoon mencium tangan Hye Ri di genggamannya dan mengusap pelan perut istrinya itu.

"Sekarang bisa kau katakan padaku apa yang membuatmu kelelahan dan kenapa kau jadi kurang istirahat? Dan kenapa kau sampai kurang asupan?"

"Maaf. Aku ingin membantu Kim ajhuma dan memintanya mengijinkanku untuk membersihkan rumah, hanya dapur dan ruang tamu. Setelah itu aku berjalan-jalan di taman dan kemudian mengunjungi cafe Yongra."

"Kau tidak kasihan padaku? Aku selalu memperingatimu untuk tidak kelelahan dan kau tidak menurutinya sedikitpun."

"Aku tidak merasa lelah, oppa. Aku justru tidak bisa hanya berdiam tanpa melakukan apapun."

"Kalau kau tidak kelelahan lalu bagaimana bisa sekarang kau berada di tempat ini, eoh?"

"Kau bahkan kurang istirahat. Setiap siang aku berusaha menguhubungimu tapi kau tidak pernah mengangkatnya. Aku pikir kau tengah tertidur."

"Aku memang tertidur saat siang tapi aku tidak bisa tidur saat malam hari."

"Benarkah? Apa itu berarti saat aku bangun kau sudah menghilang dari kamar bukan karena kau bangun awal tapi karena kau tidak tidur semalaman?"

"Terkadang."

Hye Ri tersenyum canggung dan membuat sang suami mengacak rambut frustrasi.

"Lalu kenapa kau tidak pernah memberitahu atau membangunkanku? Aku bisa melakukan sesuatu untuk membantumu agar tertidur atau setidaknya aku bisa menemanimu terjaga."

"Aku tidak ingin mengganggumu. Aku tahu kau sangat lelah karena kau selalu pulang terlambat. Aku tidak sampai hati membangunkan dan mengambil waktu istirahatmu yang sangat singkat."

"Lalu kau anggap aku apa? Perintahku tidak kau turuti dan kau menyembunyikan masalahmu dariku. Aku suamimu!"

Pria itu menitikan air mata, hatinya sakit melihat sang istri yang selalu ceria di hadapannya sekarang terbaring lemah di tempat yang cukup dibenci oleh gadis itu sendiri.

"Jangan menangis, maaf."

Dia melepas genggaman Jonghoon dan berusaha mengangkat tubuhnya agar bisa duduk. Sedang sang suami sudah kembali tegang melihatnya yang memaksakan diri.

"Aku benar-benar menyesal, maaf."

Tangannya terulur dan menghapus air mata di pipi Jonghoon.

"Aku tidak peduli jika aku tidak memiliki waktu istirahat agar dapat menemanimu. Aku selalu tidak tenang saat di kantor, memikirkanmu yang tidak seperti ibu hamil kebanyakkan, bangun terlambat dan merengek karena mengidam sesuatu. Aku khawatir."

"Oppa..."

"Yang membuatku tidak bisa terima adalah kau kekurangan asupan. Apa aku sebegitu cerobohnya hingga tidak memperhatikan makananmu? Kau sedang hamil, ada nyawa lain yang perlu kau jaga."

"Bukan begitu. Kau tahu aku terkadang mual saat pagi dan memuntahkan semua yang aku makan. Karena itu aku jadi tidak ingin makan apa-apa."

"Lalu akan kau beri apa nyawa di kandunganmu? Kau egois sekali."

"Bukan! Bukan seperti itu. Hanya-"

"Sudahlah."

Pria itu memaksa sang istri agar kembali merebahkan tubuhnya.

"Kau istirahatlah, sekarang. Aku akan kembali nanti, jasku bahkan tertinggal di apartemen Donghae karena terburu-buru kemari."

Jonghoon berdiri dan membenarkan posisi selimut istrinya.

"Bolehkah aku pulang saja? Aku tidak suka tempat ini."

"Dengar, sayang. Bukan aku yang membuatmu berada disini, tapi dirimu sendiri jadi jangan protes. Aku lebih memilih mengurungmu disini daripada di rumah."

"Tapi aku sendirian. Aku takut."

"Karena itu istirahatlah. Kau tidak akan merasa takut jika kau tertidur."

"Aku tidak mengantuk."

"Astaga, Hye. Aku hanya memintamu istirahat, bisakah kau menurutinya sekali ini saja?"

"Tapi bisakah kau disini saja menemaniku?"

"Aku akan menemanimu nanti. Aku harus pulang, tidak ada yang memberitahu tentang keadaanmu pada Kim ajhuma. Dia pasti belum pulang sekarang. Aku bahkan belum membersihkan tubuhku."

Hye Ri terdiam, suaminya itu tengah menunjukkan emosinya.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengangguk dengan air membendung di pelupuk matanya.

"Aku pergi. Jangan sampai kau masih terjaga saat aku kembali."

Jonghoon mengusap kepala Hye Ri lalu mengecup keningnya. Dia tahu gadis itu pasti tengah membencinya saat ini.

Pria itu pun keluar dari ruang inap dan bergegas pergi menuju rumah.

~

Kim ajhuma segera meninggalkan kegiatan memasaknya saat mendengar suara pintu depan yang terbuka.

"Kau sudah pulang, Hye- Eoh? Maaf tuan."

Wanita paruh baya itu meneliti Jonghoon, mencari sang nona yang mungkin tertutupi tubuh pria itu.

"Maaf ajhuma membuatmu menunggu. Hye Ri sedang berada di rumah sakit sekarang."

"Rumah sakit? Apa terjadi sesuatu?"

"Tidak. Dia hanya sempat pingsan karena kelelahan."

"Maaf, saya seharusnya bisa menjaga nona lebih baik."

"Tidak apa ajhuma. Kau tahu wataknya, dia tidak akan suka dikekang. Sekarang ajhuma bisa pulang, Hana pasti kesepian di rumah."

"Baik, tuan. Saya akan menyiapkan makan malam terlebih dulu."

"Tidak perlu, ajhuma. Aku akan makan di rumah sakit saja nanti. Apa ajhuma ingin aku antar?"

"Tidak, tuan. Terima kasih."

Kim ajhuma kembali ke dapur dan membereskan keperluannya sementara Jonghoon berjalan ke kamar dan bergegas mandi.

Setelahnya pria itu menyiapkan sebuah tas kecil dan mengisinya dengan selembar pakaian, handuk dan sweater milik Hye Ri.

Kegiatannya terhenti saat ponsel yang ia letakkan di atas meja rias berdering.

"Ada apa, Min Ae-ssi?"

"Sekarang? Kenapa harus dimajukan? Istriku sedang berada di rumah sakit dan aku harus menjaganya."

"Benarkah?"

Jonghoon menghembuskan nafas berat dan mendudukkan tubuhnya ke atas ranjang.

"Baiklah, kau kirim saja alamatnya dan aku akan segera kesana. Dan jangan lupa bawa semua berkas yang kita butuhkan."

Salah satu perusahaan besar dari Jepang yang akan menjadi kliennya meminta memajukan jadwal meeting mereka yang seharusnya diadakan lusa.

Alasannya karena mereka mendadak harus kembali ke Jepang besok karena terjadi sedikit masalah disana.

"Maaf, Hye. Tunggulah sebentar. Ini proyek besar dan aku harus mendapatkannya."

Pria itu bergegas menyelesaikan kegiatan menyiapkan keperluan istrinya dan segera pergi setelah pendapat pesan berisi alamat dari sekretarisnya.

~

Jonghoon memasuki ruang inap setelah menyelesaikan urusan perkerjaan.

Di tangan kirinya terdapat sekeranjang buah yang dibelinya sebelum kemari, sementara tangan kanannya membawa tas kecil yang sudah ia siapkan tadi. Semua barang itu ia letakkan di atas sofa di pojok ruangan.

Dilihatnya Hye Ri tidur dengan posisi menyamping dan membelakanginya.

"Selamat malam, sayang. Dan maaf meninggalkanmu lama."

Bisiknya seraya menarik selimut hingga leher wanita itu dan tidak lupa mendaratkan kecupan di keningnya.

Dia lalu mengambil sebuah apel di keranjang dan memakannya.

Perutnya belum terisi makanan sejak siang tadi, hanya minuman kaleng yang didapatnya di apartemen Donghae beberapa jam lalu.

Ia menarik kursi dan meletakkannya di samping ranjang.

Mulutnya asik mengunyah seraya memperhatikan tubuh Hye Ri.

Dia baru menyadari nafas wanita itu tidak beraturan, bukankah saat seseorang tidur nafas mereka akan terlihat teratur?

Pria itu pun berdiri dan membawa kursinya lalu meletakkan benda itu di seberang ranjang atau tepatnya berhadapan dengan tubuh sang istri.

Dia hanya diam seraya melanjutkan kegiatan menghabiskan apelnya.

Pandangannya tetap tertuju pada wajah sang istri yang beberapa kali terlihat menggerakkan mata, sangat terlihat jika dia hanya berpura-pura tidur.

Waktu bahkan menunjukkan hampir tengah malam dan wanita itu masih terjaga.

"Masih tidak bisa tidur?"

Tanyanya setelah apel di tangannya habis dan meletakkan potongan sisanya di keranjang sampah.

Wanita itu tidak bergeming.

"Buka matamu, aku tidak akan marah. Atau justru kau yang sedang marah padaku?"

Tangannya terulur dan mengusap lembut kepala Hye Ri yang tetap saja terpejam.

"Baiklah. Aku akan tidur saja, jangan menyesal jika kau terjaga sendirian di tempat ini."

Jonghoon menarik kursi mendekat lalu merebahkan kepalanya ke ranjang dengan kedua tangan sebagai tumpuan.

Dan beberapa detik kemudian dia merasakan sebuah usapan di kepalanya.

Pria itu tersenyum dan segera mengangkat kepala dan menemukan istrinya tengah menatap dengan tatapan sayu.

"Ada apa?"

Dia meraih tangan Hye Ri dan menggenggamnya.

"Kau marah padaku?"

Wanita itu mengangguk.

"Benarkah? Apa karena aku meninggalkanmu terlalu lama? Maaf, ada meeting mendadak tadi."

"Tidak hanya karena itu. Ini pertama kalinya dalam seminggu ini kau terjaga saat aku belum tidur."

"Aku tidak tahu jika kau masih terjaga saat aku pulang, karena itu aku langsung saja tidur."

"Kau juga tidak pernah menemaniku pergi ke dokter kandungan setiap bulannya."

"Bukankah aku pernah melakukannya?"

"Tiga bulan yang lalu."

"Ah iya, kau benar. Maaf, aku akan menemanimu pergi bulan ini."

"Jadwalku bulan ini sudah terlewat."

"Benarkah?"

Pria itu melirik kalender yang menempel di dinding ruangan itu.

"Aku lupa. Jadwalmu adalah setiap tanggal 6 bukan?"

"Dan hari ini tanggal 10."

"Baiklah, aku berjanji akan menemanimu bulan depan. Kalau perlu aku akan meminta Kim ajhuma atau Min Ae untuk mengingatkanku."

"Kau janji?"

"Aku berjanji, sayang. Sekarang apa kau tidak mengantuk?"

Jonghoon menarik selimut istrinya yang tersingkap.

"Tidak."

"Kau tidak bisa tidur lagi?"

Wanita itu mengangguk.

"Kenapa? Lapar? Ingin makan sesuatu? Aku akan mencarikannya untukmu."

"Benarkah? Tapi ini sudah sangat larut, aku tidak yakin kau akan mendapatkannya."

"Aku akan berusaha. Apa yang kau minta?"

"Aku ingin sup buatan eomma."

"Hyun eomma?"

"Ne. Bisa kan, oppa?"

"Tentu saja, sayang. Aku akan kesana sekarang. Kau tunggu dan jangan sedikitpun beralih dari ranjangmu, eoh?"

Hye Ri tersenyum riang dan mengangguk dengan sedikit antusias.
Suaminya itu lalu berdiri dan pergi meninggalkan ruang inapnya.

~

Jonghoon sudah turun dari mobil dan tengah mematung di depan pintu rumah keluarga Park.

Sedikit tidak enak hendak mengganggu ayah dan ibu mertuanya karena saat ini hampir pukul satu dini hari. Tapi ini pertama kali istrinya itu mengutarakan padanya kalau dia tengah mengidam.

"Baiklah."

Pria itu menekan pelan bel yang terdapat di samping pintu.

Setelah kedua kalinya dia menekan bel itu, pintu terbuka dan menunjukkan Lee ajhuma yang bekerja di rumah itu.

"Tuan muda. Silahkan masuk."

"Ne, ajhuma. Aku ingin bertemu eomma."

Lee ajhuma mengikuti Jonghoon dari belakang dan setelah sampai di ruang keluarga terlihat sang nyonya rumah yang menuruni tangga.

"Jonghoon?"

"Hai, eomma. Maaf mengganggu."

"Tidak. Kau tidak mengganggu. Ada apa? Mana istrimu?"

"Itu... dia.. berada di rumah sakit."

"Rumah sakit? Apa terjadi sesuatu?"

Terdengar nada khawatir dari wanita itu.

"Dia pingsan saat berada di cafe Yongra. Menurut dokter, dia kelelahan dan kurang istirahat."

"Astaga, gadis itu."

"Dia tidak bisa diam, eomma. Bahkan Kim Ajhumma selalu khawatir dibuatnya."

"Istrimu memang seperti itu. Kau tidak akan bisa melarangnya."

"Ya, eomma. Hanya saja, dia tidak mengatakan apa-apa padaku. Aku tidak tahu jika dia kesulitan untuk tidur dan terjaga semalaman."

"Dia mungkin tidak ingin menyusahkanmu. Lalu apa dia meminta sesuatu hingga membuatmu datang kemari malam-malam?"

"Hye Ri tengah mengidam dan meminta sup buatan eomma."

Pria itu menggaruk leher belakangnya, sedikit segan mengutarakan permintaan sang istri.

"Sup? Aigoo, baiklah. Akan eomma buatkan, kau tunggulah disini."

"Ne, eomma."

Jonghoon memperhatikan ibu mertuanya yang berjalan ke dapur.

Pria itu mengacak rambutnya lalu duduk di sofa.

"Ini ternyata rasanya saat memenuhi permintaan ibu hamil. Harus rela menahan kantuk dan bahkan mengganggu waktu istirahat orang lain."

Dia menyandarkan tubuh dan memejamkan mata, berniat mengurangi sedikit penatnya hari ini.

~

"Jonghoon, supnya- Eoh?"

Hyun eomma-panggilan dari Jonghoon untuk ibu mertuanya- menemukan menantunya tengah tertidur dengan posisi duduk di sofa.

"Jonghoon?"

Wanita itu mengguncang pelan pundaknya dan berhasil membuatnya terbangun.

"Hmm. Maaf, eomma."

Dia segera berdiri dan meraih tempat makanan berisi sup dari tangan ibunya.

"Kau terlihat lelah sekali."

"Pekerjaanku padat hari ini, eomma. Bahkan aku tadi harus meninggalkannya sendirian hingga beberapa jam di rumah sakit karena ada meeting mendadak."

"Apa dia tidak merengek meminta pulang? Dia tidak suka aroma rumah sakit."

"Tentu saja dia merengek, eomma. Tapi aku ingin menahannya untuk beberapa hari disana. Jika di rumah dia pasti akan berkeliaran kemana-mana."

"Untuk itu, kau jangan terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Dia pasti kesepian tanpamu."

"Aku tahu, eomma. Karenanya aku ingin segera menyelesaikan beberapa proyek yang didapat perusahaan, setelah itu aku bisa punya banyak waktu untuk menemaninya hingga persalinannya nanti."

"Baguslah. Hanya jangan melupakan kesehatanmu, tidak akan ada yang menjaganya jika kau juga sakit."

"Aku tahu, eomma."

"Kalau begitu aku pergi dulu, eomma. Dia pasti tengah mengomel sekarang karena harus menunggu lama."

"Ya, dan hati-hati."

~

Jonghoon berjalan cepat seraya berusaha untuk tidak menimbulkan suara di lorong rumah sakit yang ia lewati.

Sesekali dia melirik jam di tangannya. Dia sudah berpikir istrinya akan merajuk karena terlalu lama menunggu.

"Sayang."

Tangannya terangkat berniat menunjukkan sup yang dibawanya.

Namun wanita yang dipanggilnya itu ternyata tengah tertidur.

"Apa dia benar-benar tidur?"

Dia meletakkan sup yang dibawanya ke atas meja di samping ranjang seraya memperhatikan wanita itu.

Wajahnya terlihat tenang, nafasnya juga teratur, bahkan ponsel yang berada di tangannya secara perlahan terlepas dan hampir jatuh ke lantai jika Jonghoon tidak siap menangkapnya.

Pria itu memeriksa ponsel Hye Ri dan terlihat pesan yang diketiknya namun belum ia kirim ke sang suami, berisi :

"Oppa, maaf merepotkanmu. Kemarilah cepat, aku tidak menginginkan supnya lagi."

Dia sepertinya kesepian karena Jonghoon terlalu lama meninggalkannya.

"Maaf membuatmu menunggu, sayang."

Dia mengecup kening Hye Ri dan menarik selimutnya.

~

Sinar mentari yang masuk melalui celah jendela ruang inap mulai mengusik istirahat Hye Ri yang hanya sekitar empat jam.

Wanita itu dengan pelan mengubah posisi, berniat menghindari sinar matahari dengan cara membelakangi jendela namun pergerakannya tertahan kepala Jonghoon yang berada di samping perutnya.

Tangannya terulur untuk mengusap rambut pria itu.

"Maaf, aku merepotkanmu oppa."

Ucapnya pelan.

Tidak ingin membangunkan pria yang sepertinya sangat kelelahan itu.

Namun ternyata usapan yang pelan itu langsung membangunkannya.

"Hai, sayang."

Sapaannya terdengar sebelum wajahnya terangkat.

"Tidurlah lagi, oppa. Maaf membangunkanmu."

"Tidak."

Matanya menyipit saat terkena sinar matahari.

"Kau bisa ke kantor nanti, waktumu masih banyak. Sekarang tidurlah, aku tahu kau lelah. Atau tidurlah di ranjang ini, aku akan turun saja."

Wanita itu mendudukkan tubuhnya dan menangkupkan kedua tangan ke wajah Jonghoon lalu mengusapnya.

"Tidak. Kau yang sakit kenapa jadi harus aku yang berada di ranjang ini? Aku tidak lelah."

Pria itu beberapa kali mengedipkan mata.

"Benarkah?"

Wanita itu terkekeh.

"Lalu kenapa wajahmu seperti ini? Orang dapat dengan jelas mengetahui bahwa kau sangat kelelahan sekarang, suamiku."

Jonghoon meletakkan kepalanya di pangkuan Hye Ri.

"Aku lelah, tapi lelahku hilang saat melihat wajahmu."

"Benarkah? Aku benar-benar menyusahkanmu kan?"

Hye Ri mengusap kepala Jonghoon dengan lembut.

"Aku tahu pekerjaanmu sangat padat, ditambah lagi aku meminta sesuatu tadi malam. Dan aku bukannya menunggumu, tapi justru tertidur. Maaf."

"Tidak apa. Aku bahkan lupa dengan lelahku karena terlalu senang dengan permintaanmu. Itu pertama kalinya kan?"

"Ya, kau benar. Tapi aku seharusnya tidak memintanya sekarang bukan? Waktunya tidak tepat."

"Sayang."

Jonghoon mengangkat wajahnya dan menatap sang istri.

"Itu bukan hanya permintaanmu tapi juga permintaannya."

Pria itu menunjuk dan mengusap perut sang istri.

"Jika selama ini kau lebih memilih diam dan tidak mengatakan keinginmu tidak apa, tapi tidak sekarang. Kau sedang hamil dan wajar jika kau tiba-tiba menginginkan sesuatu, jadi jangan diam saja dan katakan padaku. Aku suamimu dan itu sudah menjadi tugasku. Arra?"

"Hm. Arraseo, oppa."

Hye Ri tersenyum sumringah dan mengusap perutnya.

"Kau lapar?"

"Ya."

"Kau ingin apa?"

"Bukankah kau pergi ke rumah tadi malam? Kau mendapatkan supnya?"

"Ada di belakangmu."

Dia menoleh ke belakang dan melihat tempat makanan yang berada di samping keranjang buah.

"Aku ingin itu saja."

"Benarkah? Tapi sup itu sudah dingin."

"Tidak apa."

Hye Ri menaikkan kaki dan bersandar dengan bantal yang diletakkan di belakang tubuhnya.

Wanita itu meraih kotak makanan dan membukanya, tidak hanya ada sup tapi juga beberapa potong ikan dan daging.

"Apa eomma bertanya sesuatu padamu?"

"Tidak."

Hye Ri memperhatikan suaminya yang beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan masuk ke kamar kecil yang berada di dalam ruangan itu.

"Aku membawa pakaian bersih jika kau ingin mengganti pakaianmu itu."

Ucap pria itu setelah keluar seraya mengeringkan wajahnya yang basah.

"Nanti saja."

Wanita itu menata kotak makanan dan mulai mengisi perutnya sedikit demi sedikit.

"Bagaimana? Kau tidak merasa mual lagi kan?"

Jongwoon kembali duduk di tempatnya semula.

"Tidak."

Hye Ri menyodorkan potongan ikan ke mulut Jonghoon, berniat menyuapinya.

Namun pria itu menggeleng.

"Ayolah, aku tahu kau tidak makan apa-apa sejak kemarin sore, hanya apel saja. Benarkan?"

Dia menyodorkannya lagi dan diterima suaminya dengan wajah mengalah.

"Supnya."

Dia juga menyuapkan sesendok sup pada pria itu.

"Kau makanlah dulu, jangan perdulikan aku."

Ucap pria itu setelahnya.

"Bagaimana bisa aku tidak memperdulikanmu? Kau jadi melewatkan makanmu karena aku."

"Pikiranku penuh denganmu, sayang. Aku jadi tidak fokus dengan hal lain."

"Dan keadaanku baik-baik saja bukan? Jadi tenanglah."

Hye Ri kembali menyuapi suaminya, dengan sedikit paksaan dan kemudian menyuapi dirinya sendiri.

~

"Apa pekerjaanmu begitu banyak?"

Hye Ri menyuapkan potongan apel ke mulut Jonghoon yang duduk membelakanginya karena pria itu tengah memangku laptop dan memilih menyandarkan tubuhnya ke pinggir ranjang.

"Begitulah. Perusahaan sedang berkembang pesat dan mendapat banyak proyek besar."

"Benarkah? Tapi kau tidak harus pergi keluar kan dalam waktu dekat?"

Jonghoon mendongakkan kepalanya ke belakang.

"Tidak. Tenang saja, aku sudah mengatur jadwalku untuk tiga bulan ke depan. Jadi aku tidak akan kemana-mana hingga persalinanmu tiba."

"Hm. Baiklah."

Jonghoon kembali fokus ke pekerjaan dan membiarkan Hye Ri sesekali kembali menyuapinya.

"Oppa?"

"Hm."

"Boleh aku meminta sesuatu?"

"Apa? Kau lapar?"

"Tidak."

Hye Ri menurunkan kakinya ke samping ranjang, menggantungnya bersebelahan dengan tubuh suaminya.

"Bisakah aku pulang saja? Aku tidak apa, kau bisa lihat tubuhku baik-baik saja."

"Aku tidak ingin mengambil resiko yang bisa membahayakan kandunganmu."

Pria itu bahkan tidak mengalihkan pandangannya sama sekali.

"Ayolah. Kandunganku baik-baik saja."

"Hye, kau mengabaikan perintahku dan membahayakan kesehatanmu. Kau pikir aku akan membiarkanmu seperti itu lagi? Setidaknya hingga keadaanmu benar-benar membaik bertahanlah dulu disini."

"Tapi kau tahu aku tidak suka tempat ini. Aku berjanji akan lebih berhati-hati lain kali."

Jonghoon meletakkan laptopnya dan menatap sang istri.

"Kau berjanji?"

"Hm. Aku tidak akan mengulanginya, aku akan menjaga diriku lebih baik lagi."

"Baiklah. Aku akan bertanya pada dokter dulu, kau tunggulah disini."

Pria itu mengecup kening dan mengusap kepala gadis yang tengah tersenyum itu.

~

"Ajhuma..."

"Hye? Kau baik-baik saja?"

Kim ajhuma segera memeluk Hye Ri dan mencium kedua pipi wanita itu.

"Ya, ajhuma. Hanya saja oppa menahanku di rumah sakit kemarin."

"Itu karena dia mengkhawatirkan keadaanmu."

"Ajhuma, bisa kau buatkan aku teh hangat?"

Jonghoon keluar dari kamar setelah meletakkan tas milik istrinya.

"Segera, tuan. Kau ingin sesuatu, sayang?"

"Tidak, ajhuma. Terima kasih."

"Baiklah."

Kim ajhuma segera berlalu dan pergi ke dapur.

"Kau istirahatlah, sayang."

Pria itu merangkul Hye Ri dan membawanya ke dalam kamar.

"Aku akan istirahat nanti. Kau ingin mandi? Aku akan menyiapkan air hangat untukmu."

"Baiklah, terima kasih."

Hye Ri meletakkan jaketnya di tepi ranjang dan segera masuk ke kamar mandi.

"Tehnya, tuan."

Wanita tua itu menyodorkan teh hangat kepada Jonghoon.

"Terima kasih. Dan kau bisa pulang awal hari ini, ajhuma."

"Baiklah. Aku sudah menyiapkan makanan di dapur untuk kalian."

"Terima kasih ajhuma dan salam untuk Hana."

"Baik, tuan."

~

"Oppa, ayo makan malam."

"Aku tidak lapar, sayang. Kau makanlah saja dulu."

Jonghoon melihat istrinya yang berdiri di ambang pintu.

"Benarkah? Atau kau ingin ku buatkan sesuatu? Kopi?"

"Kau bisa membuatkannya nanti setelah kau selesai makan."

"Baiklah."

Jonghoon melepas kaca mata yang dipakainya.

Pria itu fokus memeriksa berkas-berkas yang bertumpuk di hadapannya.

Ada pekerjaan yang mencapai deadline'nya besok karena itulah dia harus segera menyelesaikannya malam ini.

Agar waktunya tidak semakin banyak tersita di kantor dan membuatnya meninggalkan sang istri.

Saat tengah memeriksa beberapa e-mail yang masuk, pendengarannya menangkap suara nyaring yang terdengar seperti barang yang jatuh lalu pecah.

Dengan cepat pria itu loncat dari kursi kerjanya dan berlari keluar ruangan.

"Ada apa?"

Dia menemukan istrinya tengah berjongkok, berusaha mengumpulkan potongan-potongan gelas yang pecah dan berserakkan di lantai dapur.

"Ada apa? Kau baik-baik saja?"

Pria itu ikut berjongkok dan meraih kedua tangan istrinya.

"Aku baik-baik saja. Aku hanya tidak sengaja menjatuhkan gelas saat ingin membuatkan kopi untukmu."

"Berdirilah. Aku yang akan membersihkannya."

Hye Ri mengangguk dan berdiri menjauh dari suaminya.

"Lain kali lebih berhati-hatil, jangan membahayakan dirimu."

"Baiklah, maaf."

Wanita itu memperhatikan suaminya yang meletakkan serpihan-serpihan ke keranjang sampah dan menyapunya dengan bersih.

"Sudah."

"Terima kasih, maaf merepotkanmu."

"Tidak. Sekarang kau tidur saja."

Pria itu berdiri di samping Hye Ri dan mengusap pipinya.

"Aku belum membuatkanmu kopi."

"Tidak perlu, aku akan membuatnya sendiri nanti."

Dia membantu wanita itu berdiri dan membawanya ke kamar.

"Selamat malam, sayang. Tidur yang nyenyak, eoh?"

"Kau tidak tidur? Jangan tidur terlalu malam."

Jongwoon menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya.

"Aku akan terjaga sebentar lagi. Setelah itu aku akan menyusulmu."

Pria itu mengecup kening Hye Ri dan meninggalkannya, bergegas kembali ke ruang kerjanya.

~

Jonghoon tengah bingung sekarang, benar-benar bingung.

Di hadapannya Hye Ri tengah mengaduh kesakitan seraya memegangi perutnya.

Pria itu terus berusaha menenangkan seraya meminta istrinya untuk mengatur nafasnya perlahan.

Dia tidak menyangka Hye Ri akan begitu kesakitan seperti ini setelah pergumulan mereka tadi.

"Sakit."

Kata itu terus terlontar dari mulutnya.

"Tenang, sayang. Tenang."

Pria itu menciumi perut Hye Ri dan mengusapnya dengan lembut.

"Maaf. Maaf, sayang."

Wanita itu terlihat mulai tenang namun nafasnya masih belum beraturan. Dia hanya bisa bersandar lemas ke kepala ranjang.

"Tarik nafas, keluarkan. Nah begitu, bernafaslah perlahan."

Jonghoon meraih handuk kimono istrinya yang berada di ujung ranjang dan membantu Hye Ri untuk memakainya.

"Masih sakit?"

Wanita itu menggeleng.

"Dan kau sudah tenang sekarang?"

Dia mengangguk.

"Kalau begitu bisa kau katakan sesuatu? Aku ingin mendengar suaramu."

Pria itu mengusap keringat di kening istrinya.

"Jangan pernah menyentuhku lagi!"

"Heish, kenapa kalimat itu? Bukankah aku sudah mengatakannya tadi? Dokter yang menyarankan kita untuk melakukannya."

Hye Ri menatap kesal pria yang duduk di hadapannya itu dan memilih untuk mengalihkan pandangan.

Tangannya terulur hendak mengambil gelas yang berada di meja di samping ranjang.

Namun Jonghoon mendahuluinya dan meraih gelas itu lalu menyodorkannya.

"Aku serius. Atau kau ingin menanyakannya langsung pada dokter Hoon?"

Pria itu terkekeh saat berhasil membuat istrinya hampir tersedak.

"Kau kan selalu mengatakan kalau kau ingin melakukan persalinan normal, karena itulah dia menyarankan kita melakukan hubungan intim agar memudahkan saat persalinanmu nanti. Itu akan membantu kontraksimu."

"Tapi perutku jadi sakit dan sedikit kram."

Hye Ri membenturkan gelas kosongnya ke dada Jonghoon.

"Memang akan seperti itu. Kau pasti akan merasakan sakit setelah kita melakukannya."

"Kalau begitu aku tidak mau melakukannya lagi."

"Baiklah, maaf. Aku juga tidak tahu jika kau akan sangat kesakitan seperti tadi."

Jonghoon meraih kaos dan mengenakannya.

"Sekarang tidurlah. Aku akan menjagamu."

Pria itu membantu istrinya untuk merebahkan tubuh.

"Kau tidak marah, kan?"

"Tidak. Aku tahu kau melakukannya karena saran dari dokter."

"Aku akan menjagamu, sayang. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa."

Jonghoon mengatur posisi tubuhnya, menghadap sang istri yang berada di samping kirinya.

Pria itu menggunakan tangan kiri untuk menopang kepala, sedangkan tangan kanan digunakannya untuk mengusap kepala wanita yang tengah memainkan selimutnya itu.

"Aku tahu. Kau sudah menunjukkannya. Walaupun aku selalu menyusahkanmu dengan sering melanggar semua laranganmu."

Wanita itu menampilkan deretan giginya yang membuat Jonghoon gemas dan mencubit pipi chubbynya.

"Apa saat aku marah aku membuatmu kesal?"

"Marah?"

"Aku sering mengomel saat kau tidak menuruti perkataanku, aku bahkan mengacuhkanmu dan saat di rumah sakit sepertinya aku menjadi pria yang sangat menyebalkan, bukan?"

"Hm, mungkin. Entahlah. Aku memang sedikit sensitif semenjak hamil dan menjadi mudah marah saat sedang bersamamu tapi aku hanya akan marah sesaat dan melupakannya beberapa saat kemudian."

Wanita itu mengulurkan tangan dan merapikan rambut suaminya yang sedikit berantakkan.

"Benarkah? Jadi kau tidak terlalu memikirkan sikapku yang menyebalkan bagimu itu?"

"Tidak. Lagipula kau tidak menyebalkan, aku yang membuatmu terlihat menyebalkan."

Jonghoon kembali tersenyum dan meletakkan wajahnya ke ceruk leher sang istri.

"Aku seharusnya tidak gampang terpancing emosi saat menghadapimu. Karena kau hanya terpengaruh oleh hormon."

"Ya. Benar. Terkadang memarahimu karena aku mengidam melakukannya."

"Astaga. Kejam sekali."

Hye Ri bergidik saat tubuh Jonghoon bergetar karena pria itu tertawa.

"Sekarang tidurlah. Kau pasti lelah."

"Hm. Aku akan tidur saat kau sudah terlelap."

Pria itu membenarkan posisinya dan memastikan sang istri nyaman dalam pelukannya.

"Selamat malam, sayang."

~

"Sudahlah, jangan menangis. Aku tidak akan marah."

Jonghoon dengan sabar mengusap rambut sang istri agar wanita itu tenang.

"Aku belikan makanan yang lain. Bagaimana?"

Wanita itu menggeleng dalam pelukannya.

Membuatnya diam-diam mendesah frustasi.

Wanita itu; istrinya, terbangun pagi-pagi sekali karena merasa mual dan memuntahkan semua isi perutnya.

Merasa khawatir, Jonghoon memberikan bubur yang memang sudah di siapkan oleh Kim ajhuma.

Tapi baru dua suapan, Hye Ri sudah memuntahkannya.

Merasa tidak suka menyadari jika istrinya itu tidak bisa makan bubur, maka dia pergi keluar dan membeli beberapa jenis makanan yang sekiranya akan diterima oleh tubuh sang istri.

Dan sayangnya, lagi-lagi, Hye Ri memuntahkannya.

Wanita itu akhirnya menangis karena merasa tidak bisa menerima asupan apapun dan juga merasa bersalah karena membuat sang suami khawatir.

"Kalau begitu kita pergi ke rumah sakit saja. Dokter pasti akan membantumu agar tidak harus memakan sesuatu yang nantinya akan kau muntahkan."

"Maaf."

Suaranya bergetar dan lirih.

"Aku tidak marah. Aku tidak mungkin terus memaksamu makan dan membuatmu kesakitan karena memuntahkannya."

Pria itu melepas pelukannya; mengusap air mata sang istri dan membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian.

~

Bisakah pelayan cafe ini menurunkan suhu air conditioner ruangan ini.

Hawanya panas. Sangat panas bahkan.

Dan karena sebegitu panasnya, dia seakan ingin menerkam seseorang yang tengah duduk dengan senyuman sialannya di samping Hye Ri.

Biarkan aku membunuhnya, Tuhan.

Tatapan Jonghoon seakan menunjukkan isi hatinya.

Tapi seakan karena kebal, pria yang ia berikan death glare itu hanya membalasnya dengan senyum kemenangan.

"Kau tampak lebih cantik, Hye."

"Benarkah? Aku justru merasa berat badanku yang naik mengganggu penampilanku."

"Bukankah kau tahu jika kau akan selalu terlihat cantik walau dalam keadaan seperti apapun?"

Sadarlah. Kau merayu istriku, sialan.

"Baiklah. Sekarang bisa kau katakan kenapa kau memintaku kemari? Aku tidak ingin mati konyol karena tatapan suamimu."

Hye Ri yang refleks menatap sangar Jonghoon membuat Kangin tertawa.

Sahabatnya itu bahkan tidak bisa berkutik saat Hye Ri mengancamnya.

"Dia mengidam. Ingin..."

"Sialan."

Kangin dengan sabar menunggu.

"Menciummu."

Dan walau tampak dengan berat hati, toh Jonghoon tetap mengatakannya.

Antara merasa tidak tega dan marah melihat istrinya yang hanya menunduk; menyembunyikan wajah memerahnya.

Dia juga tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba menginginkan ini.

Mengidam untuk mencium Kangin.

Mungkin -seperti yang Jonghoon katakan- karena dia mengagumi sahabat suaminya itu.

"Tertawalah sepuasmu sebelum kau lenyap di tanganku."

Hye Ri bahkan tidak berani menatap Kangin yang sudah terpingkal di sampingnya.

"Apa kau sebegitu sukanya padaku? Hingga bayi dalam kandunganmu saja ingin mendekatiku."

"Sayang."

Jonghoon meraih tangan sang istri.

"Lakukan saja apa yang kau inginkan cepat. Aku tidak ingin lepas kendali dan melukai pria bodoh di sampingmu itu."

"Benar. Lakukan saja."

Dengan masih berusaha menghentikan tawanya, Kangin sudah membenarkan posisi duduknya dan sedikit mendekat pada Hye Ri.

Membuat gadis itu menatapnya.

Dan Kangin justru memberikan tatapan 'dia bahkan tidak menatapmu tadi' pada Jonghoon.

Hye Ri yang masih dengan pipi merona perlahan mendekat dengan mata yang hanya memandang leher Kangin.

Wanita itu tampak menggumamkan kata 'maaf' lalu memberanikan diri menempelkan bibirnya pada bibir Kangin.

Kau tahu keadaan saat ombak besar terus menerus menghantam dinding pembatas dan seakan ingin menghancurkannya agar bisa meluap dengan bebas?

Itu yang terjadi pada Jonghoon sekarang.

Dia bahkan menggenggam tangan sofa dengan kesal.

Amarahnya seakan naik secara perlahan menuju puncak kepalanya.

Hye Ri -entah karena terlalu menikmati atau karena canggung- tidak kunjung menjauhkan wajahnya.

Dan sialnya, Kangin justru tampak diam membiarkan wanita itu terus menempel padanya.

Double sialan.

"Shit."

Tidak ingin melihatnya terlalu lama Jonghoon dengan cepat mendekat dan menarik tubuh sang istri ke belakang.

Membuat tautan itu lepas.

Nafasnya bahkan cekat melihat 'kejadian' tadi.

Wajahnya lebih-lebih memanas mendapati ekspresi Kangin yang seakan penuh dengan senyum kemenangan.

Sedang, Hye Ri.

Sudah masuk ke pelukannya; menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah sangat-sangat memerah.

"Kalian! Sudah puas?"

"Jangan tanya aku. Tanya istrimu."

Tanpa banyak bicara, pria itu menggunakan isyarat tangan meminta salah satu sahabat 'terbaiknya' itu untuk keluar dari ruangan yang mereka gunakan.

Dan Kangin, dengan senyuman bodohnya mengangkat bahu dan berlalu keluar.

"Puas? Kau puas, nyonya Kim?"

Hye Ri, yang masih memeluk eratnya mengangguk perlahan.

"Maaf."

"Sudahlah. Lagipula kau sudah melakukannya."

Wanita itu mengangkat wajahnya, menatap sang suami.

"Kau marah?"

"Aku manusia normal. Melihat istriku sendiri mencium pria lain. Menurutmu aku marah atau tidak?"

"Marah."

"Kalau begitu jangan bertanya."

"Jonghoon..."

"Jangan menyebut namaku seperti itu."

Jonghoon menarik salah satu piring berisi makanan.

"Kau sudah berjanji, kan? Jika aku menuruti keinginanmu kau akan makan sesuatu agar putra atau putriku di perutmu itu menerima asupan."

Lalu menyuapkan potongan daging ke depan mulut sang istri, yang diterima wanita itu dengan senang hati.

"Kau sudah bisa tersenyum sekarang? Baguslah."

"Oppa... Jangan sinis seperti itu."

"Lalu kau mengharapkan aku seperti apa?"

"Aku kan sudah meminta maaf."

"Aku memafkanmu. Hanya ada sedikit keinginan untuk membunuh pria sialan tadi."

Hye Ri memukul ringan lengan sang suami dan membuat pria itu kembali menatapnya.

"Kau tahu jika aku setengah mati khawatir padamu. Dokter bukannya menenangkan justru semakin menakuti. Dan di saat seperti itu kau masih bisa mengidam hal sialan seperti tadi?"

Dia kembali menyuapi sang istri dengan salad.

Dalam hati bersyukur karena wanita itu tidak memuntahkannya.

"Kau kan berjanji akan menuruti semua keinginanku."

"Memang. Berterima kasihlah karena aku belum menarik ucapanku."

"Baiklah. Terima kasih, oppa. Kau suami terbaik."

Hye Ri memajukan wajah dan mengecup singkat pipi Jonghoon.

"Tentu. Tidak ada suami tersabar selain aku."

"Aish!"

~

"Hyung. Kau tidak ingin memberiku minum?"

"Tidak. Jika haus, pergilah ke cafetaria dan sekalian saja enyah dari perusahaanku."

"Sebegitu tidak sukanya kah kau denganku?"

Pria itu mengangkat sedikit kepala dan menoleh ke belakang; menatap Min Ae yang masih berkutat di mejanya.

"Kau, bagaimana bisa sesabar ini menghadapai atasanmu, Min Ae-ssi?"

Gadis itu menoleh dan hanya tersenyum.

Tidak ingin menanggapi pertanyaan konyol itu.

Jonghoon yang sedari tadi membolak-balik ponselnya menatap sangar Hyukjae yang dengan nyaman merebahkan tubuh di sofa.

Dia lupa ini ruangan siapa?

"Jangan gelisah, hyung. Aku tidak akan menghancurkan ruanganmu, aku hanya ingin istirahat sebentar."

"Siapa yang mengkhawatirkanmu? Kau pikir aku tidak ada pekerjaan lain hingga melakukan itu?"

"Kau sedari tadi memandangi ponselmu lalu memandangku. Bukankah itu mengkhawatirkanku namanya?"

"Aku sedang menunggu telepon dari istriku, bodoh. Dan aku tidak ingin melewatkannya."

Jonghoon menggunakan isyarat mata meminta Min Ae keluar dan membuatkan sesuatu untuk Hyukjae.

Walau bagaimana pun pria itu adalah tamu di kantornya. Tamu tak di undang.

"Jika melewatkannya kan kau bisa menghubunginya balik."

"Bukan itu, Hyuk. Kau tahu kandungan Hye Ri sudah 9 bulan. Dia bisa melahirkan kapan saja dan aku tidak ingin tidak berada di sampingnya saat itu."

"Kalau begitu pulanglah saja. Lagipula kau juga tidak melakukan apa-apa saat di kantor."

"Tahu apa kau tentang pekerjaan ku."

"Haish. Bisakah kau bersikap sedikit ramah padaku. Aku tidak akan menggoda Min Ae jika itu yang kau khawatirkan."

"Sudahlah!"

Jonghoon berdiri dan mengenakan jasnya.

"Lakukan semaumu. Aku yang akan pergi."

Ucapnya lalu memilih meninggalkan ruangannya.

Benar kata Hyukjae; pekerjaannya sedang tidak menumpuk jadi dia bisa saja meninggalkan kantor dan pulang ke rumah.

Hanya saja wanita itu akan mengomel jika mengetahui suaminya menelantarkan pekerjaan.

"Min Ae."

Jonghoon berpapasan dengan sang sekretaris saat hendak menuju lift.

"Aku akan pergi. Kau sebisa mungkin singkirkan Hyukjae dari ruanganku. Dan jika ada telepon penting atau yang lainnya, segera hubungi aku."

"Baik, sajangnim."

~

Benar, kan? Hye Ri bisa melahirkan kapan saja.

Buktinya sekarang, wanita itu tengah meronta kesakitan di ruang persalinan.

Membuat sang suami tampak seperti orang bodoh; panik dan terus mondar-mandir di depan ruangan itu.

"Bisakah kau tenang, hyung? Istrimu akan baik-baik saja."

"Saat menikah dan istrimu hamil lalu melahirkan, aku berani bertaruh jika kau akan lebih panik dariku."

"Tapi aku kan belum menikah. Aku bahkan tidak memiliki kekasih. Padahal aku begitu tampan dan populer."

"Ya! Lee Hyukjae!!"

"Baiklah. Aku diam."

Sialan.

Memiliki pria itu di sampingnya justru membuatnya semakin panik.

Kesalahan besar membiarkan Hyukjae ikut dengannya tadi.

Padahal dia sudah cukup merasa tenang menghabiskan waktu makan siangnya di cafetaria sebelum sahabatnya itu muncul setelah puas berbincang dengan Min Ae.

Jika saja Kim ajhuma tidak menghubunginya saat sedang bersama Hyukjae, pria itu tidak akan mungkin sampai ke tempat ini.

Jonghoon yang -dengan bodohnya- duduk di lantai meloncat berdiri saat seorang dokter keluar dari ruang persalinan.

Apa Hye Ri sudah melahirkan? Apa dia sebegitu panik hingga tidak mendengar adanya suara bayi?

"Selamat. Kau mendapatkan seorang putra."

Ucap pria itu ramah.

Yang membuat Jonghoon kehilangan kendali dan memeluk Hyukjae karena begitu gembiranya.

"Lalu bagaimana dengan istriku? Dia baik-baik saja kan? Dan bisakah aku menemuinya?"

Dokter itu terkekeh mendapati rentetan pertanyaan itu.

"Dia baik-baik saja dan sedang di pindahkan ke ruang perawatan. Kau bisa menemuinya disana."

"Baiklah baiklah. Terima kasih, dokter. Terima kasih!"

Jonghoon hanya menepuk pundak Hyukjae lalu meninggalkan pria itu.

~

"Kau sudah makan siang?"

"Kau masih sempat menanyakan itu?"

"Aku kan baik-baik saja. Aku hanya ingin tahu tentangmu."

"Aku sudah makan siang. Bahkan sudah sangat kenyang karena Hyukjae menyuapiku tadi."

Hye Ri tertawa dan merapikan rambut suaminya yang berantakkan.

Pria itu bahkan tidak berniat menatapnya karena sibuk memandang bayi kecil yang tengah menyusu padanya itu.

"Dia terlihat sepertimu."

"Tentu. Aku ayahnya, jadi wajar jika ia tampak tampan seperti ini."

Jonghoon dengan sangat pelan mengusap pipi bayi kecilnya.

"Kau sudah memikirkan nama untuknya?"

"Entah. Terlalu banyak nama yang muncul di otakku jadi aku tidak bisa memilih satu nama."

"Kalau begitu kita akan memikirkannya bersama."

Jonghoon mengangguk dan mengecup kening sang istri.

"Terima kasih. Kau sudah membuat hidupku menjadi sempurna."

Tangannya mengusap wajah wanita itu.

"Kau yang pantas mendapatkan ucapan itu. Kau bertanggung jawab dengan terus menjaga kami. Dengan sangat baik pula."

"Aku hanya menjalankan tugasku."

Sekali lagi. Dia mengecup kening dan pipi istrinya.

"Menjalankan tugas menjaga orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku."

Hye Ri tersenyum dan mengalihkan pandangan saat seorang perawat masuk dan mengatakan harus membawa bayi mereka ke ruangan khusus untuk bayi.

"Dimana Hyukjae oppa?"

"Sedang berkeliaran mungkin, mencari jika ada wanita yang menarik perhatiannya di rumah sakit ini."

"Astaga. Dia tidak semengenaskan itu."

"Dia lebih menyedihkan dari yang kau tahu."

"Kau sebagai sahabatnya seharusnya bisa membantu."

"Aku tidak ingin repot-repot membuang waktu berhargaku untuk memikirkannya."

"Jangan seperti itu."

"Sudahlah. Jangan mengajakku berdebat tentang monyet sialan itu. Segala hal tentangnya bisa mengganggu sistem kerja otak kita."

Jonghoon menarik kursinya mendekat.

"Tidurlah jika kau lelah."

Hye Ri menggeleng dan mengusap wajah sang suami.

"Kau tidak kembali ke kantor?"

"Untuk apa? Aku tidak mungkin meninggalkanmu."

Wanita itu tersenyum dan menggumamkan 'terima kasih'.

"Sama-sama."

Pria itu mendekat dan meraih bibirnya.

Menempelkannya sejenak sebelum mulai bergerak.

Membuat Hye Ri refleks menangkup wajah sang suami yang sudah mulai memiringkan wajah ke kanan dan kiri agar mereka masih bisa menarik nafas.

Tangan Jonghoon menyelip di belakang leher Hye Ri agar wanita itu semakin menempel padanya.

Walau wajah sang istri sudah memerah dan tampak mulai kekurangan oksigen, Jonghoon belum berniat melepas tautannya.

Hingga suara seseorang yang berdeham membuat Hye Ri refleks menarik wajah.

Kedua tangannya mencengkram erat kerah kemeja sang suami, sedikit menariknya, agar pria itu tetap dengan posisi yang sama dan bisa menutupi wajahnya dari 'seseorang' itu.

Gila, dia benar-benar malu sekarang.

Sedang Jonghoon sudah memberikan tatapan 'kenapa tidak memberitahuku jika ada yang datang' pada wanita itu.

Mereka masih mematung dan belum berniat melirik siapa yang mengganggu aktivitas mereka tadi.

"Bisa kalian mengulanginya lagi? Aku belum sempat merekamnya."

Tangan Jonghoon perlahan meraih bantal kecil yang kebetulan berada di ranjang istrinya.

Memegangnya dan dengan cepat melemparkan benda itu ke arah pintu.

"Enyah kau Lee Hyukjae!!!"

FIN
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar