Jumat, 16 September 2016

Just Say It #1

Author : Reni Retnowati (Park Hye Ri)
Cast : Lee Donghae, Park Jin Ra, etc.
Length : Chapters


Happy reading!

~

Ruangan ini tidak kecil, memiliki pendingin ruangan, serta tidak sedang ditempati oleh banyak orang. Cuaca di luar pun bukannya tidak sedang bersahabat.

Tapi kenapa sedari tadi ada hawa panas yang menyeruak? Atmosfer yang sangat tidak nyaman.

Membuat Jin Ra terus bergerak resah, walau dengan kepala yang terus menunduk.

Dia tahu dari mana aura tidak nyaman itu berasal. Beberapa saat yang lalu dia bisa menebak jika hal ini akan ia rasakan, tapi tidak menyangka akan semenyeramkan ini.

Pria itu terus menatapnya.

Lebih tepatnya pria yang duduk di singgasanannya yang berupa meja kerja.

Dia tidak bersuara. Hanya menyilangkan kedua tangan dan terus menatap gadis yang memang berada di hadapannya.

Meja kerja mereka bersebarangan.

Meja sang gadis berada dekat dengan pintu, sementara meja kerja pria itu berada di tengah-tengah ruangan.

Jin Ra tidak tahu arti tatapan yang ditujukan padanya karena dia bahkan tidak berani balik menatap.

Dan hanya terus berpura-pura sibuk dengan pulpen dan kertas-kertas di meja kerjanya.

Dan hatinya merasa terselamatkan saat ada orang -yang dengan seenak hatinya- membuka pintu ruangan itu tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Orang dengan persediaan nyawa yang banyak sepertinya.

Pria -yang membuka pintu tiba-tiba- itu menatap Jin Ra dan tersenyum yang dibalas oleh gadis itu.

Lalu kemudian menatap pria yang masih setia memasang wajah dingin di kursi kerjanya.

"Ya !! Aku sudah menghubungimu beberapa kali dan kau bahkan tidak mengangkatnya? Kau tuli atau apa?"

Tanpa basa-basi, dia melancarkan serangan.

"Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu? Kau ingin aku pecat?'

"Jika aku mendapat 1 dolar setiap kau mengatakan kata 'pecat', kau pikir akan sekaya apa aku sekarang?"

Dia mendekat dan sedikit menghempas berkas yang ia bawa ke meja kerja pria yang masih sesekali melirik Jin Ra itu.

"Aku tidak akan mengancam dengan ancaman kosong seperti sebelum-sebelumnya. Aku akan benar-benar memecatmu kali ini jika kau sekali lagi mencari masalah denganku."

Dia berujar tenang. Merubah sedikit posisi duduknya dengan mata yang bergerak bergantian ke Jin Ra dan ke pria di depannya yang masih berkacang pinggang.

"Aku tidak takut. Pecat saja aku. Aku tidak yakin kau akan berani melakukannya."

Jin Ra yang sedari tadi menunduk, sedikit mengangkat kepala.

Memperhatikan pertengkaran konyol kedua sahabat yang ada di depannya.

"Aku atasanmu, Hyukjae-ssi."

Suara pria itu mulai meninggi.

"Aku tidak peduli kau atasanku atau bukan, Donghae-ah. Tapi bisakah kau serius? Aku menghubungimu bukan karena aku rindu padamu, tapi karena aku ingin membahas proposal itu. Atasan macam apa kau yang bahkan tidak bisa berkonsentrasi saat di kantor."

"Persetan. Duduk sajalah cepat dan katakan apa yang ingin kau katakan. Setelah itu cepat pergi."

"Baik. Aku juga tidak suka berlama-lama disini. Aku bisa ikut gila sepertimu."

Death glare dari Donghae sama sekali tidak ampuh untuk membuat Hyukjae jera.

Beruntung pria itu adalah sahabatnya, jika bukan mungkin dia sudah ia mutasi ke antartika.

"Jadi proposal dari Cho Corp baru saja aku terima. Dan setelah membacanya dengan teliti, aku rasa kita bisa mempertimbangkannya. Lagipula kau tahu kan jika ini bukan pertama kalinya kita menerima proposal dan bekerjasama dengan mereka?"

Hyukjae yang tadi membaca berkasnya kembali menatap Donghae dan menyadari pria itu lebih memilih menatap Jin Ra di samping pintu sana.

"Ah sudahlah. Kau baca saja sendiri. Aku muak denganmu."

Dia berdiri dan merapikan kerah kemeja putihnya.

"Lebih baik aku makan siang bersama istriku. Kau tahu aku sangat merindukannya karena waktuku habis mengurusmu."

"Kau pikir aku anak kecil yang memintamu menjagaku? Kau tidak sadar posisimu apa disini?"

"Aku tahu dan aku tidak peduli perbedaan posisimu dan posisiku. Lagipula aku bisa membunuhmu diluaran sana saat kau tidak sedang bekerja sebagai CEO, bos."

"Sialan kau."

Donghae melihat Hyukjae yang mengalihkan tatapan ke Jin Ra.

Pria itu sepertinya memperhatikan penampilan sekretarisnya. Mungkin karena pakaian kerja sialan yang gadis itu kenakan.

"Aku baru menyadari kau tampak cantik hari ini, Jin Ra-ah."

Jin Ra mengangkat wajah dan tampak merona.

Donghae mengumpat dalam hati.

"Terima kasih."

Hyukjae mengangguk dan kembali menatap Donghae.

"Aku pergi. Lebih baik kau ajak makan siang juga istrimu itu. Aku tahu kau juga merindukannya."

Ucapnya sarkartis.

"Pergi sebelum aku benar-benar memecatmu."

Hyukjae mengibaskan tangan; tidak peduli.

Dia berjalan menuju pintu dan berhenti di samping meja kerja Jin Ra. Membuat gadis itu mendongak menatapnya.

"Ingin makan siang denganku?"

Tawarnya yang disusul oleh geraman dari Donghae.

"Lee Hyukjae !!"

Serta pulpen yang melayang indah ke arahnya. Sayang, pria itu sudah lebih dulu keluar dan menutup pintu.

Membiarkan pulpen yang ia lempar jatuh menggelinding ke meja Jin Ra.

Gadis itu hanya menggeleng. Donghae dan Hyukjae selalu saja memiliki topik untuk mereka debatkan.

Dia meraih pulpen milik atasannya dan berdiri lalu menghampiri pria yang kembali ke posisinya semula; menyilangkan tangan dan menatapnya.

Meletakkan pulpen itu kembali ke atas meja.

"Aku tidak membayarmu untuk bekerja menggunakan pakaian seperti itu, nona Park."

Ucapnya saat Jin Ra berbalik hendak kembali ke mejanya dan membuat gadis itu kembali menatapnya.

Lalu menatap pakaiannya sendiri.

Woman's blouse berwarna coklat serta rok pendek di atas lutut. Dia juga memiliki blazer, di kursi kerjanya. Apa yang salah?

"Ada yang salah dari pakaianku? Aku tidak ingat pernah membaca aturan perusahaan yang melarang karyawan wanita memakai pakaian yang sedang aku kenakan."

"Kau tahu apa yang ku maksud. Pakaianmu terlalu terbuka dan tidak seperti biasanya kau memakai pakaian sialan seperti itu."

Mengarah pada punggung Jin Ra yang terbuka karena blazer yang memang sengaja tidak ia pakai.

"Bukankah yang terpenting aku tidak tanpa busana disini? Lagipula masih banyak karyawan wanita yang memakai pakaian lebih terbuka dan seksi dari yang aku kenakan dan aku lihat kau tidak pernah protes atau menegur mereka."

"Park Jin Ra! Kau sekretarisku, kau ikut menemui klien yang aku temui. Apa kau pikir aku akan membiarkan mereka melihatmu seperti itu?"

Donghae kembali menggeram.

Dia mengingat saat ada tamu yang datang ke ruangannya dan membicarakan pekerjaan disana tadi pagi.

Beberapa dari mereka terang-terangan melirik serta menatap Jin Ra yang memang tampak lain dari biasanya.

Bahkan meski Donghae sudah berkali-kali berdehem dan memperingati para tamu itu, tetap saja mereka mencuri pandang ke Jin Ra .

Antara memang terpesona atau sengaja menjahili Donghae.

Karena tamu yang ia sebut sebagai 'tamu tak diundang' itu tidak lain adalah para sahabat yang memang sudah sangat mengenalnya.

Ya sebut saja mereka sebagai versi lain dari Hyukjae.

"Bukankah mereka akan lebih tertarik bekerja sama dengan kita saat aku menemanimu dengan tampilan yang menarik?"

Gadis itu. Bagaimana bisa kalimat sialan itu keluar dari bibirnya?

Donghae mengepalkan tangan dan berdiri.

Memutari meja hingga akhirnya berdiri berhadapan dengan sekretaris cantiknya itu.

"Kau ingin terang-terangan menggoda pria lain saat ada suamimu di sampingmu?"

Ucapnya tajam.

"Oh? Apakah ada suamiku disini?"

Jin Ra tampak menggerakan kepalanya ke kiri dan kanan. Membuat Donghae semakin kesal dan menariknya mendekat.

"Lee Jin Ra !"

"Park Jin Ra ! Sejak kapan namaku berubah?"

"Sejak aku menikahimu tiga bulan yang lalu."

"Oh, jadi kau bersusah payah menambahkan margamu ke namaku? Untuk apa?"

Tekanan Donghae seakan terpental oleh dinding pertahanan milik gadis itu.

Bukan gadis lemah.

"Ada apa sebenarnya kau ini? Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?"

Suara Donghae melembut. Tapi tidak dengan tangannya yang masih mencengkeram kuat tangan Jin Ra.

"Seperti ini apanya? Tidak ada yang terjadi padaku."

Jin Ra yang tadi tidak berani menatapnya, sekarang menatap bahkan tidak kalah tajam darinya.

Aura menyeramkan Donghae sepertinya menguar.

"Kau menghindariku! Mengabaikan semua pesan dan telepon dariku. Dan sekarang? Kau tiba-tiba datang dengan pakaian sialan seperti ini? Kau ingin menguji kesabaranku?"

"Untuk apa aku mengujimu? Hidupku sepertinya bukan urusanmu, bos."

"Bagaimana bisa hidupmu bukan urusanku? Kau istriku! Aku berhak atasmu."

"Kau berhak atasku tapi aku tidak berhak atasmu? Kau egois sekali."

Donghae mengacak rambutnya. Memijat pelipisnya pelan kemudian.

Perkataan sekretaris -atau lebih tepatnya 'istrinya'- itu semakin ambigu.

"Apa sebenarnya yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti."

"Kalau begitu tetaplah tidak mengerti."

Dia menghempas tangan Donghae dan memilih keluar dari ruangan itu.

Meninggalkan pria itu yang kembali menggeram kesal.

~

"Makanlah. Waktu makan siangmu akan habis sia-sia."

"Aku tidak lapar."

Jin Ra menatap Young Me, sang sahabat yang juga bekerja disini tapi di divisi keuangan.

Berbeda dengan Jin Ra yang bekerja sebagai sekretaris CEO di perusahaan itu.

"Kau bermasalah lagi dengan CEO tampan itu?"

"Cih, berhenti menyebutnya tampan. Andai kau tahu seberapa mengesalkannya dia."

"Aku heran denganmu. Bukankah kau baik-baik saja setahun yang lalu? Bahkan dengan pekerjaan yang sama. Lalu apa yang membuat kalian justru semakin bermasalah seperti ini? Dan seharusnya hubungan kalian semakin membaik, kan?"

"Keputusannya yang mengharuskan meja kerja sekretaris di pindah ke dalam ruangannya yang membuat semua tidak baik-baik saja."

Oke, itu benar adanya.

Dulu, meja kerja sekretaris masih berada di luar ruangan CEO.

Tapi semenjak tiga bulan yang lalu -atau tepatnya semenjak mereka menikah-, pria itu meminta meja kerja sekretaris diletakkan di dalam ruangannya.

Akan menguntungkan dirinya dan Donghae; jika mereka sedang berbaikan.

Jika tidak? Muak rasanya melihat wajah pria itu yang terus terpampang di depannya.

"Baiklah. Jangan terlalu membencinya, kau bisa-bisa jatuh cinta nanti padanya."

"Oh, aku lupa. Kau kan tidak mungkin jatuh cinta untuk kedua kalinya dengan suamimu sendiri."

Tisu di tangan Jin Ra seakan memiliki kekuatan magic yang membuatnya melayang sendiri ke arah Young Me dan membuat gadis itu tertawa.

"Tidak sekalian saja kau umumkan pada semua orang disini tentang hubungan kami?"

"Astaga. Memangnya apa yang salah jika orang-orang tahu jika kalian sudah menikah?"

Nada suaranya menurun beberapa oktaf.

"Jika tidak ada yang dipermasalahkan lalu kenapa kami menutupinya, nona Park?"

"Aish, kalian suka sekali bermain rahasia."

Young Me menutupnya mulutnya segera dan menampilkan tanda 'V' agar sang sahabat tidak semakin murka.

Bukan hal yang mudah mengumumkan fakta jika dia dan sang CEO tampan nan menyebalkan itu sudah menikah.

Apa yang akan mereka katakan?

Seorang sekretaris menikah dengan atasannya sendiri?

Dan bukankah ini adalah pernikahan kontrak? Bukankah lebih baik jika orang-orang tidak mengetahui tentang pernikahan ini? Agar jika 'kontrak' mereka nanti selesai, tidak akan ada yang curiga.

'Selesai'?

Bukan kata yang menyenangkan.

~

Donghae yang terus menerus memperhatikan layar ponsel yang menampilkan wajah sang istri mendongak saat mendengar ketukkan di pintu ruangannya.

Jin Ra kah? Mungkin dia sudah menyelesaikan makan siangnya.

Memikirkan gadis itu membuat sudut-sudut bibirnya tertarik dan menciptakan sebuah senyuman.

Yang langsung pudar saat yang masuk bukanlah Jin Ra , melainkan orang yang sangat tidak ia harapkan untuk ia lihat hari ini.

"Aku mengganggumu?"

Pria itu. Mendekat dan duduk di depannya saat ia menggeleng tadi.

"Kau tidak pergi makan siang?"

"Kau?"

"Aku baru saja kembali dan bertemu Jin Ra tadi disana."

Entah mengapa, dia benci ketika mendengar nama istri tercintanya terucap dari bibir pria itu.

"Benarkah? Apa kau kemari hanya ingin memberitahuku tentang itu, Siwon-ssi?"

"Tidak. Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan."

"Hm. Silahkan. Hanya sampai waktu makan siang selesai."

Donghae berujar dingin dan berpura-pura sibuk dengan ponsel.

Padahal yang ia lakukan hanya membuka galeri yang penuh akan foto Jin Ra .

"Apa Jin Ra bahagia menikah denganmu?"

Cekat. Berani sekali pria ini bertanya seperti itu.

"Apa maksudmu?"

"Tidak. Hanya bertanya. Aku merasa gadis itu tampak tertekan belakangan ini."

"Hah. Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa kau lakukan selain memperhatikan istriku?"

Dia menekan kata 'istri'. Mungkin ingin memperjelas kepemilikannya pada Jin Ra .

"Bukan begitu. Aku sudah mengenalnya lama. Aku akan mudah tahu jika ada yang salah darinya."

Serangan balasan secara halus.

Dia seakan meremehkan Donghae yang menikahi Jin Ra bahkan saat ia tidak mengenal baik gadis itu selain sebagai sekretarisnya.

Dan membanggakan diri sebagai pria yang sudah mengenal Jin Ra sejak sekolah menengah; Siwon.

"Kau pikir aku tidak peka pada istriku sendiri?"

Nadanya semakin lama semakin ketus. Berbeda dengan Siwon yang justru tampak tenang.

"Lucu rasanya mendengarmu menyebutnya dengan kata 'istri'."

"Dia memang istriku. Aku yang menikahinya, bukan pria lain."

"Ya. Menikahinya hanya sebagai status di depan keluargamu."

Checkmate.

Pria itu sungguh sialan. Dan yang lebih sialannya lagi, perkataannya memang benar.

Pria itu tahu tentangnya. Tentu saja, bukankah dia salah satu sahabatnya?

Dan dia menggunakan rahasia yang ia ketahui itu untuk menyerang.

Tidak ada yang salah dengan perkataan yang mungkin ia anggap sebagai candaan.

Saat Hyukjae dan yang lain menjahilinya dengan mengatakan Jin Ra menarik atau mereka sepertinya menyukai gadis itu, Donghae akan kesal tapi hanya saat itu. Karena dia tahu mereka memang hanya bercanda.

Sementara Siwon? Berbeda.

Karena apa? Karena pria itu jelas-jelas menyukai istrinya.

Jadi, satu saja kalimat pujian meluncur dari bibirnya bukan untuk bercanda, melainkan memang berasal dari hatinya.

"Ya, kau benar. Memang hanya sebagai status, tapi walau bagaimanapun dia tetap istriku. Aku berhak atasnya dan aku harap kau tidak keberatan tentang itu."

"Tidak. Tentu saja tidak."

Siwon sedikit melonggarkan ikatan dasinya.

"Aku hanya berharap kau menjaganya. Sedikit saja kau memberi celah, istrimu itu akan sangat mudah menjadi milik orang lain."

Donghae mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.

Apa pria ini mengancamnya? Apa dia tidak sadar posisinya?

"Aku rasa aku tidak memerlukan saran dari orang lain, terutama kau. Aku bisa mengatur sendiri rumah tanggaku."

Semakin lama darahnya semakin mendidih.

Tidak menjamin pria itu akan selamat jika dia masih berusaha menantangnya.

"Baik."

Dia memotong cepat sebelun Siwon membalas perkataannya.

"Aku rasa sudah cukup. Kau bisa kembali ke ruanganmu dan aku akan kembali berkerja."

Ucapnya dingin.

Tidak ingin jika saat Jin Ra kembali, pria itu masih ada disini.

"Baiklah, aku pergi. Aku harap kau menjaganya dengan baik."

Siwon berdiri dan melihat Donghae yang menundukan kepala.

Pria itu menangkupkan wajah ke tangan yang ia letakkan ke atas meja.

Tidak peduli walau Siwon belum keluar dari ruangannya.

Sedang Siwon yang hendak keluar berhenti di samping meja Jin Ra.

Menatap foto gadis itu yang terpajang disana.

Menatapnya singkat lalu pergi meninggalkan ruangan.

~

Jin Ra membuka pintu ruangan dengan pelan dan mendapati Donghae yang tampak tertidur di mejanya.

Gadis itu mendekat dan mengusap kepalanya singkat.

"Kau tidur?"

Yang hanya dibalas gumaman pria itu.

"Apa kau sudah makan siang? Ingin aku pesankan sesuatu?"

"Tidak."

Donghae mendongak dan menangkap tangan Jin Ra di kepalanya.

"Tapi apa kau sudah makan siang?"

Dia menciumi telapak tangan sang istri.

"Sudah."

"Kalau begitu kemarilah."

Dia bangkit dan menyandarkan tubuh. Meminta Jin Ra memutari meja agar mendekatinya.

Dan saat gadis itu ada di sampingnya, dia menarik tangan dan membuat tubuh Jin Ra jatuh di pangkuannya.

"Malam ini tidur di rumahku."

"Tidak."

"Itu bukan permintaan. Itu perintah."

Donghae melingkarkan tangan kiri ke pinggang Jin Ra, sedang tangan satunya mengusap pelan wajah gadis itu.

"Kenapa aku harus tidur disana? Lagipula apa hakmu memerintahku?"

"Lihatlah. Kau mulai lagi."

"Maksudku. Aku hanya istri kontrakmu, lalu untuk apa aku tidur di rumahmu?"

Donghae mengusap kasar wajahnya.

"Haruskah kau mengatakan itu sekarang? Perasaanku sedang tidak baik dan kau memperburuknya?"

"Tapi kan aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

Jin Ra mengeratkan pegangan tangannya di leher Donghae.

"Sudahlah! Jangan banyak membantah. Kau tetap akan tidur di rumahku malam ini."

Dia menatapnya.

"Dan mungkin malam-malam selanjutnya."

~

Jin Ra sibuk memainkan ponsel dan mendengarkan lagu kesukaannya.

Sudah pukul 5 sore. Dia seharusnya sudah bisa pulang jika sang atasan tidak menahannya disana.

Dengan alasan; mereka akan pulang bersama. Lebih tepatnya ke rumah pria itu.

Membosankan. Sifat bossy pria itu terkadang membuatnya jengah.

Tapi toh dia masih menuruti perintahnya.

Mungkin dia mulai jatuh cinta pada atasan yang merangkap sebagai suaminya itu.

Jin Ra menggeleng. Menghilangkan semua hal aneh di pikirannya.

Dia melirik Donghae yang masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja.

Pria itu tampak serius, sama sekali tidak terganggu dengan kehadirannya.

Beda dengan tadi siang.

Jin Ra menopang dagu dan terus menatap Donghae.

Wajah pria itu membuatnya mengingat momen dimana pria itu 'melamarnya'.

*FLASHBACK*

"Park Jin Ra. Ke ruanganku."

Jin Ra yang masih sibuk menata jadwal kerja untuk Donghae terpaksa menghentikan kegiatannya saat pria itu memberi perintah.

Dan tanpa pikir panjang dia berdiri dan masuk ke ruangan sang atasan.

"Anda memanggil saya, bos?"

Gadis itu duduk setelah mendapat anggukan dari Donghae.

"Menikahlah denganku."

"Eh?"

Donghae yang dengan tenangnya memperhatikan reaksi Jin Ra atas ucapannya.

Gadis itu tampak sangat terkejut -tentu saja-.

Tapi beberapa detik kemudian dia tampak mengulum bibir; menahan tawa.

"Ada yang lucu, nona Park?"

"Ucapan Anda."

"Dan ada yang salah dari ucapanku?"

"Tidak. Hanya saja saya mendengar Anda tampak melamar saya."

Donghae berdiri, memutari meja dan berhenti di samping Jin Ra.

Menyandarkan tubuh ke meja kerja.

"Pendengaranmu tidak salah. Menikahlah denganku."

Sekali lagi.

Senyum yang awalnya terkembang kembali pudar.

"Jangan bercanda, bos."

"Apa aku tampak bercanda? Aku serius."

"Tapi apa Anda sudah gila? Memintaku menikah? Bahkan kita tidak memiliki hubungan apa-apa."

"Aku tahu. Karena itu kita hanya akan menikah kontrak."

Astaga.

Apalagi menikah kontrak?

Jin Ra berdiri, menatapnya.

"Saya akan keluar. Panggil saja jika Anda memerlukan sesuatu."

Tidak peduli jika ia tampak tidak sopan sekarang.

Pria di depannya itu sudah bukan tidak sopan lagi, tapi hampir gila.

"Hey! Kau belum menjawab permintaanku."

Dia menahan tangan gadis yang bergerak menjauhinya.

"Jawaban? Apa kau pikir aku akan menjawabnya?"

Fomal, Jin Ra. Formal. Dia atasanmu.

"Dengar dulu. Biarkan aku menjelaskan tentang kontrak ini."

"Astaga, bos! Saya harap Anda tidak semakin menunjukkan jika Anda sedang tidak waras sekarang."

"Jika aku tidak waras apa aku akan memintanya secara baik-baik? Aku bahkan menyiapkan kontrak."

"Itu yang semakin menunjukkan kegilaan Anda. Mana ada pria yang tiba-tiba meminta seorang wanita menikah dengannya saat mereka tidak memiliki hubungan apa-apa? Terlebih lagi menikah kontrak."

"Aku juga tidak akan melakukan hal konyol ini jika bukan karena terpaksa. Dan bukankah kau juga akan dijodohkan oleh orang tuamu? Aku tidak berpikir kau cukup kuno untuk menerima perjodohan itu."

Baiklah. Sekarang bahkan bosnya itu membawa-bawa kehidupan pribadinya.

Tapi? Dia tahu tentangnya yang akan dijodohkan?

"Aku atasanmu. Aku bisa mendapatkan informasi apapun yang aku inginkan."

Ucapnya; seakan mengerti apa yang dipikirkan oleh sekretarisnya.

"Itu masalah pribadi, bos. Saya harap Anda tidak mengaitkannya dengan ini."

"Aku bukannya ikut campur. Hanya menawarkan sesuatu. Kau belum memiliki kekasih kan? Karena itu orang tuamu ingin melakukan perjodohan."

"Nah jika kau menerima tawaranku, kau bisa memiliki waktu untuk mencari kekasih. Ini hanya kontrak untuk status, aku tidak akan ikut campur urusan pribadimu. Dan yang terpenting, aku tidak akan menyentuhmu."

Kepala gadis itu terangkat.

Mencerna kalimat terakhir Donghae.

"Aku diuntungkan dan kau juga."

"Bagaimana?"

Pria itu memajukan wajah dan membuat Jin Ra tercekat.

"A-akan aku pikirkan."

"Bagus."

Pengaruhnya terlalu kuat.

*FLASHBACK END*


Jin Ra merasakan kecupan di pipinya.

"Sudah puas melamunnya?"

"Eh?"

"Apa yang kau lamunkan? Kau bahkan tidak menyadari kehadiranku."

Pria itu berdiri di sampingnya.

"Ah, bukan apa-apa. Pekerjaanmu sudah selesai?"

"Sudah. Kita pulang sekarang?"

Jin Ra mengangguk dan mengenakan tasnya.

"Kita makan malam dulu sebelum pulang. Bagaimana?"

"Terserah kau saja."

~

"Makanlah. Jangan menatapnya saja."

Donghae melilitkan pasta di piring Jin Ra dan menyuapkannya.

"Kau sendiri? Dari tadi kau juga hanya diam dan tidak menyentuh makananmu."

"Aku tidak lapar."

Pria itu kembali menatap tab miliknya.

Memeriksa beberapa proposal yang ia terima.

"Kau tidak lapar atau terlalu sibuk dengan benda kesayanganmu itu?"

"Hm? Ini?"

Dia mengangkat tabnya.

"Yang mana lagi."

"Aku kan menggunakannya untuk bekerja. Bukan untuk bermain."

"Sama saja. Kau tetap lupa waktu jika sudah menyentuh benda itu."

"Astaga... Kau cemburu pada benda mati ini?"

Donghae menatapnya.

Mengulum bibir; menahan senyum.

"Tidak. Untuk apa aku cemburu?"

"Benarkah?"

"Tentu saja. Aku hanya tidak suka kau melupakan waktu makanmu karena terlalu sibuk dengan pekerjaan."

"Aku kan juga bekerja untukmu."

Pria itu. Disaat-saat seperti ini.

"Jangan mengalihkan topik."

"Haha, tidak. Kau saja yang mudah dialihkan."

Donghae meletakkan tabnya dan meneguk air dingin di hadapannya.

Pandangannya lalu teralih pada ponsel Jin Ra yang bergetar; panggilan masuk.

Gadis itu sempat meliriknya sekilas, seakan ragu hendak menerima panggilan itu.

Tapi dia kemudian meraih benda itu dan menggeser layarnya.

"Halo."

"Oh hai, oppa."

Mata Donghae sedikit memicing mendengar kata 'Oppa'.

Tapi ia berusaha untuk tetap memasang wajah datar.

"Aku? Aku sedang makan malam. Kau sendiri?"

Jin Ra merasa canggung menanggapi pertanyaan seseorang di seberang sana.

Terlebih ia merasa Donghae seperti tampak tidak suka.

Tidak suka kenapa? Tidak mungkin kan dia cemburu.

"Bertemu? Kapan?"

"Hmm, aku akan memikirkannya. Tapi jika aku tidak sedang sibuk, eoh?"

Gadis itu menunduk dan tampak memainkan ujung blouse yang ia kenakan.

Donghae menatapnya saat mendengar gadis itu tertawa.

"Baiklah, sampai jumpa."

"Janji kencan?"

Tanyanya skeptis saat Jin Ra meletakkan kembali ponselnya.

"Entahlah. Mungkin kau bisa menyebutnya seperti itu."

"Cih. Kau membuat janji kencan di depan suamimu?"

"Bukankah kau tahu bagaimana hubungan kita? Dan kau juga mengatakan tidak akan ikut campur urusanku, kan?"

Oke, perkatannya benar.

"Persetan. Selesaikan makanmu cepat dan kita bisa segera pulang."

"Aku sudah tidak selera. Aku ingin ke toilet."

Dia berdiri sebelum Donghae sempat meresponnya.

Lihatlah, hubungan mereka kembali dingin.

~

Jin Ra sesekali memperhatikan Donghae yang sibuk menyetir di sampingnya.

Sejak meninggalkan restoran tadi, pria itu hanya terus diam dan menyebarkan aura menyeramkan.

Apa dia marah?

Astaga. Marah karena apa? Dia tidak mungkin mau bersusah payah untuk marah padamu.

"Jangan berpikir aku marah. Aku hanya ingin fokus menyetir."

Gadis itu mengalihkan wajah.

Menutupi wajahnya yang memerah.

"Aku tidak berpikir kau marah. Lagipula mana mungkin kau marah padaku."

"Hah, kau tahu? Kita tampak konyol karena akan selalu bertengkar dan berbaikkan beberapa saat kemudian. Lalu akan kembali bertengkar, begitu seterusnya."

"Itu karena kau yang terus mencari topik untuk didebatkan."

"Oh, benarkah?"

Pria itu meminggirkan mobil dan menghentikannya di dekat trotoar jalan.

"Apa tidak sebaliknya? Kau yang selalu memancing amarahku."

"Aku? Apa untungnya aku memancing amarahmu?"

"Kau mengacuhkan aku saat kau tahu aku tidak suka didiamkan. Kau menguji kesabaranku dengan membiarkan pria lain melihatmu dengan pakaian sialan itu. Apa itu bukan memancing amarahku namanya?"

"Bersyukur aku tidak membunuh pria-pria yang menatapmu dengan tatapan seakan ingin menerkammu tadi."

"Tapi bukankah kau pernah mengatakan jika kau tidak akan mencampuri urusanku? Hubungan kita hanya sebatas di atas kertas dan di depan kedua keluarga kita. Kau sendiri yang membuat aturan itu."

Donghae mengusap kasar wajahnya.

"Kau menggunakan hal itu untuk melawanku?"

"Tidak. Aku hanya berusaha tahu diri dan mengerti batasanku. Karena aku pikir kau juga akan seperti itu."

"Aku yang membuat kontraknya. Bukankah aku juga berhak mengubah isinya?"

"Tapi tidak ada tulisan yang mengatakan kita berhak mencampuri urusan masing-masing. Kau bukan tipe orang yang akan menyalahi aturan."

"Persetan dengan aturan. Aku berhak melakukan apa yang ku inginkan."

"Memang."

"Memang hanya kau yang berhak melakukan apapun sesuai keinginanmu."

Jin Ra melepas seatbeltnya dan turun dari mobil Donghae.

Beruntung di saat bersamaan ada sebuah taksi yang mengarah ke tempatnya.

Yang membuat Donghae tidak sempat menahan karena gadis itu sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi.

"Sialan."

~

"Kau yang menjauhinya dan kau juga yang frustrasi karenanya."

"Bisakah kau tidak membahas hal itu?"

"Aku hanya tidak suka melihatmu seperti ini."

"Aku baik-baik saja. Aku akan pergi dari sini sebentar lagi jika itu yang kau inginkan."

"Jin Ra-ah."

"Tolonglah, Young."

Young Me mengusap lehernya dan berdiri lalu berlalu ke dapur.

Sahabatnya itu tidak akan bisa didesak kecuali dia sendiri yang ingin mengeluhkan masalahnya.

Jin Ra melihat pintu balkon yang terbuka dari ruang tamu.

Young Me memang suka membiarkan pintu balkon terbuka setiap malamnya.

Jin Ra melepas coat, meletakkannya ke sofa dan berjalan ke arah balkon.

"Segar."

Menghirup udara sebebas mungkin.

Berharap bisa mengurangi sesak di hatinya.

Mengingat Donghae membuatnya selalu bingung. Antara apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak.

Dia memang menerima 'lamaran' pria itu tanpa cinta. Tapi melihat Donghae yang bersikap lebih manis dari sebelumnya, membuatnya merasa sedikit... nyaman?

Dia bahkan tidak peduli jika itu murni keinginan Donghae atau hanya untuk menghormati status Jin Ra yang tertulis di atas kertas.

Tapi kemudian pria itu akan bersikap dingin dan seakan lupa dengannya. Membuatnya terjatuh dan teringat jika dia hanya istri 'kontrak'.

Apakah di kertas kontrak mereka kemarin ada aturan yang mengatakan jika Donghae bebas memainkan perasaan Jin Ra seenak hatinya?

Karena itu yang Donghae lakukan. Menarik ulur.

'Kau mulai menyukainya' kalimat dari dewi batinnya.

'Tidak. Kau harus sadar diri dengan posisimu. Hubungan kalian hanya dalam bentuk kontrak.' Pendapat dari logikanya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan. Saat aku ingin mengacuhkannya, dia datang bak pangeran impian. Memperlakukanku bagai seorang putri. Saat aku mulai meresponnya, dia justru dengan dingin menjauh seakan-akan menganggapku tidak ada."

'Itu haknya. Dia yang membuat kontrak dan kau menyetujuinya. Jika merasa ada yang salah, maka keputusanmu lah yang salah.'

'Dia menyukaimu. Dia hanya gengsi dengan dirinya sendiri. Kau harusnya peka dengan itu.'

Batin dan logikanya terus berdebat. Jika dia harus memilih, dia tidak akan bisa.

"Jin Ra!"

"Hm?"

"Pergi dari tempatku sekarang juga!"

Perkataan Young Me berhasil membuatnya terkejut dan memilih menatap gadis itu.

Setega itukah sahabatnya ini?

"Ada suamimu di depan."

Apa?

"Maksudmu?"

"Ada bos kita, Lee Donghae. Atau lebih tepatnya, suamimu. Dia datang kesini, mencarimu."

Tidak tahu harus merespon apa, Jin Ra berlalu melewati Young Me dan benar saja. Dia mendapati Donghae tengah memegang coat miliknya yang ia letakkan di sofa tadi.

"Aku mencarimu ke apartemenmu."

"Untuk apa?"

"Haruskah aku menjawab itu?"

Donghae menyodorkan coat milik Jin Ra.

"Pakai ini dan ikut denganku."

"Aku akan tetap disini."

"Kau hanya akan merepotkan temanmu. Lagipula kau ingin menolakku di depannya saat yang dia tahu aku adalah suamimu?"

"Tidak masalah. Lagipula dia tidak akan mempertanyakan itu."

Donghae menarik nafas dalam dan mendekat. Menyodorkan sekali lagi coat di tangannya.

"Aku memintanya dengan baik-baik sebagai suamimu. Ikut dan pulanglah denganku."

Pria itu menatapnya lekat. Raut lelah sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya.

Jin Ra dengan ketus mengambil coatnya dan berjalan kembali ke balkon; berpamitan dengan Young Me.

~

Jin Ra melenguh dan menarik selimutnya lebih tinggi. Tangannya tanpa sadar bergerak ke samping dan bersentuhan dengan bedcover.

Membuatnya mengernyit dan terpaksa membuka mata. Lalu memeriksa keadaan di sampingnya.

Donghae yang saat dia tidur tadi ada di sampingnya, menghilang.

Matanya lalu mengarah ke jam di dinding. Pukul 2 dini hari.

Kemana pria itu? Apa dia tidur di kamar lain?

Merasa tidak nyaman, Jin Ra bangun dan sedikit merapikan rambutnya yang mengganggu.

Dia lalu membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Tidak ada Donghae di ruang tengah yang ada tepat di depannya di lantai bawah.

Jin Ra berjalan menuruni tangga; berniat memeriksa dapur. Yang sayangnya pria itu juga tidak ada disana.

Dia lalu kembali ke ruang tengah, mengedarkan pandangan dan menangkap pintu salah satu ruangan di lantai itu sedikit terbuka. Dia mendekat dan dengan pelan melebarkan pintu dan mendapati ruangan yang sepertinya adalah ruang kerja.

Baiklah, jangan bertanya kenapa dia tidak tahu ruangan-ruangan di rumah mewah Donghae karena ini kedua kalinya Jin Ra bermalam disini setelah malam pertama pernikahan mereka.

Yang tentunya mereka lewati hanya dengan tidur bersama di satu rumah yang sama.

Garis bawahi. Hanya dalam satu rumah yang sama, bukan dalam satu kamar apalagi di atas satu ranjang.

Jin Ra melangkahkan kaki ke dalam dan melihat laptop Donghae yang terbuka di atas meja kerja. Tapi sekali lagi, pria itu tidak ada disana.

Lalu gerakan tirai yang tampak tertiup angin menarik perhatiannya. Tirai itu pasti menutupi pintu yang mengarah ke balkon.

Dia mencoba mendekat dan menyingkap tirai itu, dan tentu saja berhasil menemukan sang 'suami'.

Yang tampak tenang memandangi pemandangan dengan gelas wine di tangannya.

Jin Ra memberanikan diri menyentuh pundak Donghae dan berhasil mengejutkannya. Pria itu berbalik dan menatapnya dalam diam.

"Aku lupa jika ada seorang wanita di rumahku."

Ucapnya, seakan tersadar.

"Kau tidak tidur?"

"Aku terbangun dan tidak bisa kembali tidur. Jadi aku memilih mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Kau?"

"Aku juga baru saja terbangun."

"Karena tidak menemukanku di sampingmu?"

Perkataannya berhasil memunculkan semburat merah di wajah Jin Ra.

Membuat pria di depannya tersenyum simpul. Pria itu memindah gelas wine dari tangan kanan ke tangan kirinya.

Lalu menarik Jin Ra, mendekapnya dengan tangan kanan. Membuat gadis itu ikut menghadap ke pemandangan malam di depan mereka.

"Maaf, aku tidak berniat meninggalkanmu. Aku tidak tahu jika kau akan terbangun dan menyadari jika kau sendirian."

"Dan maaf aku mengelilingi rumahmu untuk mencarimu."

"Rumah kita."

Koreksi Donghae dan mengusap-usap lengan Jin Ra; membuatnya hangat.

Jin Ra hanya menggumam dan mengeratkan tangannya yang melingkari tubuh Donghae.

"Kau tahu kan jadwalku besok? Aku harus ke pulau Nami dan memeriksa proyek perusahaan disana."

Donghae menyesap red wine nya.

"Hm. Aku tahu."

"Jujur aku ingin sekali membawamu karena aku harus bermalam disana selama dua hari. Tapi karena kau harus menghadiri beberapa meeting untuk menggantikanku, keinginanku itu tidak bisa tercapai."

"Hanya dua hari."

"Kau tidak tahu seberapa lamanya dua hari bagiku jika berhubungan dengan jauhnya kau dariku."

"Kau bisa menghubungiku setiap saat."

"Ya. Dan aku ingin selama aku disana, kau tinggal disini. Aku akan meminta seseorang untuk membawa pakaianmu kemari."

"Aku tidak bisa menolaknya, kan?"

"Tidak."

Jin Ra mendengus dan membuat Donghae terkekeh.

"Aku akan merasa aman jika kau disini dan yang pastinya ibuku tidak akan bertanya macam-macam kenapa kau tidak ada disini."

"Selama tiga bulan ini aku tidak pernah tinggal di rumah ini."

"Dan keluargaku atau keluargamu tidak tahu itu. Jika aku sedang melakukan perjalanan bisnis, ibuku akan berinisiatif datang menemuimu. Jika dia tidak menemukanmu disini, dia akan bertanya yang macam-macam."

"Baiklah, aku mengerti."

Jin Ra semakin menempelkan tubuhnya ke Donghae. Mulai merasa terganggu dengan hawa dingin.

"Dingin?"

Gadis itu mengangguk dan menatapnya.

"Ayo masuk. Kita kembali tidur."

Pria itu membawanya masuk ke dalam, dia menutup pintu balkon dan meletakkan gelas winenya ke atas meja.

Lalu menggiring istrinya kembali ke kamar mereka.

~

"Dia pergi bersama Chaebi?"

"Tentu saja. Proyek itu kan kerjasama dari perusahaan ini dan perusahaannya."

"Kau tidak khawatir?"

"Khawatir tentang apa?"

"Ayolah. Semua orang juga tahu jika Chaebi menyukai suamimu."

"Lalu apa Donghae juga menyukainya? Tidak kan?"

"Aku yakin kau tidak mungkin setenang ini."

Young Me menatapnya yakin dan kembali menikmati makan siangnya.

Membuat Jin Ra menatap penuh harap ponselnya. Sejak pria itu berangkat, dia tidak mengirim pesan atau menghubunginya hanya untuk sekedar mengatakan jika dia sudah sampai. Dengan selamat.

Dia tidak ingin menghubungi pria itu karena dia yakin Donghae sedang dalam kegiatannya memeriksa pembangunan proyek disana.

"Kau mulai khawatir."

Nada bicara Young Me mulai terdengar seperti sindiran. Seakan tebakkannya benar, Jin Ra tak akan mungkin setenang ini.

"Diamlah."

Jin Ra membalik ponselnya agar layar benda itu menghadap bawah.

Lalu memilih untuk melanjutkan makan siang.

~

Jin Ra meneguk minuman coklat hangat yang baru saja ia buat. Kakinya melangkah meninggalkan dapur dan duduk di ruang tengah.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Dan tidak ada pesan atau panggilan dari Donghae, belum.

Gadis itu mengedarkan pandangan. Merasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan di rumah besar itu sendirian.

Dengan ponsel yang terdapat di saku cardigannya, Jin Ra melangkah mengitari rumah.

Tempat pertama yang ia masuki adalah perpustakaan berukuran sedang yang terdapat di samping ruang kerja Donghae.

Tangannya menyentuh satu persatu buku yang tertata rapi di rak. Dia memiliki banyak jenis buku. Sangat tampak jika dia suka membaca.

Jin Ra kembali menyesap coklatnya dan melihat buku di rak paling dekat dengan jendela kaca disana.

Buku jurnal besar yang sepertinya berisi kegiatan Donghae sebagai CEO dan buku besar yang tampak berisi kumpulan kertas-kertas proposal.

Pria itu sangat rapi ternyata. Satu lagi sifat Donghae yang ia ketahui.

Tangannya lalu menyentuh sebuah album foto yang berada di paling ujung di rak itu.

Dia meletakkan cangkirnya ke atas rak yang kosong lalu menarik album foto itu keluar.

Menyandarkan tubuh ke rak dan membuka album itu selembar demi selembar. Foto-foto yang muncul di lembar-lembar awal adalah foto masa kecil Donghae.

"Anak kecil yang manis ini sekarang berubah menjadi pria menyebalkan itu?"

Jarinya mengusap foto Donghae yang tampak ceria dengan senyuman terus mengembang di wajah.

Lalu ada foto Donghae dan Donghwa. Mereka tampak kompak dengan beberapa pakaian atau barang yang serupa ada di samping mereka.

Foto mereka sedang bermain bola cukup mendominasi dalam dua lembar.

Selebihnya banyak foto Donghae di beberapa negara, mungkin saat perjalanan bisnis. Juga fotonya bersama Hyukjae dan yang lain.

Foto keluarga dan foto Donghwa.

Di lembar terakhir ada satu foto berukuran besar yang menutupi satu lembar penuh.

Foto pernikahan mereka. Dengan tanggal tertulis di sudut foto dan juga namanya. Hanya namanya. Park Jin Ra.

Dan di lembar selanjutnya, entah dapat dari mana. Ada beberapa foto dirinya.

Ada fotonya saat sedang di meja kerja di ruangan Donghae dan foto-fotonya di rumah keluarga pria itu.

"Kau mengambil fotoku tanpa izin, tuan Lee."

Sesaat, Jin Ra menyadari ponselnya bergetar. Tangan kanannya meraih ponsel di saku cardigannya.

Panggilan. Dari Donghae.

"Hey."

Dia mengaktifkan mode speaker dan memilih untuk duduk di salah satu kursi sofa yang ada di ruangan itu.

"Hey. Kau ingin membuat jantungku berhenti berkerja?"

"Ha?"

"Aku menghubungimu sejak tadi, Lee Jin Ra. Kau sengaja mengacuhkan panggilanku?"

"Benarkah? Maaf. Aku tidak tahu."

"Kau seharusnya tahu aku harus mendengar suaramu setidaknya sekali hari ini."

"Lalu kenapa kau tidak menghubungiku dari tadi? Kau bahkan tidak mengabariku jika kau sudah sampai."

"Apa?"

Jin Ra tersentak dan menutup mulutnya. Apa yang baru saja ia katakan?

"Kau menunggu kabar dariku? Benarkah?"

Jin Ra bisa dengan pasti mengetahui jika pria itu tengah menahan senyuman di ujung sana.

"Aku senang jika kau menunggu kabar dariku. Aku sangat sibuk dan baru bisa menghubungimu sekarang."

Jin Ra mengangguk dan hanya menggumam dengan tatapan yang masih mengarah ke album foto di pangkuannya.

"Kau tidak marah kan?"

"Tidak."

"Baguslah. Aku tidak harus terus-menerus mengomel di depan bawahanku."

"Kenapa? Kau harus berhenti bersikap seperti itu. Jangan terlalu dingin pada mereka, kau akan tampak sangat menyeramkan."

"Kau tahu bagaimana sikapku jika sedang tidak dalam perasaan yang baik. Dan itu karena aku tidak bisa menghubungimu sejak tadi. Aku bahkan meninggalkan ponselku di hotel saat memeriksa lokasi pembangunan."

"Lalu apa kau sudah makan?"

"Aku baru saja memesannya. Tapi aku ingin mendengar suaramu dulu."

"Kau sudah mendengarnya. Sekarang tutup teleponnya dan makanlah."

"Nanti saja."

Terdengar suara televisi yang dinyalakan di ujung sana.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Aku? Menelusuri rumahmu."

"Rumah kita."

"Baiklah. Rumah kita."

Jin Ra menekankan kata terakhir; menunjukan kejengahannya karena koreksi Donghae yang terus menerus.

"Apakah ada ruangan yang tidak boleh aku masuki disini? Agar aku tidak salah."

"Tidak ada. Hanya saja jangan menyingkirkan foto pernikahan kita yang ada di ruang kerjaku."

Donghae tampak sedang mengunyah sesuatu, terdengar dari suaranya yang sedikit tidak jelas.

"Tidak akan."

Jij Ra menutup album foto tadi dan meletakkannya kembali ke tempatnya. Tangannya meraih cangkir coklat yang sudah turun temperaturnya.

Dan berjalan keluar perpustakaan dengan masih menempelkan ponselnya ke telinga.

"Lalu bagaimana harimu? Selain sibuk dengan pemeriksaan proyek itu?"

"Biasa saja. Tidak ada yang menarik karena tidak ada sekretarisku yang cantik disini."

"Bukankah ada banyak wanita cantik di sekitarmu?"

Jin Ra membuka pintu ruang kerja Donghae, dia masuk dan duduk dengan nyaman di kursi kerja pria itu.

"Aku tidak bisa membandingkan mereka denganmu."

"Benarkah?"

"Benar. Lagipula hanya kau wanita yang bisa berdiam di rumahku dan duduk di kursi kerja milikku."

Jin Ra sedikit terkejut dan mengedarkan pandangan hingga menangkap kamera kecil di sudut langit-langit ruangan itu.

"Kau mengawasiku?"

"Aku mengawasi ruang kerja ku. Berjaga-jaga jika beberapa berkas disana memiliki kaki dan melarikan diri."

"Haish!"

Gadis itu berdiri dan meraih cangkir coklatnya.

"Jangan pergi. Tetaplah disitu. Aku masih ingin melihat wajahmu."

"Kau mengambil fotoku tanpa izin dan sekarang kau diam-diam mengawasiku?"

Gadis itu menatap kamera dan kembali duduk.

"Aku mengambil foto dan mengawasi istriku. Tidak ada hukum yang melarangnya."

Jin Ra mengibaskan tangan; tanda tidak peduli. Dan mendapat respon kekehan dari pria itu.

"Tetaplah disitu. Aku merasa aman jika bisa melihat wajahmu."

Jin Ra hanya mengangguk dan terdiam. Dia mendengar sedikit suara berisik di sana dan suara Donghae kemudian.

"Chaebi?"

Lalu dia mendengar suara seorang wanita yang dia yakini sebagai Chaebi. Apa wanita itu datang ke kamar hotel Donghae?

Tapi dia sepertinya mengatakan sesuatu tentang proposal.

"Hey, sayang. Aku harus mengurus sesuatu. Aku akan menutup panggilannya dan akan lebih baik jika kau bertahan di ruang kerjaku. Agar aku masih bisa mengawasimu."

Jin Ra yang masih sibuk berspekulasi dengan pikirannya hanya terdiam dan tidak menanggapi perkataan Donghae.

"Sayang? Lee Jin Ra?"

"Hm. Baiklah. Selamat bekerja."

Dan dia justru menutup panggilan itu begitu saja. Mungkin karena tidak ingin ada suara lain dari Chaebi yang ia dengar.

Bersikaplah positif. Mereka hanya rekan kerja. Wajar jika bertemu untuk membahas sesuatu.

Tapi haruskah sekarang? Bahkan di kamar hotel? Tidak bisakah mereka membicarakannya besok di kantor cabang atau di cafe hotel? Proyek tidak sedang mengejar mereka, kan?

Tapi, kenapa kau tiba-tiba mempertanyakan ini? Donghae saja tidak keberatan walau Chaebi datang ke kamar hotelnya. Dan kenapa kau yang harus resah?

Aku kan istrinya.

Istri kontraknya, Park Jin Ra.

~

Jin Ra memutar-mutar pulpennya. Dia baru saja selesai ikut meeting, menggantikan Donghae. Ini sudah jam makan siang, tapi dia merasa tidak berselera.

Dan ketukkan di pintu berhasil merebut perhatiannya. Gadis itu berdiri dan membuka pintu.

"Hey. Donghae ada di dalam?"

"Dia sedang di Nami. Memeriksa pembangunan proyek disana."

"Ah, benarkah? Kalau begitu boleh aku mengajakmu makan siang?"

"Tentu saja, oppa."

Jin Ra meraih ponselnya di atas meja dan keluar dari ruang kerja Donghae. Mengikuti sang sahabat yang sudah menunggunya di depan lift.

"Dia tidak keberatan kan jika aku membawa sekretaris cantiknya pergi?"

Siwon menekan tombol lantai bawah untuk sampai ke parkiran di basement.

"Jangan menggodaku. Lagipula ini kan jam makan siang. Aku tidak meninggalkan pekerjaanku dan pergi denganmu begitu saja."

"Ya mungkin saja dia marah karena aku menggantikannya untuk makan siang denganmu."

Dia mempersilhkan Jin Ra untuk keluar dari lift terlebih dahulu.

"Jangan berlebihan, oppa."

Pria itu hanya tersenyum dan membukakan pintu mobil untuk Jin Ra.

"Kau harus tahu jika dia tidak suka miliknya disentuh oleh orang lain."

Lalu mengitari mobil dan mulai menjalankannya.

Membiarkan Jin Ra kembali mencoba mencerna perkataannya tadi.

'Miliknya?' Apa Donghae menganggap Jin Ra miliknya? Memang, secara kontrak itu benar. Tapi bukankah Jin Ra tidak dalam level yang membuat Donghae benar-benar harus overprotective padanya?

~

Baiklah. Dua hari sudah Donghae mengawasi proyek di Nami. Dan pria itu harusnya tiba disini beberapa menit lagi. Karena pemberitahuan tentang penerbangan dari Nami yang sudah datang sudah terdengar.

Jin Ra mengaitkan blazer birunya dan menatap area kedatangan, memperhatikan orang-orang disana yang mungkin salah satunya adalah Donghae.

Dia terus memperhatikan orang-orang satu persatu, hingga dia mendapati salah satu karyawan perusahaan yang memang ikut ke Nami bersama Donghae.

Jin Ra berdiri dan mencoba menemukan suaminya.
Dan menangkap siluet pria itu dengan kacamata hitam menghiasi wajah.

Hanya saja ada siluet lain yang mengganggu pemandangannya. Chaebi. Dia tampak asik tertawa dan membicarakan sesuatu dengan Donghae. Yang direspon dengan tidak kalah cerianya oleh pria itu.

Jin Ra mengalihkan wajah sebentar, berusaha mengontrol ekspresinya.Lalu saat kembali melihat ke depan, pria itu dan juga Chaebi sudah di depannya.

Senyum, Jin Ra. Jangan lupa tersenyum.

"Baiklah, aku akan duluan karena ada meeting di kantor."

Gadis itu menyentuh lengan Donghae dan membuat pria itu menatapnya.

"Sampai jumpa, Jin Ra-ssi."

Jin Ra hanya tersenyum ramah dan mengangguk, lalu memperhatikan Chaebi yang berjalan menjauhi mereka.

Dan kemudian mendapati Donghae tengah menatapnya.

"Apa?"

"Tidak."

Pria itu lalu berjalan mendahului Jin Ra, membuat gadis itu mengikutinya.

Keluar dari bandara dan masuk ke mobil Donghae yang Jin Ra kendarai tadi.

Gadis itu meletakkan tas kerja dan jas Donghae ke kursi belakang. Sementara pria itu, sudah menyalakan dan menjalankan mobil.

Saling diam. Tidak ada yang memulai percakapan. Donghae fokus menyetir dan Jin Ra memilih untuk memandangi jalanan.

Mobilnya melewati area bandara dan keluar dari sana.

"Kau sudah makan?"

Dengan pandangan tetap mengarah ke depan. Donghae menggunakan tangan kanannya untuk meraih tangan Jin Ra dan mengecupnya.

"Sudah. Sebelum menjemputmu tadi."

"Baguslah."

Mobilnya berbelok ke taman bunga yang cukup luas yang mereka lewati.

"Kenapa kemari?"

Donghae memarkirkan mobil ke pinggiran jalan dan mematikan mesinnya lalu mendekati Jin Ra, menangkup wajah gadis itu dan meraih bibirnya.

Sempat membuat gadis itu terkejut, membuatnya menahan pundak Donghae agar pria itu tidak semakin mendorong tubuhnya.

Donghae semakin menempelkan wajah, membiarkan Jin Ra semakin kehilangan nafas karena permainannya.

"Kau tahu?"

Jin Ra menekan dadanya pelan, merasakan pasokan oksigen dengan level rendah di tubuhnya. Menatap Donghae yang menempelkan kening ke keningnya.

"Kau tahu seberapa besar aku merindukanmu?"

Tangan kirinya menangkup wajah sang istri yang terengah.

"Itu hanya dua hari."

"Dua hari juga tidak sebentar."

"Berlebihan."

Jin Ra menangkup wajah Donghae dengan kedua tangan dan mengecup kilat bibirnya.

"Apa kau tidak merindukanku?"

"Tidak. Aku justru senang karena terbebas dari sifat bossy milikmu."

"Benarkah? Lalu apa kau pergi keluar bersama pria lain dua hari ini?"

"Ya."

"Siapa?"

"Siwon oppa."

Kau terlalu jujur, Jin Ra-ah.

Donghae diam menatapnya. Menarik nafas pelan lalu menjauhkan wajah dan kembali ke posisi duduknya semula.

Kembali menyalakan mobil dan menjalankannya.

Membuat Jin Ra yakin jika pria itu pasti tidak suka dengan jawabannya. Bodoh, merutuki diri sendiri pun tidak akan bisa menarik kata-katanya tadi.

~

Donghae menekan tombol lift menuju lantai tempat ruangannya berada, lalu memilih untuk diam di tempat tanpa melihat Jin Ra yang berdiri di sudut lift. Membuat atmosfer dingin memenuhi tempat itu.

Jin Ra terus memainkan tangan, memikirkan kebodohannya saat menjawab pertanyaan Donghae tadi. Walaupun pria itu hanya suami kontraknya, tapi sekali lagi seperti yang Siwon katakan, dia tidak suka jika orang lain menyentuh sesuatu yang menjadi miliknya.

Pintu lift terbuka di lantai 2 dan tampak beberapa orang masuk setelah menunduk menyapa Donghae. Salah satunya yang membuat Donghae kembali memasang wajah garang adalah kehadiran Siwon di antara karyawan yang masuk itu.

Dengan ekor matanya, dia bisa melihat Siwon memilih berdiri di samping Jin Ra dan menyapa gadis itu.

Dan pintu lift kembali terbuka di lantai 5. Karena ini jam makan siang, banyak karyawan yang kembali ke tempatnya setelah menikmati makan siang di cafetaria.

Beberapa orang yang mungkin tidak ingin ketinggalan lift yang ini tampak bergegas masuk dan bahkan tanpa sadar mendesak atau mendorong karyawan lain. Membuat semua orang harus rela bergeser atau berdiri di pinggir agar memberi ruang.

Dan beberapa karyawan pria hampir mendesak Jin Ra karena posisi gadis itu yang berada di pojok. Beruntung Siwon dengan sigap melindunginya.

Kedua tangannya ia letakkan di sisi tubuh Jin Ra dan menghiraukan orang-orang yang mendesak tubuh belakangnya. Berhasil memberikan sedikit ruang untuk Jin Ra dan mencegahnya berhimpitan dengan karyawan pria lain.

Jin Ra menatapnya dan menggumamkan kata 'terima kasih' yang dibalas anggukan dan senyuman dari Siwon. Tanpa menghiraukan Donghae yang menatap sekilas dan mengepalkan tangannya.

Satu persatu para karyawan turun di lantainya masing-masing, termasuk Siwon. Dan meninggalkan Jin Ra dan Donghae yang kembali hanya berdua di lift karena ruangan mereka berada di lantai paling atas.

"Beruntung ada pahlawan sepertinya yang memberikan bantuan dan perlindungan kecil untukmu, kan?"

Jin Ra melihat Donghae yang berdiri selangkah di depannya. Dia paham siapa yang pria itu maksud.

Dan dia tentu tidak ingin menambah panjang masalah dengan meladeni perkataannya.

Pria itu menoleh menatapnya. Dan karena tidak mendapat respon dia kembali menatap ke arah depan.

Baru saja dia datang dan sekarang dia harus saling diam dengan gadis itu. Membuat moodnya kembali buruk.

Pintu lift terbuka dan Jin Ra berjalan keluar lebih dulu. Donghae mengikuti langkahnya yang sedang.

Membiarkan posisi terbalik itu. Seharusnya Jin Ra yang mengikutinya karena dia atasan. Tapi gadis itu bahkan tidak peduli dan membuka pintu ruangan lalu duduk di meja kerjanya. Tanpa menatapnya.

"Aku ingin secangkir kopi."

Ucap Donghae sengaja dengan nada dingin dan berjalan mendekati mejanya. Dan memperhatikan Jin Ra yang tanpa merespon hanya berdiri lalu keluar dari sana.

Kenapa harus jadi gadis itu yang marah disini? Bukankah dia yang salah? Pergi bersama pria lain saat dia tahu statusnya sebagai istri seseorang.

Donghae tidak salah kan jika dia kesal? Seharusnya gadis itu juga mengerti dan paham tentangnya.

Mata Donghae berpaling dari laptop ke Jin Ra yang masuk dengan cangkir kopi di nampannya. Gadis itu meletakkannya ke atas meja dan menanggukkan kepala singkat lalu berlalu menjauh. Kembali duduk di mejanya.

"Berikan aku berkas hasil meeting kemarin."

Jin Ra melihat tumpukkan berkas di mejanya, mengambil berkas paling atas lalu membawanya ke meja Donghae.

"Mereka setuju dan besok kita akan melakukan pemeriksaan terakhir lokasinya."

Gadis itu sengaja hanya menatap meja karena tahu jika Donghae tidak memeriksa berkas di tangannya tapi justru menatapnya.

"Lalu apa jadwalku malam ini?"

"Menghadiri peresmian cabang Cho Corp."

"Kau ikut?"

"Tidak. Itu hanya peresmian, kau tidak membutuhkan seorang sekretaris untuk datang kesana."

"Baiklah."

Jin Ra mengangguk dan berniat menjauh.

"Kenapa jadi kau yang marah sekarang?"

"Apa aku tampak sedang marah?"

"Sangat terlihat seperti itu."

Donghae berdiri dan mendekat.

"Apa aku melakukan kesalahan?"

"Tidakkah aku yang seharusnya bertanya seperti itu?"

"Kau pergi bersama pria lain. Kau tahu aku akan marah karena itu. Dan kenapa aku tampak menyebalkan? Yang aku tahu sebagai penyebab kenapa kau kesal sekarang. Karena kau dengan begitu santainya membiarkan pria lain mendekatimu, lagi. Bersikap seakan kau bukan milik siap-siapa."

"Bukankah aku memang bukan milik siapa-siapa?"

Kau bahkan tidak pernah secara jelas mengakui jika aku milikmu.

"Bisakah kau berhenti bersikap seperti ini? Kau akan tampak menerimaku, tidak mempermasalahkan ikatan kontrak atau sebagainya. Tapi di lain waktu kau akan sangat-sangat menghindar dan membuatku tiba-tiba menjadi orang asing."

Bukan aku. Kau yang seperti itu.

"Aku akan berhenti bersikap seperti ini. Bukankah aku selalu mengikuti kemauanmu? Tunggu saja, aku akan menentukan sikap mana yang harus ku ambil. Menerimamu atau menghindarimu."

Jin Ra menjauh dan membuka pintu, berniat keluar dari ruangan sebelum langkahnya terhenti karena ada orang yang berdiri di depannya. Mungkin orang itu hendak mengetuk pintu tadi.

"Selamat siang, nona Jung."

"Selamat siang. Apa Donghae ada di dalam?"

"Ada."

Jin Ra bergeser dan mempersilahkan gadis itu masuk.

"Ingin minum sesuatu?"

Tawarnya dengan ramah.

"Tidak perlu. Terima kasih."

Jin Ra mengangguk dan melanjutkan rencananya, keluar dari ruang kerja Donghae.

Lagipula ruangan itu semakin menyesakkan untuknya. Terlebih karena kehadiran seorang Jung Chaebi.

~

Jin Ra terus menerus menatap ujung gaunnya. Menyumpahi pria yang tengah menyetir itu. Jika saja dia tidak sedang dalam keadaan tampan dengan suitnya, pasti dasi serta rambutnya sudah habis karena ia jambak.

"Kenapa? Kau lapar?"

Gadis itu memilih mengalihkan wajah ke samping. Tidak berniat merespon.

"Ayolah. Kau masih marah? Kita akan pergi ke suatu acara, jangan memasang wajah dingin seperti itu."

"Park Jin Ra."

Donghae menyentuh tangan Jin Ra dan berniat menggenggamnya tapi gadis itu menolak dan menarik balik tangannya.

"Fokuslah saja menyetir."

Dan hanya semakin menunjukkan sikap ketusnya.

"Aku tidak bisa fokus jika kau terus diam seperti itu. Setidaknya bicara lah padaku."

"Aku akan menemanimu bicara nanti. Sekarang pastikan saja dulu kita selamat sampai ke gedung itu."

Tidak ada yang bisa ia katakan lagi jika gadis itu benar-benar dalam level tidak ingin bicara dengannya.

Donghae membelokkan mobil ke area gedung hotel yang tampak sangat ramai walaupun baru terlihat dari luar.

Seseorang membukakan pintu untuk Jin Ra dan gadis itu turun dengan hati-hati karena ekor gaunnya yang cukup panjang.

Dia memperhatikan agar ujung gaun berwarna coklat itu tidak terinjak oleh sepatu heelnya.

Donghae tampak mengulurkan tangan; menawarkan bantuan untuk gadis itu agar tidak takut terjatuh saat berjalan. Tapi dia justru hanya menatapnya, diam dan dingin.

Dan membuat Donghae hanya menarik nafas dan menggunakan tangannya untuk mempersilahkan Jin Ra jalan lebih dulu.

Gadis itu masuk ke dalam, berjalan dengan pelan dan mengedarkan pandangan. Ada banyak orang yang memang sebagian besar adalah para CEO perusahaan-perusahaan besar.

Mereka kebanyakan datang bersama pasangan, dan karena itulah dia terang-terangan menolak ajakan Donghae tadi. Lagipula, yang orang lihat Donghae datang bersama sekretarisnya, bukan pasangan. Jadi sia-sia juga kan dia datang kemari.

"Apa aku harus menggandengmu agar kau merasa nyaman?"

Pria itu yang tiba-tiba berbisik mendapat death glare dari Jin Ra.

"Pergilah. Temui orang-orang. Aku akan menunggu disini."

"Apa kau tidak ingin aku kenalkan pada mereka?"

"Semua orang tahu jika aku sekretarismu."

"Tapi kan mereka tidak tahu jika kau juga merangkap sebagai istriku."

"Jangan macam-macam."

Donghae terkekeh karena akhirnya berhasil membuat gadis itu sedikit tersenyum walau bercampur dengan ekspresi kesal.

"Jangan terlalu jauh dan jangan menghilang dari pandanganku."

"Aku mengerti, bos."

Donghae menyodorkan jas miliknya yang sedari tadi ia gantungkan di lengan.

"Gunakan ini."

Walau masih memberikan tatapan tidak terima Jin Ra menerima jas itu dan mengenakannya. Dan juga berhasil membuat Donghae tersenyum lalu beranjak menjauh.

Jin Ra meraih lengan jas Donghae dan menghirup aromanya; aroma Donghae. Sedikit membuatnya nyaman.

Dia tidak terbiasa dengan acara seperti ini. Terlebih tidak ada orang yang ia kenal -secara spesifik-. Dan yang pasti membuatnya tidak nyaman adalah dia tidak bisa masuk ke pembicaraan mereka.

Karena yang pasti para pria akan membicarakan tentang saham dan proyek. Sedang para wanita akan mulai membahas fasilitas-fasilitas mewah yang mereka dapatkan dari suami masing-masing. Hanya untuk kalangan elit.

Jin Ra mendekat ke meja panjang di sisi samping ruangan yang tampak seperti meja bar. Dia duduk di sana dan memperhatikan dimana Donghae berada.

Pria itu tampak asik mengobrol dengan beberapa rekan kerjanya seperti Lee Hyukjae, Cho Kyuhyun dan ada juga Kim Youngwoon. Tapi tidak lama muncul pemandangan yang kembali 'mengotori' mata Jin Ra; Jung Chaebi.

Gadis itu datang dan menyapa semua pria disana dan bahkan memeluk singkat Donghae. Dengan sangat nyaman.

Jin Ra bisa memastikan jika Chaebi dapat dengan mudah berbaur dengan para pria itu. Hanya dalam hitungan detik dia seakan menjadi pusat perhatian.

Memang gadis yang menarik, kan? Cantik, elegan dan mengerti persoalan perusahaan dan bisa mengibangi percakapan para CEO itu.

Entah mengapa, di saat seperti ini, Jin Ra sangat berharap Donghae membuat kontak mata dengannya. Setidaknya menunjukkan jika pria itu tidak lupa dengan kehadirannya di gedung ini.

"Hey, cantik."

Jin Ra mengalihkan pandangan saat seseorang mengibaskan tangan ke depan wajahnya.

"Oppa. Kau ada disini juga?"

"Memangnya tidak boleh? Walaupun aku bukan CEO, aku juga mendapat undangan."

"Aku hanya tidak mengira bisa bertemu denganmu disini. Lagipula bukankah seorang Choi Siwon tidak terlalu suka dengan keramaian?"

"Memang tidak."

Siwon menaikkan jas yang turun dari pundak kanan Jin Ra.

"Aku hanya penasaran dan ingin melihat secantik apa sahabatku ini saat datang kemari."

"Aku biasa saja. Penampilanku tidak akan berubah."

"Tentu saja. Kau kan akan selalu cantik dalam penampilan apapun."

Siwon mengangkat gelas beningnya dan mengajak Jin Ra bersulang.

"Bagaimana kabar ibumu? Aku lama tidak berkunjung."

"Baik. Sangat baik. Terima kasih sudah bertanya. Karena dia juga beberapa kali mengatakan rindu padamu."

Jin Ra mengikuti Siwon yang meletakkan gelasnya ke atas meja.

"Aku akan berkunjung sepertinya nanti."

Gadis itu mengangguk.

"Astaga!"

Dan hampir kehilangan keseimbangan. Karena sepatu heelnya terpeleset dari injakan kursi yang ia duduki. Beruntung Siwon yang berdiri di sampingnya sempat membantu dengan menahan tubuhnya.

"Kau mulai mabuk, eoh?"

"Aish! Aku bahkan tidak minum alkohol."

Siwon tersenyum mendapati nada kesal Jin Ra. Mulutnya menggumamkan kata 'hati-hati' yang dibalas anggukan oleh gadis itu.

"Dimana suamimu?"

Matanya memicing mendengar kata 'suami'. Dagunya lalu menunjuk kemana Donghae berada. Yang masih mengobrol dengan teman kerjanya dan juga Chaebi.

"Kau tidak menemui mereka? Bukankah mereka juga temanmu?"

"Ya. Tapi aku ingin disini saja. Tidak menyenangkan menyia-nyiakan kesempatan bersama gadis cantik sepertimu."

"Berhenti menggodaku. Kau lupa jika kau harus membayar satu dolar setiap kali kau menggodaku?"

"Bukankah itu hanya aturan dari ibumu? Kau ingin menerapkannya lagi?"

 "Ya. Dan kali ini kau harus membayar dua kali lipat."

"Wah, materialitis."

Jin Ra tertawa dan sekali lagi melihat Donghae. Pria itu masih belum membuat kontak mata dengannya. Lagipula kenapa dia harus ingat dengan Jin Ra saat ada Chaebi di sampingnya. Benar, kan?

"Kau harus sering datang ke acara seperti ini. Kau kan menikah dengan seorang CEO perusahaan besar, kau harus terbiasa dengan kehidupan elit mereka."

"Tidak perlu dan aku tidak peduli. Kau tahu aku tidak suka mengubah sifatku menjadi sesuatu yang bukan diriku sendiri."

Siwon mengangguk dan meneguk kembali minumannya. Tersenyum saat Jin Ra menatapnya.

"Kau masih sendiri, oppa?"

"Aku dekat denganmu. Kenapa masih harus bertanya?"

"Siapa tahu kau sudah memiliki seseorang dan tidak memberitahuku."

"Kau orang pertama yang akan tahu walaupun hanya berupa cerita kencanku bersama seorang gadis."

"Benarkah? Kau tidak akan menyembunyikannya dariku?"

"Tidak."

Siwon menangkap dengan ekor matanya pemandangan dimana Chaebi membenarkan kancing lengan Donghae. Sesuatu yang tidak seharusnya Jin Ra lihat.

"Kau kan salah satu orang spesial di hidupku. Tentu kau masuk dalam list orang pertama yang akan tahu hal-hal penting tentangku."

Dia membelai singkat rambut Jin Ra, memastikan gadis itu menatapnya dan bukan melihat ke arah Donghae.

"Kau yang terbaik."

Jin Ra mengangkat gelasnya, memuji sang sahabat. Yang hanya dibalas dengan senyuman.

Dalam hatinya mempertanyakan apa Jin Ra juga selalu tersenyum dan tampak bahagia seperti ini saat bersama Donghae? Apa pria itu benar-benar menjaganya? Fisik dan perasaan?

Atau Donghae hanya akan cuek dan bahkan membiarkan wanita lain bersikap intim padanya di depan Jin Ra? Seakan tanpa memperdulikan perasaan gadis itu?

Siwon dan Jin Ra sama-sama menoleh saat mendengar dehaman seseorang yang adalah Donghae.

"Jangan terlalu banyak meminum itu."

Tangannya merebut gelas di tangan Jin Ra dan meletakkannya ke meja.

Sedang gadis itu hanya diam mengangguk dan tidak ingin merespon.

Siwon bertatapan dengan Donghae sesaat lalu mengusap pelan rambut Jin Ra. Yang dibalas senyuman lalu lambaian saat dia pergi menjauh.

"Tidakkah kau memikirkan apa yang akan orang lain katakan saat melihatmu bersama pria lain padahal kau datang kemari dengan suamimu."

"Bukankah tidak ada yang tahu jika aku istrimu?"

Kau bahkan sedari tadi bersama wanita lain. Dan aku biasa-biasa saja.

"Kau ingin pulang?"

"Acaranya belum selesai. Lagipula kau masih harus menemui rekan kerjamu yang lain."

"Ini bukan acaraku, untuk apa aku peduli pada mereka?"

"Jangan mulai."

Jin Ra menyodorkan jas Donghae yang sedari tadi ia pegang.

"Gunakan saja. Setidaknya orang lain bisa tahu jika kau sudah ada yang memiliki."

"Memangnya ada label nama pria di jas ini?"

"Haruskah aku membuatnya?"

Jin Ra kembali mendengus dan mengenakan lagi jas Donghae.

"Lagipula sepertinya kau menyukai aroma tubuhku. Sedari tadi kau terus menghirup aroma di jas itu."

Pria itu tersenyum kecil dan pergi menjauh. Menyisakan ekspresi terkejut dan sedikit malu yang tercetak di wajah Jin Ra.

Apa pria itu juga memperhatikannya? Dia bahkan tidak sadar beberapa kali mendekatkan lengan jas Donghae ke hidungnya.

Dia hanya suka aroma di jas Donghae, karenanya dia tanpa sadar melakukan itu.

~

Jin Ra menarik boneka yang ia peluk untuk melindungi matanya dari sesuatu yang terang.

Sinar matahari.

Tentu saja, ini sudah pagi.

Gadis itu merenggangkan tubuh dan bangkit. Melihat sisi kiri ranjang yang masih terisi oleh Donghae, yang masih bergelung dengan selimutnya.

Dia ingat saat kembali dari acara tadi malam, dia memilih untuk langsung tidur sementara Donghae berkutat di ruang kerjanya. Entah hingga jam berapa.

Jin Ra turun dari ranjang, masuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat.

Selagi menunggu, dia pergi ke dapur. Mencoba membuat sesuatu untuk sarapan Donghae.

Membiasakan diri dengan status sebagai 'istri'.

Tangannya dengan lincah menyiapkan beberapa bahan masakan dan mengolahnya.

Hanya nasi goreng memang, sederhana. Setidaknya dia sudah menyiapkan sesuatu untuk pria yang masih berkeliaran di alam mimpinya itu.

Selesai menyiapkan sarapan, dia kembali ke kamar dan mulai membersihkan tubuhnya.

Jam kantor memang masih lama, tapi dia berencana untuk menemui ibunya dulu sebelum pergi ke kantor.

~

"Apa dia menjagamu dengan baik?"

"Ya."

"Dia tidak membuatmu sedih, kan?"

"Tidak, eomma. Kenapa harus menanyakan itu?"

"Eomma hanya ingin tahu."

"Bukannya ingin tahu, tapi curiga. Benar, kan?"

Jin Ra melirik sang ibu lalu berdiri dan mengembalikan botol berisi air mineral di tangannya ke lemari pendingin.

"Wajar, bukan? Kau putri eomma satu-satunya dan sekarang kau sudah menikah. Wajar jika eomma khawatir dengan keadaanmu."

"Aku baik-baik saja dan dia juga menjagaku dengan baik."

"Benarkah?"

"Iya. Aku tidak mungkin harus melaporkan setiap detil hal yang ia lakukan untukku, kan?"

Termasuk sengaja atau tanpa sadar membuatku cemburu?

"Baiklah, tidak perlu. Eomma percaya padamu."

Ibu Jin Ra menyodorkan sebuah kotak makanan berukuran sedang.

"Untuk makan siang kalian."

"Dia sibuk. Aku saja yang akan memakannya itu."

"Sesibuk itukah dia hingga tidak bisa makan siang bersama istrinya sendiri?"

Istri kontrak, eomma.

"Hm."

Tidak ingin merespon lebih banyak, Jin Ra memasukkan kotak makanan ke tas kecil lalu membawanya.

"Aku harus ke kantor. Sudah lebih dari dua jam sejak jam masuk."

"Ya. Dan sampaikan salam eomma untuk Donghae."

"Baiklah."

~

Baiklah. Pagi harinya yang seharusnya masih dalam keadaan baik dan menyenangkan, tampak mulai mengabur.

Moodnya secara bertahap mulai turun dan berubah jadi buruk.

Entahlah, setiap waktu saat ia melihat Donghae dengan wanita itu, dia selalu merasa kesal dan was-was.

Dia terkadang menanyakan kenapa dia harus merasa seperti itu? Bukankah tidak wajar jika dia merasa cemburu pada Donghae yang notabenenya hanya 'suami' kontrak untuknya?

Atau mungkin terlalu terbawa suasana? Suasana penuh 'cinta'? Yang pria itu buat.

"Aku rasa ada beberapa masalah yang harus kita bicarakan."

"Benar. Aku juga tidak ingin membiarkan masalah ini berlarut-larut. Proyek itu harus selesai secepatnya."

"Bagaimana jika kita melanjutkannya saat makan siang?"

Jin Ra berdiri dalam diam, bertemu tatap dengan Donghae lalu menundukkan wajahnya singkat; meminta izin untuk keluar dari ruangan.

Melihat kotak makanan di bawah mejanya dan melihat Donghae dengan Chaebi di depannya, membuat perutnya seakan melilit.

Lebih baik keluar, mencari udara segar dan mencari penenang. Jika ada.

~

Tangan Jin Ra memutar-mutar gelas plastik berisi minuman hangat yang sedang ia nikmati.

Udara cukup dingin hari ini. Dan bodohnya dia justru memilih untuk duduk di luar kantor.

Dia tadi berniat menemui Young Me, tapi ternyata gadis itu tidak ada di ruangannya.

Jadi disinilah dia, berdiam di taman kantor dan memandangi orang yang berlalu lalang keluar masuk perusahaan milik Donghae itu.

Benar kan? Mengingat pria itu membuatnya kembali kesal.

Pria itu memang tidak peka atau tidak peduli atau sengaja mempermainkannya?

Seenak hati menarik ulur perasannya. Pria itu saja saat di acuhkan akan selalu marah. Kenapa dia yang justru bersikap seperti ini sekarang?

Mata Jin Ra memicing mendapati layar ponselnya menunjukkan nama Donghae sebagai pengirim pesan.

Apalagi yang pria itu inginkan?

'Kembali cepat. Aku haus.'

"Sialan."

Jin Ra berdiri, menghentakkan kakinya singkat. Sembari mengutuk Donghae dalam hati.

Kakinya melangkah masuk ke gedung kantor dan segera naik ke lantai paling atas.

Sebelum masuk ke ruangan Donghae, dia lebih dulu pergi ke pantry. Membuat minuman untuk pria itu.

Lalu membawa nampan berisi cangkir minumannya ke dalam ruangan. Yang hampir ia jatuhkan saat melihat apa yang sedang pria itu lakukan di sofa.

"Lama sekali."

Tangannya melambai; meminta Jin Ra mendekat. Sementara tangan satunya menarik dasinya agar tidak mengganggu kegiatannya mengunyah.

"Darimana kau dapatkan itu?"

"Aku mencuri dari meja kerjamu."

Ucapnya santai dan meminum minumannya. Mungkin dia benar-benar haus karena terlalu bersemangat menikmati masakan buatan ibu 'mertuanya'.

"Kau membawa ini tapi tidak memberikannya padaku?"

"Eomma menyiapkannya untukku, bukan untukmu."

"Apa kau akan makan dengan porsi sebanyak ini?"

Jin Ra duduk saat Donghae menepuk sofa di sampingnya.

Lihatlah, pria itu dengan sialnya berhasil mendapatkan perhatiannya hanya dalam hitungan detik.

Bukankah sedari tadi dia terus merutuki pria ini? Dan sekarang pria itu justru tanpa rasa bersalah dengan santai menikmati makanan yang ia bawa tadi.

Yang memang ia rencanakan untuk mereka makan bersama. Tapi tidak dengan fase mood yang memburuk karena kehadiran Chaebi tadi.

"Kau tidak makan?"

"Tidak. Kau saja."

Donghae meletakkan sumpit dan meminum kembali minumannya.

"Kenapa? Ada masalah? Bukankah kau pergi ke rumah tadi?"

"Ya. Hanya saja ada yang tidak menyenangkan di kantor."

Jin Ra menyendokkan nasi serta lauk lalu menyuapkannya ke Donghae. Tanpa menatap mata pria itu.

"Aku?"

"Entah."

Dia menahan tangan Jin Ra yang ingin kembali menyuapinya.

"Kau marah lagi kan?"

Gadis itu menggeleng dan kembali mengangkat sendoknya.

"Jawab dulu pertanyaanku."

"Makan saja cepat. Kau harus meeting setelah ini."

"Kau sengaja semakin menjauhiku karena masa kontrak kita?"

"Ayolah. Jangan mulai bicara yang macam-macam."

"Tapi aku benar, kan? Masa kontrak kita hanya 6 bulan dan ini sudah hampir 4 bulan. Dan karena itu kau semakin menjauhiku."

Tidakkah kau yang semakin membuatku menjauh?

"Bukankah memang kontraknya akan berakhir? Apa ada pengaruhnya walau aku menjauhimu atau tidak? Lagipula ini bagus, kan? Maksudku, kau akan kembali bebas dan bisa menemukan atau bersama gadis yang memang benar-benar kau sukai."

Benar. Tidak ada yang salah dari perkataan Jin Ra.

Dan Donghae yang pasti cukup pintar mencernanya hanya mengangguk pelan. Tangannya menjangkau jas yang ada di sofa.

Mengambilnya, membawanya dan keluar dari ruangan.

Meninggalkan Jin Ra yang hanya bisa diam menatap sendok di tangannya. Lalu bergerak membereskan kotak makanan itu.

Dia akan menerima apapun respon dari Donghae. Lagipula mereka juga harus saling tahu batasan dari perasaan mereka masing-masing.

Jika tidak memiliki perasaan suka sedikitpun, kenapa harus memaksakan diri untuk saling bersama.

Dan justru harus saling membuat satu sama lain cemburu dan bersikap kekanakan.

~

Jangan kesal. Jangan sedih. Kau tahu akibatnya dan terbiasalah dengan itu.

Jin Ra mengusap-usap kaca mobil yang beruap. Sesekali memperhatikan gedung-gedung tinggi yang muncul di pandangannya.

"Maaf, nyonya. Tuan sedang ada urusan dan meminta saya menjemput anda."

Kalimat yang supir Donghae katakan saat pria itu menunggunya di lobi kantor.

Donghae sepertinya benar-benar menjauhinya. Atau pria itu juga marah? Bahkan tidak ingin berada dalam mobil yang sama.

Lagipula Jin Ra tidak begitu bodoh untuk percaya jika pria itu benar-benar ada urusan.

"Bisa kita berhenti sebentar di cafe yang ada di ujung jalan ini?"

"Bisa, nyonya."

Jin Ra melepas coat dan mengalungkan tas tangannya.

Gadis itu turun saat mobil yang ia tumpangi berhenti di depan cafe yang memang sering ia kunjungi.

Meminta supir menunggu dan segera masuk ke dalam. Memesan makanan yang sedang ia inginkan, dan menunggu.

Tangannya terus membalik-balik ponsel. Menyadari betapa bodohnya dia karena tanpa sadar mengharapkan Donghae menghubungi atau mengiriminya pesan.

Dia bahkan tidak sengaja memasang wajah dingin saat kasir memberikan pesanannya.

Moodnya akan berubah seharian karena pria konyol yang menyebalkan dan sedikit 'mempesona' itu.

~

Waktu menunjukkan hampir pukul 9 malam dan Jin Ra masih bergelung di atas tempat tidurnya tanpa berniat memejamkan mata sedikitpun.

Belum merasa mengantuk dan masih terlalu khawatir dengan Donghae. Karena ya, pria itu belum pulang sampai sekarang.

Entahlah. Antara benar-benar sibuk dengan 'urusannya' itu atau memang sengaja tidak ingin kembali ke rumah dan bertemu Jin Ra.

Kemungkinan yang kedua sepertinya.

Dan sekarang, suara bel rumah yang terdengar membuat Jin Ra dengan segera meloncat dari tempat tidur dan berlalu keluar kamar.

Dengan semangat mendekati pintu dan kemudian terhenti beberapa langkah sebelum tangannya meraih handle pintu.

Jika Donghae yang datang, kenapa pria itu harus menekan bel rumah? Bukankah dia bisa langsung saja masuk ke dalam?

Atau yang datang memang bukan Donghae?

Jin Ra mengusap tengkuk dan bergerak membuka handle pintu. Perlahan hingga mendapati seseorang yang berdiri di depannya.

Seseorang yang sungguh sangat-sangat tidak ingin ia lihat hari ini, lagi.

"Apa Donghae oppa ada di rumah?"

"Ha?"

"Aku ingin mengantarkan barang miliknya."

Jin Ra menatap nanar barang yang disodorkan untuknya.

"Tertinggal di apartemenku."

Jas Donghae?

Tertinggal?

Di apartemen gadis itu?

Jung Chaebi?


~TBC~

Rabu, 07 September 2016

You & Me #3




Author : Reni Retnowati
Cast : Lee Donghae, Park Young Me, Lee Hyukjae, etc.
Length : Chapters
Genre : Romance

Happy reading!

`

"Kau tidak menyukai kalungnya?"

"Tidak. Aku suka."

"Benarkah? Wajahmu terlihat tidak senang."

"Mungkin karena aku merasa lelah."

"Maaf jika aku terus-menerus merepotkanmu."

"Hm. Aku juga menyetujuinya jadi tidak apa."

"Kau ingin makan sesuatu?"

"Tidak. Aku tidak lapar."

Perhatian kedua orang itu teralihkan saat Hye Jung -ibu Hyukjae- kembali dari toilet. Hari ini mereka -Young Me dan Hyukjae- menemani wanita itu check up seperti biasa lalu pergi makan siang sebelum pulang dan disinilah mereka berada, salah satu kafe kesukaan Young Me.

"Kau tidak memesan apapun, Young-ah?"

Tanya wanita itu saat melihat tidak ada apa-apa selain segelas frappe di hadapan Young Me.

"Tidak, eomma. Aku tidak lapar."

"Benarkah? Kau, Hyuk?"

"Aku sudah memesannya eomma dan sedang menunggu."

Dia mengangguk dan kembali menikmati hidangan yang ia pesan.

Beberapa minggu mendapati Hyukjae dan Young Me setia menemani kemana-mana membuat suasana hatinya membaik, ditambah melihat hubungan mereka berdua yang terlihat mesra dihadapannya.

Dia mengenal Young Me sejak gadis itu berhubungan dengan anaknya. Kepribadiannya yang sopan dan menarik membuat Hye Jung berpendapat jika gadis itu akan menjadi istri yang tepat untuk Hyukjae.

Itulah sebabnya dia sangat kecewa saat hubungan mereka berakhir dan Hyukjae lebih memilih bersama Hye Soo dibanding gadis itu. Sempat memberinya nasehat namun hanya pria itu tanggapi dengan kalimat singkat.

"Aku tahu mana yang terbaik untukku, eomma "

Beruntung saat dirinya tengah tidak dalam kondisi baik seperti ini, Hyukjae muncul bersama gadis itu saat menjemputnya di bandara.
Bagaikan seorang malaikat penyelamat, bukan?

"Kau belum mengenakannya? Biar Hyukjae yang membantumu."

Dia baru saja memberikan sebuah kalung untuk Young Me. Kalung yang sudah dia persiapkan dari lama dan berencana untuk memberikannya pada Young Me saat Hyukjae akan melamarnya.

Namun karena hubungan mereka berakhir, Hye Jung hanya bisa menyimpan dan berharap akan memiliki kesempatan lain untuk memberikan benda itu. Dan sekarang sepertinya saat yang tepat.

Hyukjae mengangguk dan berniat meraih kotak berisi kalung yang berada di hadapan Young Me sebelum matanya menangkap pemandangan lain.

"Young."

Dia menyentuh pelan tangan gadis itu. Saat gadis itu merespon dan menatapnya dia hanya memberikan isyarat menggunakan mata.

"Apa?"

Tatapannya seakan meminta Young Me untuk melihat ke arah Hye Jung namun karena gadis itu tetap tidak mengerti maksudnya, maka..

"Bukankah kau tadi ingin ke toilet?"

Ucapnya tiba-tiba.

"Ne?"

"Toilet."

Semakin bingung dan membuat wanita yang duduk dihadapan mereka ikut bingung.

"Di depanmu."

Bibir Hyukjae mengeja kata 'Di depan' secara perlahan dan tanpa suara yang berhasil membuat Young Me menurut. Dia melihat Hye Jung dan matanya bergerak ke pemandangan di belakang wanita itu.

Seorang pria yang tengah mengobrol bersama seorang pria lain yang ia ketahui namanya sebagai Siwon terlihat di depan matanya.

Siwon dan pria itu baru saja melewati pintu masuk dan seperti tengah mencari tempat untuk duduk.

Melihat sang 'pria' yang bersama Siwon yang sering Young Me sebut sebagai 'kekasihnya' membuatnya cepat-cepat menunduk dan sedikit gelabakkan.

"A-aku ingin ke toilet sebentar."

Belum sempat Hyukjae maupun Hye Jung menyahut, gadis itu sudah berdiri dan sedikit berlari menuju toilet yang arahnya berlawanan dengan pintu masuk.

"Apa dia sakit?"

Hye Jung terlihat curiga dan heran.

"Tidak. Tidak, eomma. Dia hanya berniat merapikan riasan wajahnya."

Hyukjae pintar berbohong dan berlakon, bukan?

"Ah."

Berhasil membuat sang ibu percaya.

~

"Maaf, seharusnya aku tidak memaksamu ikut hari ini. Maaf."

"Tidak apa, oppa. Lagi pula kau lebih sigap dariku hingga aku tidak harus bertemu dengannya."

"Apa Donghae sering mengunjungi kafe tadi?"

"Ya. Itu kafe yang sering kami datangi bersama."

Hyukjae mengangguk dan kembali fokus menyetir saat mobilnya memasuki basement apartemen Young Me.

"Terima kasih untuk hari ini, Young."

Dia memperhatikan gadis yang tengah melepas seat beltnya itu.

"Ya, oppa. Terima kasih karena sudah mengantarku. Sampai jumpa."

"Hm. Sampai jumpa."

Setelah memastikan Young Me jauh dari mobilnya Hyukjae memutar arah mobil dan bersiap meninggalkan tempat itu sebelum matanya menangkap sebuah mobil datang yang menampilkan Donghae sebagai pengendaranya.

Dia memperhatikan Donghae yang memarkir mobil dan keluar dengan tergesa-gesa, sepertinya pria itu melihat Young Me yang masih terdiam di depan lift karena sibuk dengan ponselnya.

Hyukjae memilih diam dan memperhatikan segala sesuatu yang dilakukan oleh pasangan itu melalui kaca depan mobilnya; mulai dari Donghae yang mengejutkan sang kekasih dengan memeluknya dari belakang, Young yang berpura-pura kesal lalu memastikan Donghae berdiri jauh darinya dan membuat pria itu tertawa.

Semua hal yang sepertinya dulu pernah mereka -Hyukjae & Young- lakukan. Seperti menyaksikan pemutaran ulang tapi dengan tokoh pria yang berbeda.

~

"Kau sudah makan?"

"Sudah. Aku tadi bertemu klien bersama Siwon di kafe favoritmu itu."

"Hm. Benarkah? Sudah lama kita tidak pergi kesana."

Young duduk di samping Donghae dan mengikuti kegiatan pria itu; menonton tv.

"Kau ingin kita pergi kesana sekarang?"

"Tidak perlu. Aku sudah makan siang tadi, lagipula waktu istirahatmu akan berkurang nanti."

"Sayang?"

"Hm?"

"Apa kau sedang sakit akhir-akhir ini?"

"Tidak. Kenapa bertanya seperti itu?"

Donghae menyandarkan tubuh dan menatap sang kekasih yang juga tengah menatapnya.

"Tidak. Hanya saja beberapa hari yang lalu seseorang mengatakan dia melihatmu di rumah sakit."

"Rumah sakit?"

Suaranya dibuat senormal mungkin, pria dihadapannya tidak boleh tahu jika dia memang benar pergi ke rumah sakit; bukan untuk memeriksakan dirinya melainkan menemani Hye Jung untuk check up.

"Sekretaris Siwon melihatmu di rumah sakit dan mengatakannya pada Siwon. Karena itu dia tadi bertanya apakah kau baik-baik saja atau tidak."

Pria itu meraih ponselnya yang bergetar.

"Mungkin dia melihat orang yang salah, aku tidak pergi ke rumah sakit manapun. Aku baik-baik saja, jika aku sakit kau pasti akan tahu, kan?"

"Tapi kau tidak menyembunyikan apapun dariku, bukan? Katakan jika ada yang terasa salah dari tubuhmu dan aku akan mengantarmu ke rumah sakit segera, eoh?"

"Baiklah, aku mengerti."

"Sekarang, kau istirahatlah. Apa kau akan kembali ke kantor?"

"Tidak. Pekerjaanku sudah selesai jadi Leeteuk oppa memberi ijin untuk pulang lebih awal."

"Benarkah? Baguslah."

Donghae menyampirkan rambut Young Me ke belakang telinganya.

"Jika aku tidur apa yang akan kau lakukan?"

"Tidak ada. Hanya menonton tv hingga waktu makan siang selesai."

"Kalau begitu aku akan menemanimu saja."

Donghae tersenyum dan menarik Young Me agar bersadar ke tubuhnya.

~

"Ya, oppa?"

Gadis itu menutup pintu apartemen setelah memastikan sang kekasih sudah berada jauh dari tempatnya.

"Malam ini? Ada apa?"

Hyukjae memghubunginya tepat setelah Donghae pergi.

"Maaf, aku tidak bisa. Aku sudah memiliki janji."

"..."

"Katakan saja pada ajhumma aku menghadiri acara keluarga."

"Hm. Maaf, oppa."

Pria itu meminta bantuannya agar datang ke rumah, sepertinya sang ibu ingin bertemu dengannya.

Sayangnya gadis itu sudah terlebih dulu mengiyakan ajakan makan malam Donghae yang disampaikan pria itu sebelum kembali ke kantor tadi.

Dia sadar waktunya bersama sang kekasih semakin berkurang, waktu yang biasanya mereka habiskan untuk makan siang bersama sering lenyap karena Hyukjae meminta bantuannya terlalu sering.

Kepintaran Young Me untuk membagi waktu sangat diperlukan agar Donghae tidak curiga apalagi sampai mengetahui apa yang dilakukannya bersama Hyukjae.

Dan juga kebaikan hati dari sang kakak yang membantunya dengan cara meminjakan nama untuk menjadi alasan penolakkan Young Me saat Donghae mengajaknya pergi atau sekedar ajakan makan bersama.

"Aku membantumu sebisaku tapi kau sendiri yang menanggung resikonya."

Kalimat yang selalu pria itu katakan.

~

"Apa yang harus aku kenakan?"

Young Me tengah bergelut di depan lemari pakaiannya; sibuk menentukan dress mana yang akan ia pakai untuk makan malam nanti.

"Baiklah. Dress cream ini saja."

Tangannya membawa keluar sebuah dress cantik berwarna cream dengan sedikit motif bunga diujungnya. Meletakkannya di atas ranjang, berdampingan dengan tas slempang kecil berwarna hitam dan flat shoes.

"Saatnya bersiap."

Donghae akan menjemputnya satu jam lagi; waktu yang cukup untuk mandi lalu bersiap-siap.

~

Donghae sibuk memperhatikan ponsel semenjak dirinya turun dari mobil hingga saat dia sudah berdiri di depan pintu apartemen kekasihnya.

Memastikan tempat yang dipesannya sudah siap; ingin memberi sedikit kejutan untuk gadis yang beberapa hari ini menjadi sulit untuk dia ajak pergi. Jika bertemu pun tempatnya hanya dua; apartemen Young atau apartemennya. Tidak cafe maupun lokasi-lokasi lain favorit mereka.

"Apa yang kau lakukan, Young?"

Merasa bosan menunggu pintu yang tak kunjung dibuka padahal bel sudah ia bunyikan sedari tadi, membuat Donghae tanpa pikir panjang memasukkan password yang memang sudah ia ketahui.

"Sayang?"

Tidak ada siapa-siapa di ruang tengah, begitupun di dapur. Dan saat pria itu membuka pintu kamar, suara air menyambutnya. Membuatnya mengangguk menyadari jika sang kekasih tengah mandi.

Donghae mengambil posisi di samping barang-barang Young yang bertebaran di ranjang dan merebahkan tubuhnya. Memejamkan mata sebentar, menenangkan tubuhnya yang terasa sangat lelah hari ini.

Hingga saat sebuah usapan dari tangan yang dingin membangunkan pria itu dari tidur singkatnya.

"Apa yang kau lakukan disini? Bukankah masih setengah jam lagi?"

Suara lembut Young menyambut saat matanya terbuka.

"Tidak ada. Aku hanya tidak bisa menunggu lama untuk segera bertemu denganmu."

"Benarkah? Apa kau merasa lelah? Jika iya, istirahatlah saja."

Gadis itu duduk dipinggir ranjang berdampingan dengan tubuh Donghae.

"Tidak. Aku baik-baik saja. Kau bersiap-siaplah segera."

"Kalau begitu kau keluarlah cepat."

"Apa harus?"

"Haish, jangan bercanda."

Young Me menarik boneka yang dikenakan Donghae sebagai bantal. Keadaannya yang masih hanya berbalut handuk membuat udara terasa begitu dingin baginya.

"Baiklah."

Pria itu bangun dan menatap sang kekasih.

"Kau harus berpenampilan cantik hari ini."

"Bukankah aku selalu terlihat cantik di matamu?"

Dengan sedikit kekuatan, gadis itu mendorong tubuh Donghae agar segera keluar dari kamar.

~

 "Apakah ini dekorasi khas restoran ini atau karena idemu?"

Matanya menelusuri balkon restoran yang terlihat spesial karena hanya menampung satu meja yang tengah mereka gunakan sekarang. Beberapa tangkai bunga dan lilin menghiasi meja itu. Dengan lampu-lampu cantik serta hiasan lain disekitar yang memberikan kesan romantis.

"Tentu saja ideku. Kau pikir jika aku tidak menyiapkannya apa suasananya akan seperti ini?"

"Maksudmu mungkin saja ada meja dan orang lain disini?"

"Tentu saja. Mungkin sekitar 5-6 meja?"

"Ah, benarkah?"

"Kau tak akan bisa menikmati pemandangan favoritmu itu."

Pria itu mendongak, membuat sang kekasih mengikutinya. Bintang-bintang di langit; pemandangan favorit Young Me; menjadi penghias tambahan selain semua dekorasi disana.

"Terima kasih."

"Tidak perlu. Kau seperti orang asing saja."

"Bukan begitu. Aku hanya merasa tidak enak, akhir-akhir ini aku tidak bisa sering menemanimu. Aku takut kau akan marah atau merasa kecewa, tapi kau justru menyiapkan semua ini."

"Aku tidak marah karena aku tahu kau sibuk dengan pekerjaan. Bukankah aku juga terkadang seperti itu? Terlalu banyak pekerjaan dan kemudian mengacuhkanmu?"

Young Me mengangguk, menyetujui kalimat pria itu yang memgacuhkannya saat tengah sibuk dengan pekerjaan.

Tapi di dalam hatinya dia menggeleng, tidak membenarkan kalimat jika dia tidak bisa sering bersama Donghae karena pekerjaan. Bukankah sebenarnya karena Hyukjae?

"Apa yang kau pikirkan?"

Young Me segera menggeleng dan kembali menatap sang kekasih.

"Dan karena kita tidak bisa sering bertemu maka moment seperti ini menjadi sangat langka. Oleh karena itu aku ingin menyiapkan yang terbaik untukmu."

"Aku mengerti. Aku tetap harus berterima kasih padamu."

"Berterima kasihlah dengan cara lain?"

"Yaitu?"

"Kau bisa-"

Kalimat Donghae terpotong saat seorang pelayan muncul dan meletakkan beberapa hidangan yang tadi mereka pesan.

"Apa?"

Meminta Donghae melanjutkan kalimatnya.

"Kita bicarakan nanti. Sekarang makanlah dulu."

"Baiklah."

~

"Kau ingat restoran yang dulu sering kita kunjungi disini?"

"Ah, restoran yang menyediakan makanan hasil laut itu?"

Mereka berdua tengah berada di pinggir sungai; salah satu tempat yang sering mereka kunjungi saat malam.

Tempatnya yang tenang dan adanya beberapa bangunan disekitar yang memasang lampu berwarna-warni sehingga terlihat indah saat memantul di atas riak air memberikan kesan nyaman dan juga romantis.

Tidak lupa cahaya bulan dan juga bintang yang menghiasi langit malam. Karenanya Young Me akan sering merengek meminta agar Donghae mengajaknya pergi ke tempat itu.

"Ya. Kau ingat pemiliknya selalu memberi kita porsi yang besar dan lebih dari yang ia jual."

"Itu karena kita sering berkunjung kesana dan karena dia menyukai kita."

"Kau benar."

"Aku merindukan masakan direstoran itu."

"Aku juga. Apa aku harus mencari tahu keberadaan pemiliknya?"

Young Me tertawa dan menyuapkan cemilan ditangannya ke mulut Donghae.

"Tidak perlu. Berlebihan."

"Mungkin saja dia membuka restoran di tempat lain?"

"Bukankah mereka kembali ke desa? Kalaupun mereka membuka restoran lagi pasti lokasinya juga di desa."

"Hm. Mungkin saja."

"Lalu kenapa kau membawaku kemari?"

"Tidak apa. Karena mungkin saja kau akan kembali sibuk besok maka aku harus bisa menahanmu bersamaku selama mungkin."

Young Me menatap Donghae. Pria itu sedari tadi menunjukkan betapa ia sangat merindukannya. Membuatnya jadi merasa bersalah.

"Kau tidak keberatan bukan jika aku menahanmu bersamaku?"

Donghae mengusap wajah gadis yang tiba-tiba mendekat dan melingkarkan tangan di lengannya dan menyandarkan kepala ke pundaknya itu.

Gadis yang menggeleng dan kemudian mengalihkan tangan dan memeluknya.

"Aku bahkan akan mengijinkan jika kau ingin menginap malam ini."

"Benarkah?"

"Selama Leeteuk oppa tidak tiba-tiba datang dan mengusirmu."

"Ah, benarkah? Aku jadi harus berpikir dua kali sepertinya."

"Haha, tidak perlu. Aku hanya bercanda."

"Baguslah. Kalau begitu, kau ingin kita pulang sekarang?"

"Boleh."

"Baiklah."

~

"Oppa.."

"Hm."

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Memasak."

"Haish, aku serius bertanya."

"Menurutmu? Lagipula apa yang kau lakukan disini?"

"Mengunjungimu."

"Jangan bercanda. Keluarlah, selesaikan pekerjaanmu."

"Pekerjaan yang mana? Aku sudah menyelesaikan semuanya."

"Kalau begitu lakukan hal lain, pergi ke tempat lain. Yang penting jangan menggangguku disini."

"Oppa."

"Keluarlah, Young. Orang akan mengatakan hal yang tidak-tidak jika kau tetap disini."

"Ayolah, hal yang tidak-tidak bagaimana? Semua juga tahu jika aku adalah adikmu."

"Aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin melihatmu."

"Haish, baiklah. Aku akan pergi!"

Gadis itu meletakkan berkas ditangannya ke meja dengan sedikit unsur melempar agar menunjukkan jika dia tengah marah.

Sedang sang pemilik meja hanya memberikan reaksi datar atas tingkah sang adik. Dia hanya menatap Young Me setelah gadis itu berjalan keluar ruangan.

Gadis yang selama beberapa minggu ini jadi sering mengganggunya; masuk ke ruangan atau bahkan menghubunginya hanya untuk bercerita tentang masalah Hyukjae atau Donghae. Membuatnya jengah.

~

"Apa yang sedang kau lakukan? Ini sudah waktunya makan siang."

"Aku sedang ada meeting, sayang."

"Kenapa harus ada meeting? Aku ingin makan siang denganmu."

"Maaf, kita akan makan malam bersama nanti di apartemenmu, eoh? Untuk saat ini aku tidak bisa."

"Baiklah, terserah kau saja."

"Kau marah?"

"Tidak. Aku hanya sedang kesal karena Leeteuk oppa dan sekarang kau menambah rasa kesalku."

"Benarkah? Maaf, aku tidak tahu jika moodmu sedang tidak baik."

"Tidak apa. Aku akan makan siang sendiri."

"Makan siang di cafetaria saja, jangan keluar dari kantor, arra?"

"Baiklah. Selesaikan meetingmu cepat dan segera makan siang."

"Siap, nyonya Lee. Sampai jumpa nanti malam."

"Hm. Sampai jumpa."

Young Me sedikit menghempas ponselnya ke meja. Makanan dan minuman coklat yang menjadi favoritnya sama sekali tidak menggugah selera kali ini. Terlalu kesal dengan sang kakak dan kekasihnya.

"Sama saja. Mereka berdua sama saja."

"Jangan menggerutu di depan makanan."

Atasannya muncul, menarik kursi lalu duduk di sampingnya.

"Jika sudah ada yang terhidang makanlah cepat, jangan hanya menatapnya."

Gadis itu hanya menatap datar lalu mendorong kursi ke belakang, berdiri dan meraih ponselnya; berniat pergi.

"Kemana? Aku baru saja duduk."

Tangannya ditahan.

"Pergi ke tempat lain. Aku tidak ingin mengganggumu."

"Hey! Hey!"

Pria itu bangkit dan segera menghadang sang adik yang berjalan menjauh, jelas sekali dia tengah kesal sekarang.

"Kau marah, eoh?"

"Tidak."

Wajahnya melihat ke arah lain; tidak ingin menatap Leeteuk.

"Kalau begitu duduklah. Temani aku dulu."

"Kau akan bertingkah menyebalkan dan memancing emosiku lagi, oppa."

"Tidak, aku berjanji. Aku justru ingin meminta maaf karena mengacuhkanmu tadi."

Young Me diam dan tetap ditempatnya.

"Ayolah. Orang-orang tengah memperhatikan kita sekarang."

Gadis itu mencuri pandang dan menyadari banyak mata yang tertuju pada mereka. Mungkin merasa heran dan penasaran karena melihat sang CEO bersitegang dengannya.

"Lepaskan tanganmu."

Leeteuk segera mengangkat tangan kiri yang masih bertengger di lengan adiknya itu. Menatapnya hingga dia kembali ke kursinya. Terasa seperti bertengkar dengan Hye Ri.

"Berhentilah marah. Aku minta maaf, aku tidak berniat untuk mengacuhkanmu tadi."

"..."

"Young.."

"Diam dan makan saja makananmu, oppa."

"Kalau begitu makanlah juga makananmu."

"Aku tidak lapar."

"Jangan seperti itu. Kau sudah melewatkan sarapan, jangan melewatkan makan siangmu juga."

"Aku makan sesuatu sebelum pergi ke kantor tadi."

"Tidak perlu berbohong. Aku tahu kebiasaanmu, kau tidak pernah mengisi perutmu saat pagi."

"Sekarang makan cepat, kau bisa kembali ke atas setelahnya."

Gadis itu hanya diam dan mulai menyantap makanannya.

Dia berniat menceritakan masalahnya pada Leeteuk, karenanya dia bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan pergi ke ruangan sang kakak. Namun yang terjadi justru moodnya semakin buruk karena pria itu mengacuhkannya.

"Kau bisa mengatakannya."

"Apa?"

"Yang ingin kau katakan padaku."

"Tidak ada."

"Lalu untuk apa kau datang ke ruanganku tadi?"

"Bukankah aku sudah mengatakannya? Aku hanya ingin mengunjungimu."

"Baiklah, apa katamu saja."


~TBC~