Senin, 05 Desember 2016

Just Say It #4 (END)

Author : Reni Retnowati (Park Hye Ri)
Cast : Lee Donghae, Park Jin Ra, etc.
Length : Chapters


Happy reading!

~

 "Ingin merencanakan semuanya dari awal?"

"Mau tidak mau. Tidak ada pilihan lain."

"Lucu rasanya. Kau merencanakan semuanya tapi gagal."

"Jangan mengejekku."

Hyukjae mengangguk-anggukkan kepala.

"Tapi jika dipikir- lagi kenapa kau harus membicarakannya denganku? Aku bukan ahli dalam bidang itu."

"Tidak ada orang lain, bodoh."

"Sialan."

"Sekarang kau ingin membantuku atau tidak?"

"Ya ya, baiklah. Cepat saja kita membicarakannya."

"Jadi kau akan bertugas mengurus ini dan ini. Untuk daftar nama akan aku kirimkan padamu nanti."

Hyukjae kembali mengangguk dan memperhatikan apa yang tertera di layar laptop Donghae.

"Lalu untuk urusan yang lain?"

"Sebagian sudah selesai, hanya sebagian kecil yang masih harus aku kerjakan."

"Aku rasa kau melupakan bagian paling terpentingnya."

"Aku tidak lupa. Aku hanya sedang mencari cara yang ampuh."

"Itu sama, bodoh. Kau ingin mengambil resiko dengan melakukan semua ini sementara bagian terpentingnya saja belum selesai? Jika gagal lagi bagaimana?"

"Tidak akan. Aku akan memastikannya."

Donghae bersandar dan mengibaskan tangan di depan wajah Hyukjae.

"Jangan pernah menemuiku lagi jika rencana kedua ini gagal. Aku tidak ingin lagi membantumu."

"Ya ya ya. Apa katamu saja."

Baru sang sahabat hendak membuka mulut, suara ketukkan di pintu menghentikannya.

Donghae yang tersenyum tipis melihat ke arah pintu.

"Masuk."

"Tidak ada yang membukakan pintu untukmu, tuan Lee?"

Membuat Hyukjae mendapatkan tatapan dingin untuk kesekian kalinya.

Tidak ada Jin Ra disini, jadi jelas tidak ada orang yang akan membukakan pintu untuk sang CEO karena dia juga tidak berniat mencari sekretaris lain.

"Oh, apa aku mengganggu kalian?"

Senyum di wajah Hyukjae dan Donghae berangsur menghilang.

Donghae sebenarnya sudah terang-terangan menunjukkan ekspresi tidak sukanya.

"Tidak. Kau tidak menganggu. Lagipula aku sudah akan pergi."

Hyukjae berdiri, merapikan jas dan menatap Donghae.

"Aku akan mencetaknya segera."

Yang direspon dengan anggukan.

"Aku pergi dulu, Chaebi-ssi."

"Ya."

Dan segera keluar dari sana.

Hyukjae tentu tidak bodoh untuk mengerti aura seram yang muncul di diri Donghae.

"Apa ada yang ingin kau sampaikan?"

Donghae menatap Chaebi yang masih berdiri di depannya.

"Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang."

"Kau masih ingin mengajakku makan siang? Kau tahu jika aku sudah menikah."

"Ini kan hanya makan siang biasa. Lagipula 'istrimu' itu juga tidak akan marah, kan?"

Donghae mulai merasa tidak nyaman dengan cara Chaebi menyebut kata 'istri'.

Apa gadis itu tahu tentang hubungan mereka yang sebenarnya?

"Maksudmu?"

"Tidak ada maksud apa-apa. Dia juga kan tidak ada di ruangan ini, jadi dia tidak akan tahu jika kita pergi bersama."

'Sebelum melakukan itu, selesaikan dulu hubunganmu dengannya.'

Sepertinya Donghae mulai mengerti arti perkataan Jin Ra tempo hari.

"Apa kau menemui Jin Ra belakangan ini?"

"Ya. Kebetulan aku-"

"Apa kau mengatakan sesuatu padanya?"

"Tidak. Aku-"

"Aku tanya apa kau mengatakan sesuatu padanya?"

Nada bicara Donghae semakin lama semakin meninggi, entah pria itu sadar atau tidak.

"Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya bertanya kenapa dia lama tidak terlihat disini. Haruskah kau bertanya dengan nada setinggi itu?"

"Dan haruskah kau ikut campur setiap urusanku? Aku tidak memintamu mengurusi kehidupan rumah tanggaku."

"Kau tahu? Aku semakin muak dengan semua ini. Dengan tingkahmu, dengan pendapat orang lain tentang kita. Tidak bisakah kau bersikap wajar dan sedikit menjaga jarak denganku?"

"Ma-maksudmu? Kau ingin aku menjauh?"

"Ya. Kau harus sadar bagaimana statusku sekarang, aku bukan lagi pria lajang yang bisa bersamamu dan bisa kau dekati setiap saat, terlebih di luar urusan kerja."

"Aku tidak ingin terus membiarkan orang-orang berpendapat jika kita memiliki hubungan lebih dari sekedar sahabat. Dan kau yang seharusnya berusaha agar mereka berhenti menganggap kita sebagai kekasih justru semakin menunjukkan jika apa yang mereka pikirkan itu benar adanya."

"Tapi... bukankah memang begitu?"

"Kau tahu aku menganggapmu sebagai apa. Dan kau tahu jika perasaanku padamu tidak akan pernah berubah. Kau hanya adik bagiku, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih."

"Oppa.."

"Berhenti memanggilku seperti itu. Lama-lama aku bosan mendengarnya. Aku mungkin bisa saja tidak ambil pusing dengan tingkahmu, tapi hal itu berpengaruh pada Jin Ra. Dia menjauhiku karenamu. Haruskah kau juga mengganggu kehidupanku dengannya?"

Chaebi yang semakin berkaca-kaca seakan tidak berimbas apa-apa pada Donghae. Pria itu yang dari awal memang berniat menghentikan semuanya seperti sudah memasang tameng di dirinya.

"Aku tidak ingin hubungan kita menjadi buruk. Tapi kau yang menghancurkannya dan aku tidak bisa terus diam karena ini. Kau sangat mengenalku, dan aku rasa kau tahu jika aku berusaha untuk tidak membentakmu saat ini."

"Aku tahu kau memiliki sifat obsesif pada semua hal. Tapi kali ini itu tidak berlaku padaku. Aku bukan milikmu jadi berhenti berusaha menahanku di sekitarmu. Semakin kau berusaha, semakin ingin aku menjauh."

"Hanya akan ada satu wanita yang aku pertahankan. Bukan wanita lain apalagi kau, hanya Jin Ra."

"Hentikan..."

"Jika kau memang masih ingin aku menganggapmu sebagai teman, hentikan semua obsesimu padaku."

"Oppa."

"Aku tidak ingin terus bersikap manis. Aku menyesal karena semua perhatianku padamu itu justru kau artikan dengan berbeda."

"Kontrak!"

Sesak yang ia rasakan mungkin akan segera memuncak.

"Pernikahan kalian hanya kontrak."

"Kontrak atau sungguhan itu bukan urusanmu!"

Gelas kaca yang sedari tadi bertengger dengan tenang di atas meja sekarang sudah menjadi kepingan di lantai.

Sepertinya seseorang sudah tidak bisa menahan amarahnya saat ini.

"Kau pikir apa pendapat orang tentang kalian?"

Dia mengusap wajah basahnya dengan kasar.

"'CEO Lee Donghae menikahi sekretarisnya sendiri', 'Seorang sekretaris yang mengambil keuntungan dengan menikah kontrak', atau apa?"

"Jung Chaebi !!!"

Suara tangisan sang gadis yang semakin keras tidak bisa menutupi tingginya emosi Donghae.

Dia tahu ada bagian di dirinya yang merasa sakit melihat gadis yang selama bertahun-tahun selalu dekat dan mendapat perhatian darinya sekarang justru menangis tersedu;sedu, karenanya.

"Semua sudah selesai."

"Jika kau tidak ingin mendengarku mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan, lebih baik keluarlah."

Dia berjalan mendekati meja kerja, menarik dasinya agar melonggar.

Atmosfir semakin membuatnya panas.

Dia tahu cepat atau lambat semua ini harus terjadi. Dia yang harus membuat Chaebi menjauh.

Untuk kali ini, biarkan gadis itu sadar dengan posisinya. Dia harus tahu apa yang bisa dan harus ia perjuangkan atau hal apa yang harusnya ia rela dan lepaskan.

~

'Lusa kau harus ikut denganku ke suatu tempat jadi usahakan kau tidak memiliki janji apapun pada hari itu.'

'Dan aku tahu jika kau rindu padaku karena kita tidak bertemu selama seminggu belakangan, tapi bersabarlah. Kita akan sering bertemu nanti setelah semua urusanku selesai.'

Jin Ra membaca sekilas pesan masuk di ponselnya.

"Kau sama sekali tidak membuatku merindukanmu, Lee Donghae."

Gadis itu menggeser duduknya ke ujung sofa agar bisa meraih telepon rumah di atas meja.

Mengangkat gagang dan menekan beberapa nomor.

"Ajhuma."

Lalu mendesah kecewa saat mendapati suara penerima teleponnya bukanlah orang yang ia harapkan.

"Apa eomma pergi? Kemana?"

"Baiklah, aku mengerti."

"Katakan saja putri kesayangannya sedang rindu padanya."

"Ne, aku akan ke rumah nanti."

Dia meletakkan gagang telepon kembali ke tempat lalu merebahkan tubuhnya ke sofa.

"Sesibuk apa hingga kalian semua tidak memiliki waktu bertemu denganku?"

Sepertinya belakangan ini semua orang tidak memiliki waktu untuknya, atau justru memang sengaja menjauhinya?

~

Snack coklat yang baru ia beli tadi malam memang lebih menarik untuk ia nikmati sekarang dibanding harus beranjak dari sofa dan membuka pintu depan.

'Sebagai informasi aku sudah mengetuk pintu dan menekan bell puluhan kali.'

'Aku menunggu, sayang.'

Jin Ra bisa mendengar samar-samar suara ketukan di pintu apartemennya.

'Kau tahu aku bisa melakukan apapun agar bisa masuk ke dalam.'

'Lee Jin Ra.'

'Kau ingin aku memanggil pegawai dan memaksa masuk ke dalam?'

"Justru mereka akan mengusirmu dari sini."

Jin Ra meremas kantong snack yang kosong dan beranjak dari sofa.

"Kau akan menyesal jika kita terlambat hari ini."

"Aku sedang tidur tadi, lagipula kenapa kau datang kemari?"

"Bukankah sudah ku katakan aku akan menjemputmu?"

Donghae berjalan ke dalam dan masuk ke kamar Jin Ra.

"Kenapa masuk ke kamarku tanpa izin?"

"Lee Donghae!"

Gadis itu sedikit berlari mendekati kamarnya, takut sang kekasih melakukan sesuatu yang buruk disana.

"Ini. Kenakan dan jangan banyak bertanya."

Sebelum tertahan karena pria itu yang sudah lebih dulu keluar dan menyodorkan coat serta tas tangan miliknya.

~

"Bisa kau ulangi lagi, eonni?"

"Kau harus mengenakan gaun ini untuk menjadi pengiring pengantin bersama Donghae?"

"Pengiring pengantin siapa? Dan kenapa harus aku? Donghae bahkan tidak mengatakan apa-apa."

"Kerabat dekatnya dan ini juga mendadak jadi mungkin dia tidak sempat memberitahumu."

"Aish! Tapi aku tidak ingin jika mendadak seperti ini."

Dia menatap gusar kekasih Donghwa di depannya ini.

"Ayolah. Hanya sebentar saja."

"Aku tidak bisa menolak permintaan Donghae. Kau juga tidak akan mau kan melihat dia marah."

Hye Soo sekali lagi menyodorkan gaun di tangannya dan menunjuk ruang ganti.

"Cepatlah. Mereka menunggu."

Dan walau masih dengan gerutuan, Jin Ra meraih gaun putih itu dan beranjak masuk ke ruang ganti.

"Dia yang akan melihat betapa menyeramkannya aku jika marah."

"Lagipula kenapa aku harus mengenakan gaun seperti ini? Aku pengiring atau pengantinnya?"

Diiringi dengan suara Hye Soo yang terus memintanya untuk bergegas, Jin Ra keluar seraya masih sibuk merapikan gaunnya.

"Duduklah."

Lalu hanya menurut saat Hye Soo menariknya agar duduk di depan meja rias.

"Aku hanya akan meriasmu sedikit."

Pengiring pengantin tanpa riaspun tidak akan masalah kan?

Menyebalkan.

"Jangan memasang ekspresi seperti itu. Kecantikanmu akan menghilang nanti."

"Hm. Aku tidak akan pernah terlihat cantik jika sedang bersama calon adik iparmu itu, eonni."

"Jangan terlalu membencinya, kau akan semakin jatuh cinta nanti."

"Cih. Tidak akan."

Hye Soo tersenyum simpul lalu menggandeng lengan Jin Ra, membawanya keluar riang persiapan dan berjalan ke arah hall gereja.

Mungkin juga tanpa menyadari ekspresi Jin Ra yang masih saja masam.

"Maaf."

"Hm?"

Dan gadis itu yang menunduk tadi sekarang sedikit mendongak dan melihat ke arah Hye Soo yang menunjuk ke depan; ke dalam hall.

Jin Ra bisa melihat deretan bangku gereja serta altar di ujung, ada pendeta disana dan ada satu pria yang berdiri disampingnya.

Pengantin pria?

Tapi dia mengenal pria itu.

Hye Soo yang menyadari Jin Ra masih terlalu sibuk terpesona saat melihat ke arah altar, memanfaatkan kesempatan dengan menarik gadis itu agar terus berjalan masuk.

Dia mungkin juga tidak menyadari hymne wedding yang mulai terdengar seirama dengan langkahnya.

Senyum pria di ujung sana semakin mengembang melihat Jin Ra yang semakin dekat dan kemudian berhenti saat sudah sampai di altar.

Dia mengulurkan tangan pada gadis yang masih menatapnya itu. Gadis yang bukannya menerima uluran tangannya tapi justru terus diam di tempat.

Jin Ra berkedip mendapati tatapan sang pria yang seakan memintanya untuk cepat naik dan tidak membuat pendeta menunggu lebih lama lagi.

Dan juga sentuhan Hye Soo di punggungnya setelah wanita itu dengan paksa melepas kaitan Jin Ra di tangannya tadi sedikit berhasil membuatnya tersadar lalu dengan pelan menerima uluran tangan sang pengantin pria.

'Tuhan, maafkan aku karena memiliki niat untuk membunuh pria di depanku ini.'

Sang pendeta segera memulai proses pemberkatan lalu berdehem kemudian saat menyadari jika pasangan di depannya hanya asik saling berpandangan dan kemungkinan besar tidak mendengar apa yang sudah ia katakan.

Memang tidak sepenuhnya tatapan cinta melainkan jelas ada tatapan ingin memaki dari salah satunya.

"Baiklah, kita singkat saja."

Tidak ada pilihan lain.

"Kau, Lee Donghae, apakah kau bersedia menerima Park Jin Ra sebagai istrimu?"

Tanpa perlu jeda lama, seseorang yang ditanya itu tersenyum dan mengangguk.

"Ya, aku bersedia."

"Dan kau, Park Jin Ra, apakah kau bersedia menerima Lee Donghae sebagai suamimu?"

Tidak ada suara untuk beberapa saat. Tatapan Jin Ra tetap mengarah ke Donghae.

Dia kemudian sempat mengalihkan pandangan dan mendapati hanya ada Hye Soo dan Donghwa di bangku hall yang tersenyum padanya.

Gadis itu lalu kembali menatap Donghae yang juga tersenyum dan balik menatapnya lekat, pria itu juga sedikit meremas tangannya.

Mungkin berniat menguatkan serta mencoba meyakinkan jawaban apa yang akan ia ucapkan.

~

"Jadi selama semingguan ini kau menjauhiku karena menyiapkan semua ini?"

"Ya, begitulah."

"Kau nekat sekali. Tidak takut aku akan mengatakan 'tidak' saat di altar?"

"Tentu saja tidak. Kau pikir aku berani mengambil resiko menikahi seorang gadis yang tidak mencintaiku?"

"Cih."

Donghae mengangkat tangan Jin Ra yang ia genggam; berniat memberi kecupan disana sebelum gadis itu justru lebih dulu menggunakannya untuk mendorong wajahnya.

"Aish, tidak bisakah kau menghargai usahaku? Kau tidak tahu apa yang sudah aku lakukan agar rencana hari ini bisa terlaksana dengan baik."

"Hyukjae oppa pasti mendapat hujan ancaman darimu agar bersedia membantu."

"Tidak ada masalah dengan pria itu. Seharusnya kau bertanya bagaimana aku meminta bantuannya."

Donghae menginjak rem saat lampu lalu lintas berwarna merah. Matanya mengarah ke kaca spion; menatap mobil di belakangnya. Membuat sang istri melakukan hal yang sama.

"Donghwa oppa?"

"Meminta bantuannya berarti membongkar rahasia jika selama ini kita tidak menikah sungguhan."

"Dan reaksinya?"

"Biasa saja. Setidaknya kau masih bisa melihatku disini dan tidak berakhir di kamar mayat."

Jin Ra tersenyum simpul dan mengusap pipi Donghae saat pria itu kembali menjalankan mobil.

"Lalu sekarang kita akan kemana?"

"Tempat kejutan kedua."

"Tidak ingin memberitahuku?"

"Tidak."

"Aish. Selalu saja."

"Lagipula sebegitu tidak percayanya kau padaku."

Pria itu mengurangi kecepatan mobilnya dan berbelok memasuki pekarangan sebuah rumah berukuran cukup besar.

Yang membuat Jin Ra mengerut bingung, terlebih saat ia melihat ibu mertua (sungguhan) dan orang tuanya sedang ada di teras; seakan menunggu mereka.

"Apa yang-"

Belum sempat kalimat itu selesai ia ucapkan, Donghae sudah lebih dulu turun, memutari mobil dan membuka pintu untuknya.

Memintanya turun seraya berjanji akan menjawab pertanyaannya nanti.

"Kalian lama sekali. Sengaja ingin membuat kami menunggu?"

"Maaf, eommonim. Semuanya karena putri kesayanganmu."

"Karena ku?"

Jin Ra refleks memukul lengan Donghae.

"Dia tiba-tiba datang dan memintaku ikut dengannya. Tidak mungkin aku setuju begitu saja kan, eomma?"

"Ya! Memangnya aku akan membawamu ke tempat yang buruk hingga kau tidak percaya padaku?"

"Aku kan hanya bersiaga. Lagipula, kau memang tidak dapat dipercaya."

"Ah, sudahlah!"

Ibu Donghae menarik tangan sang putra; memberinya tatapan peringatan.

"Bisa-bisanya kalian masih bertengkar di acara seperti ini?"

"Maaf, eommonim."

Jin Ra mengangguk singkat dan meraih tangan sang ibu mertua saat wanita itu berniat membawanya ke dalam.

Di dalam rumah sudah berhias dekorasi yang jelas menunjukkan jika memang ada sesuatu yang dirayakan disini.

"Kalian sudah menikah hampir 10 bulan. Donghae belum sempat merayakan pernikahan kalian dan sengaja ingin menunggu hingga dia bisa menyiapkan rumah ini."

Jelas ibu Donghae yang ditanggapi dengan anggukan oleh ibu Jin Ra.

Sedang gadis itu sudah kembali berdiri di samping sang suami.

"Kau menyiapkan semua ini tanpa memberitahuku?"

"Ini ke-ju-tan. Perlu aku carikan arti kata itu di kamus?"

"Aku serius."

Suaranya lirih tapi tegas.

"Aku juga serius, nyonya Lee."

"Tapi tetap saja tidak perlu seperti ini."

"Kau seharusnya senang karena aku menyiapkan kejut-"

Donghwa sudah lebih dulu menarik telinga sang adik dan menarik serta membawanya menjauh dari Jin Ra sebelum mereka melanjutkan pertengkaran konyol mereka.

"Untuk hari ini saja. Bisa tidak bertengkar untuk hari ini, sayang?"

"Maaf, eomma. Maaf, eommonim."

Kedua ibunya itu hanya tersenyum simpul dan menggeleng singkat.

Jin Ra lalu merasakan dirinya ditarik oleh seseorang yang membawanya ke dapur.

"Park Jin Ra!!!"

Seseorang yang sudah memeluknya dengan sangat erat.

"Astaga. Kau ingin membunuhku, Park Young Me? Erat sekali."

Memaksanya sedikit menggunakan kekuatan agar pelukan sang sahabat terlepas.

"Maaf. Aku terlalu gembira."

"Kau juga ikut menyembunyikan semua ini dariku?"

"Hanya mengikuti perintah."

Jin Ra mendengus singkat lalu memperhatikan kembali sang sahabat; menyadari sesuatu.

"Tapi kau bagaimana bisa ada disini?"

"Aku sahabatmu. Tentu saja aku akan ada disini."

"Bukan begitu. Memangnya Donghae mengundangmu? Dia kan sepertinya masih tidak suka denganmu."

"Tentu saja bukan dia. Tapi bibi yang mengundangku."

"Maaf, dia sebenarnya bukan orang pendendam."

"Tidak apa. Dia kan marah karena memang aku melakukan kesalahan padamu."

"Maaf, eoh?"

Jin Ra mendekat dan memeluk Young Me; menepuk-nepuk punggungnya singkat.

"Lalu bagaimana hubunganmu dan Kibum?"

"Baik. Kami mulai membicarakan pertunangan sebenarnya."

"Benarkah? Bagus jika begitu."

Jin Ra hendak kembali bertanya sebelum suara seseorang yang berdehem terdengar dari arah pintu dapur. Membuat Young Me menoleh dan mendapati Donghae yang masuk dengan raut tidak bersahabat.

"Aku akan menceritakannya nanti."

Gadis itu lalu hanya menyentuh tangan sang sahabat dan berlalu pergi dari sana.

"Kau membuatnya takut."

Jin Ra mendekat ke meja makan dan menuang air ke dalam gelas.

"Apa aku mendengar ada nama 'Kibum' yang disebut tadi?"

"Ya, benar. Lalu kenapa?"

"Aku tidak suka namanya disebut di acara seperti ini."

"Aku hanya bertanya bagaimana hubungannya dan Kibum. Apa aku salah menanyakan tentang itu?"

Gadis itu berniat minum sebelum Donghae lebih dulu merebut gelas itu dari tangannya.

"Kita baru menikah kurang dari dua jam yang lalu, haruskah kita sudah bertengkar sekarang?"

"Bukankah kita sudah bertengkar sedari tadi?"

Dia menyadari ekspresi Donghae yang datar.

"Kau marah?"

Pria itu meletakkan gelas di tangannya ke atas meja, dengan kasar.

Lalu berniat menjauh dari sang istri.

"Tunggu dulu. Kau benar-benar marah?"

Sebelum gadis itu menahan tangannya.

"Kau ingin aku memarahimu disini? Sekarang?"

"Jadi kau benar-benar marah?"

"Entahlah!"

Donghae melepas kaitan Jin Ra di lengannya dan berniat melanjutkan langkah sebelum kembali terhenti saat melihat seseorang yang berdiri mematung di ambang pintu.

"Eommonim."

~

"Jadi... kalian baru menikah hari ini?"

"Ya, eommonim."

"Lalu selama ini kalian tinggal bersama?"

"Itu... pernikahan kontrak..."

"Kontrak? Astaga."

Donghae memperhatikan sang ibu mertua yang bersandar di sofa besar di hadapannya.

Wanita itu memutuskan untuk bertanya dulu sebelum memutuskan akan memberitahu hal ini pada yang lainnya atau tidak.

"Jadi selama ini kau tinggal dengan pria yang tidak memiliki hubungan resmi denganmu? Apa eomma mengajarimu menjadi wanita yang tidak tahu aturan seperti itu?"

Jin Ra yang sedari tadi sudah menunduk karena tangisannya, menggeleng dan tidak berani menatap wajah sang ibu.

Membuat sang suami mengeratkan genggamamnya; menenangkan.

"Maaf, eommonim. Kami hanya tinggal bersama selama tiga bulan dan tidak ada yang terjadi di antara kami. Selama tiga bulan pertama dia masih tinggal di apartemennya, begitu juga beberapa bulan belakangan."

"Tetap saja, Lee Donghae. Kau sadar apa yang sudah kau lakukan pada putriku? Kau memanfaatkannya."

"Eomma..."

"Sudah. Terserah apa yang ingin kalian lakukan. Yang pasti aku kecewa dengan semua ini."

Ibu Jin Ra perlahan bangkit dari tempat duduknya, menarik nafas sebentar lalu berjalan keluar dari kamar yang mereka gunakan untuk bicara ini.

"Sudahlah. Berhenti menangis. Kau tahu eomma tidak benar-benar marah padamu. Dia hanya marah padaku."

Donghae memeluk Jin Ra dan mengusap kepala gadis yang semakin nyaring dengan suara tangisannya itu.

"Kita masih harus turun ke bawah dan menemui yang lain. Berhenti menangis, Lee Jin Ra."

~

"Kau tidak ingin mengelilingi rumah ini? Kita akan tinggal disini mulai hari ini."

Donghae mendekat dan memeluk Jin Ra yang berdiri membelakanginya di balkon.

"Nanti."

"Kenapa? Kau masih memikirkan eommonim?"

"Dia tidak pernah marah hingga tidak menegurku sekalipun seperti tadi."

"Sudah ku katakan dia tidak marah padamu. Kalaupun memang dia marah, itu tidak akan lama."

"Kau yakin?"

"Sebenarnya dia ibu siapa? Ibumu atau ibuku?"

"Lee Donghae..."

"Tidak bisakah kau memanggilku dengan sebutan 'oppa'? Aku suamimu sekarang."

"Jangan membuatku tertawa di saat seperti ini."

"Aku hanya berusaha menghibur, sayang."

Dia mengeratkan pelukan dan meletakkan dagunya ke pundak Jin Ra.

"Tidak berhasil."

"Lalu kau ingin apa sekarang?"

"Mendapatkan cara agar eomma tidak lagi marah."

"Ada. Hanya satu cara."

"Ada? Apa?"

"Memberikannya sesuatu."

Jin Ra yang kelewat excited, memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan sang suami.

"Memberikan apa? Hadiah?"

"Ya. Hadiah yang tidak akan bisa dia dapatkan dari orang lain selain dari kita."

Donghae memainkan jemarinya di wajah Jin Ra yang semakin lama semakin tersenyum lebar.

"Memangnya hadiah berupa apa?"

"Menurutmu hadiah apa yang bisa kita berikan?"

"Tidak tahu. Eomma tidak suka mengoleksi barang apapun jadi aku tidak tahu apa yang harus kita berikan."

"Ada satu hadiah yang tidak akan dia tolak dan pasti menjadi hadiah paling mengesankan yang pernah dia terima."

"Yaitu?"

"Kau tidak tahu?"

"Aish! Beritahu saja aku!"

Menyadari jika pria di depannya itu mulai berbelit-belit, Jin Ra menarik kedua pipi sang suami dan membuatnya mengangguk kalah.

Tapi pria itu justru kembali tersenyum dan mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggang Jin Ra.

"Kita bisa memberikannya..."

Dan perlahan mendekatkan wajah ke samping agar bisa membisikkan sesuatu ke telinga sang istri.

"Cih. Kau ingin mengerjaiku?"

Yang justru refleks memukul dadanya setelah mendengar apa yang ia bisikkan.

"Mengerjai apanya? Itu adalah ide paling cemerlang yang kita butuhkan sekarang."

"Ah, terserahlah."

Jin Ra mencoba melepas kaitan Donghae di tubuhnya dan berjalan masuk ke kamar.

"'Terserahlah'? Apa itu artinya kau setuju?"

"Kita bisa menggunakan ide lain. Tidak perlu ide mesum seperti itu."

"Mesum bagaimana?"

Donghae menarik tangan Jin Ra agar gadis itu ikut duduk di atas tempat tidur.

"Kita sudah menikah, sungguhan. Tidak ada yang bisa kau sebut mesum sekarang. Bukankah itu wajar dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah?"

"Lee Donghae! Aku sedang benar-benar pusing sekarang. Jangan semakin menggangguku."

Gadis itu sengaja memberi beberapa pukulan ringan di tubuh Donghae yang tertawa agar pria itu tidak menyadari ekspresi wajahnya yang memerah sekarang.

Sialan.

~

"Makan malam?"

Donghae memandang sang istri yang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya.

"Nanti."

"Kenapa nanti? Tidak lebih dari 30 detik untuk berjalan ke ruang makan dan tidak lebih dari 10 menit untuk makan. Kenapa harus nanti?"

"Perkerjaan sedang menumpuk, sayang."

"Itu alasan yang selalu kau gunakan sejak minggu lalu."

Jin Ra berjalan masuk dan berdiri di samping meja kerja, membuat sang suami sedikit gelabakan dan meraih satu berkas dan meletakkannya ke atas keyboard laptop; untuk menutupi berkas lain.

"Lagipula kau kan beberapa hari ini selalu makan malam sendiri. Jadi tidak apa kan jika malam ini juga begitu?"

"Justru itu, aku sudah terlalu sering makan malam sendiri. Jadi malam ini aku tidak ingin begitu lagi, dan kau kan juga sedang ada di rumah, kan?"

Gadis itu bicara dengan tangan serta pandangan mengarah ke tumpukan berkas, sedikit membuka-bukanya.

"Kau akan menyesal jika berani menyentuh berkas-berkas itu lagi, Lee Jin Ra."

"Memangnya kenapa?"

Dia sekarang menatap Donghae yang sudah berdiri dan merangkul pundaknya.

"Ada berkas yang tidak boleh aku lihat?"

"Ya. Berkas pernikahanku yang kedua."

"Aish."

~

"Benar yang orang katakan, pernikahan dapat merubah kehidupan seseorang."

"Kenapa? Aku tampak berbeda?"

"Ya, sangat."

"Tampak lebih tampan?"

"Tampak lebih aneh."

"Sialan."

Donghae membolak-balik berkas di hadapannya sekaligus membubuhkan tanda tangan.

"Lagipula kenapa kau masih ada disini? Rapatnya sudah selesai."

"Benar juga."

Hyukjae mengedarkan pandangan; memeriksa ruang rapat yang sudah sepi dan hanya tersisa mereka saja sekarang.

"Lalu kau sendiri? Kenapa masih ada disini?"

"Ini perusahaanku, Lee Hyukjae. Aku bebas melakukan apa saja atau berada dimana saja."

"Jawaban yang bukan jawaban."

Hyukjae berdiri dan mengaitkan kancing kemejanya sebelum kembali duduk saat menyadari ada satu berkas yang terpisah dari tumpukan berkas lainnya.

"Itu berkas apa?"

"Sesuatu."

Sang sahabat bahkan semakin tidak berniat menatapnya saat bicara sekarang.

"Apa yang kau rencanakan dengan berkas itu?"

"Apa saja yang bisa direncanakan."

"Cih. Jawaban macam apa itu?"

"Jawaban yang sesuai gayaku. Pergilah saja, kau mengganggu."

"Sialan."

Dia berlagak hendak memukul kepala Donghae agar pria itu sadar dari ketidakwarasannya. Yang justru membuat sang sahabat terkekeh dengan masih sibuk mendatangani berkas-berkasnya.

"Aku pergi."

"Hmm."

~

"Malam ini ikut denganku."

"Kemana?"

"Acara peresmian cabang perusahaan."

"Jika aku tidak mau?"

"Tidak apa. Aku akan mengajak Chaebi jika begitu."

Jin Ra melempar kaos Donghae yang sedang ia lipat ke kepala pria itu.

Yang sekarang menghentikan langkah dan menatapnya.

"Kau tidak ingin menemaniku tapi juga melarangku untuk pergi bersama Chaebi."

Donghae memungut kaos miliknya lalu ikut duduk disamping sang istri yang duduk di lantai dan bersandar pada salah satu lemari besar di walking closet itu.

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Entah."

"Selalu jawaban yang ambigu."

"Pergi saja. Terserah bersama siapa. Lagipula aku senang jika tidak harus menemanimu, aku bisa tidur lebih awal."

"Benarkah? Aku akan pulang terlambat atau mungkin tidak akan pulang karena bermalam di kantor. Tidak apa?"

Pria itu bergerak dan meletakkan kepalanya di pangkuan Jin Ra, menghambat kegiatan melipat pakaian yang gadis itu lakukan.

"Terserah."

"Baiklah, aku tidak akan pergi. Biarkan saja mereka menungguku, lagipula itu juga bukan acaraku."

Dia melipat tangan dan memejamkan mata. Sengaja membuat Jin Ra semakin kesal.

"Baiklah baiklah. Cepat bangun. Aku akan menyiapkan pakaianmu."

Menyerah.

"Benarkah? Kau bersedia ikut?"

Pria itu dengan cepat bangkit dan menghadap wajahnya. Dengan ekspresi ceria.

Sebegitu senangnya kah dia hanya karena sang istri bersedia untuk ikut?

"Kau akan sangat menyebalkan jika sedang merajuk."

"Kau memang istri terbaik, sayang."

"Memangnya siapa lagi istrimu selain aku?"

"Yang memang hanya kau. Tapi aku mengatakan itu kan karena aku senang karena kau akan ikut."

"Ya, baiklah. Sekarang menjauhlah agar aku bisa segera menyelesaikan pekerjaanku."

"Melipat pakaian memang lebih menarik daripada bermain dengan suamimu sendiri, kan?"

"Memang. Lagipula apa yang kau maksud dengan 'bermain'?"

Jin Ra mendorong dada Donghae karena tubuh pria itu terlalu dekat dengannya.

"Ya bermain apa saja yang bisa kita mainkan."

Membuat sang suami akhirnya kembali ikut bersandar di lemari di sampingnya.

"Bagaimana jika aku bermain dengan melipat pakaian sedangkan kau bermain dengan merapikan tempat tidur dan mencuci pakaian kotor yang ada di keranjang di sudut kamar kita itu?"

"Itu tidak menyenangkan."

"Jika menyenangkan aku tidak akan mengeluh saat setiap hari harus melakukannya."

Jin Ra mengibaskan kaos terakhir yang harus ia lipat.

"Baiklah. Aku akan membantu nanti. Tapi untuk sekarang kita melakukan hal lain yang lebih bermanfaat saja."

"Misalnya?"

"Misalnya..."

Jin Ra beringsut menjauh saat Donghae mendekatkan wajah ke arahnya.

"Apa?"

Pria itu menggeleng dan hanya tersenyum. Sebelum kemudian mengecup singkat bibirnya.

Lalu kembali menempelkan bibir saat tidak mendapat respon penolakan dari Jin Ra.

Gadis itu yang tadi menggenggam erat kaos Donghae yang hendak ia lipat sekarang beralih ke kaos yang sedang suaminya itu gunakan.

Terlebih saat Donghae yang sudah meletakkan tangan kanan ke tengkuk Jin Ra dan tangan kiri ke punggung gadis itu, perlahan menarik tubuh sang istri agar semakin menempel padanya.

Hingga Donghae merebahkan tubuh akhirnya dengan posisi Jin Ra ada di atasnya.

Antara bersyukur karena gadis itu belum memberikan tanda-tanda penolakkan dengan melepas kaitan mereka atau bahkan memukulnya dan menyesal karena mengingat mereka sekarang ada di lantai di walking closet; bukan di tempat yang lebih baik.

Pergerakan Donghae yang semakin agresif membuat Jin Ra kewalahan mengikutinya. Suaminya itu bahkan sudah mulai sedikit menyingkap pakaiannya.

Dan saat dia berniat membalik posisi agar Jin Ra ada di bawahnya, gadis itu justru tiba-tiba melepas kaitan mereka dan mendorong tubuhnya ke belakang. Dia bergegas berdiri lalu berlari keluar dari walking closet.

Meninggalkan sang suami yang masih sedikit terkejut terlebih karena kepalanya sempat membentur pinggiran lemari karena dorongan sang istri.

"Sedikit lagi."

Pria itu dengan posisi yang masih terbaring di lantai meraih kaos yang sudah dilipat Jin Ra dan menggunakan benda itu untuk menutupi wajahnya.

"Sialan."

Sementara Jin Ra yang terengah menekan dadanya pelan, merasa pasokan oksigen berkurang di tubuhnya. Dia menarik kursi di meja makan dan duduk.

Menatap panci berisi sup yang masih bertengger di atas kompor.

Bagaimana bisa dia lupa jika sedang menyalakan kompor untuk memanaskan sup? Jika dia lupa mematikan kompor bagaimana nasib panci serta dapurnya nanti?

Semua karena Donghae.

Bicara tentang Donghae... pria itu?

"Aish. Tidak bisakah kompor ini mematikan sendiri apinya?"

Dia yakin mereka akan jadi sedikit canggung setelah ini.

Gagal dan ditambah fakta jika mereka hampir melakukannya di walking closet semakin membuat Jin Ra menekan telapak tangan ke wajahnya.

"Benar-benar sialan."

~

Sekali lagi, Jin Ra memperhatikan pantulan tubuhnya di cermin.

Lalu melihat heels serta tas tangan yang tergeletak di atas tempat tidur.

Apakah gaunnya pas dengan tubuhnya? Apakah heels serta tas tangan yang ia pilih serasi dengan gaun ini? Apa riasannya kurang atau terlalu tebal? Rambutnya harus ia ikat atau digerai saja?

"Astaga! Aku seperti remaja yang hendak melakukan kencan pertama saja."

Setidaknya ini pertama kalinya dia datang ke sebuah acara dengan status sebagai istri (sungguhan) bukan sekretaris dari Donghae lagi.

Terlepas apakah orang-orang tetap menganggapnya sebagai sekretaris atau tidak, itu tidak masalah.

"Sudah siap?"

Donghae yang tiba-tiba masuk membuat Jin Ra menghentikan kegiatan memeriksa penampilannya.

Lalu menatap sang suami yang berjalan mendekatinya. Memuji diri sendiri karena pakaian yang ia pilih tadi tampak melekat sempurna di tubuh pria itu.

Pilihan yang tepat.

"Sudah."

Dia memandang Donghae yang berdiri di sampingnya dan merengkuh pinggangnya itu.

"Tapi, apa warna bibirmu tidak terlalu pudar?"

Tanyanya kemudian. Membuat Jin Ra kembali melihat ke arah cermin dan menatap bibirnya.

Cukup merah. Pas dan tidak kurang.

"Apa warnanya kurang merah?"

"Hmm. Menurutku."

Donghae lalu mendekatkan wajah dan meraih bibir Jin Ra. Mengecup beberapa kali lalu menautkannya dengan tangan menahan tengkuk gadis itu agar dia tidak menarik wajahnya menjauh.

Dia terus bergerak menikmati bibir sang istri yang sudah mulai berusaha untuk mendorong tubuhnya.

Setelah puas, Donghae menarik wajahnya sedikit menjauh. Menatap mata sang istri lalu menunjuk ke arah cermin, meminta gadis itu melihat kesana.

"Lihat, kan? Warna bibirmu kurang merah."

Menciptakan ekspresi datar di wajah Jin Ra.

Tentu saja warna bibirnya sekarang berkurang. Itu karena perbuatan pria itu tadi.

Sekarang sebenarnya siapa yang bodoh disini?

"Ingin aku membuat warnanya semakin hilang?"

"Ingin aku menarik kata-kataku untuk pergi denganmu malam ini?"

"Hehe, tidak. Maaf."

"Kalau begitu keluar saja duluan. Aku akan menyusul."

"Hmm."

~

"Selamat, Donghae-ah."

"Ya, terima kasih hyung."

"Ini kelima kalinya kau mendapat ucapan itu. Memangnya ada apa?"

Jin Ra berbisik setelah salah satu rekan kerja suaminya berlalu meninggalkan mereka.

"Tidak ada. Hanya ucapan atas proyek besar yang berhasil aku dapatkan."

Jawaban singkat yang dibalas anggukan oleh sang istri. Gadis itu lalu kembali melanjutkan kegiatannya; mencari papan nama acara atau ucapan yang sekiranya mencantumkan nama perusahaan yang sedang melaksanakan acara malam ini.

Sayangnya, tetap tidak ia temukan.

Donghae lalu menggiring sang istri menuju meja minuman yang berada di sudut ruangan.

"Aku tidak menyangka akan banyak yang datang malam ini."

"Memangnya ini peresmian cabang perusahaan apa? Kau sedari tadi tidak ingin memberitahuku."

Suaminya itu hanya menggeleng dan menyodorkan segelas minuman untuknya.

"Kau akan tahu nanti. Bersabarlah."

Pria itu lalu meneguk minuman di tangannya.

"Aku ingin menemui teman-temanku dulu. Kau tunggu disini."

Dia membenarkan posisi jasnya yang menutupi pundak Jin Ra lalu beranjak pergi kemudian.

Meninggalkan sang istri yang tersenyum singkat.

Gadis itu mengingat saat dulu sering pergi ke acara resmi seperti ini. Saat Donghae meninggalkannya pasti akan ada Siwon yang datang tidak lama setelahnya. Pria itu akan menemaninya mengobrol hingga Donghae kembali.

"Tapi tidak kali ini."

Tentu. Pria itu sedang di mutasi ke luar negeri selama 1 tahun.

"Lama tidak berjumpa, Jin Ra-ssi."

Suara yang berhasil memudarkan senyuman di sudut bibir Jin Ra.

Tanpa melihat ke samping pun dia tahu siapa yang menyapanya barusan.

"Ya. Lama tidak berjumpa."

Siwon yang ia harapkan. Bukan orang ini.

"Aku tidak mengira bisa melihatmu lagi. Kau datang bersama Donghae oppa?"

"Ya."

Dengan pandangan mengarah lurus ke depan, Jin Ra berusaha mensugesti dirinya jika di sampingnya tidak ada siapa-siapa. Hanya khayalannya saja.

"Hubungan kalian 'baik'?"

Sayangnya dia nyata.

"Baik. Sangat baik bahkan."

Chaebi hendak kembali bersuara sebelum suara seseorang di panggung yang ada di tengah hall menggema ke penjuru ruangan.

"Terima kasih atas kehadiran kalian semua malam ini. Dan untuk memulai peresmian saya persilahkan tuan presdir untuk memberikan sambutan dan melakukan peresmian."

Semua orang bergerak mendekat ke arah panggung. Jin Ra pun mengikuti Chaebi yang turun dari kursi tingginya dan berdiri bersandar ke meja bar.

Dia lalu mengedarkan pandangan mencari dimana suaminya berada.

Donghae yang terlihat baru saja selesai berbincang dengan beberapa orang itu berdiri di sudut sisi kanan panggung.

Pria itu tersenyum pada teman berbincangnya lalu mulai berjalan menjauh.

Jin Ra awalnya tersenyum karena mengira suaminya itu berjalan ke arahnya, sayangnya pria yang sempat melempar senyum untuknya itu berubah haluan dan berjalan ke arah panggung.

Lebih tepatnya, naik ke atas panggung lalu menggantikan pria yang membuka acara tadi dan berdiri di depan standing mic.

"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk semua undangan yang sudah hadir malam ini."

Jadi, ini peresmian cabang perusahaannya?

Pintar sekali dia menutupi. Pantas tidak ada papan nama atau karangan bunga yang terlihat.

"Seperti yang mungkin sudah kalian dengar, cabang perusahaan ini dipersiapkan untuk orang yang spesial. Dan juga mungkin dari informasi yang kalian dengar, seseorang yang akan menjalankan cabang perusahaan ini adalah seorang wanita."

Pria itu mengubah arah tubuhnya ke sudut dimana meja bar berada.

"Seorang wanita yang sedang ada di ujung sana."

Dia menunjuk dan membuat semua orang spontan mengalihkan pandangan ke arah meja bar.

Mereka sempat berpandangan satu sama lain karena mendapati ada dua wanita disana; Chaebi dan Jin Ra.

Yang mana?

"Wanita spesial yang bersamaku selama beberapa bulan belakangan. Seseorang yang selalu mendukung dan membantuku untuk urusan pekerjaan."

Ucap Donghae sebelum pria itu berjalan menuruni panggung dan mengambil langkah mengarah ke sumber tatapan semua orang.

Jin Ra yang merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan orang menundukkan wajah. Berbanding terbalik dengan Chaebi yang justru semakin menunjukkan senyuman manisnya, terlebih saat mendengar suara-suara bisikan tamu lain yang menyebut-nyebut namanya.

Tidak ada yang tidak tahu tentang kedekatan Donghae dan Chaebi. Karena itu mereka jelas sebagian besar berpendapat jika wanita yang Donghae maksud adalah Chaebi.

Senyuman gadis itu semakin lebar saat Donghae menghentikan langkah di depannya.

Pria itu sedikit tersenyum dan menggumamkan kata 'maaf' yang dibalas anggukan oleh Chaebi. Mungkin 'maaf' atas sikapnya tempo hari di ruang kerjanya.

Jin Ra yang menunduk hanya berani menatap sepatu sang suami yang berhenti tepat di depan heels Chaebi.

"Terima kasih sudah menghadiri undanganku."

Dia bisa mendengar Donghae mengatakan kalimat itu. Kaki pria itu kemudian kembali mengambil langkah dan sekarang berhenti tepat di depannya.

Tidak ada kata yang terdengar. Hanya tangan kanannya terulur ke depan tubuh Jin Ra; tepat di depan arah pandangan gadis itu.

"Tetap ingin menunduk? Semua orang menunggumu."

Ucapnya kemudian yang tanpa pikir panjang langsung meraih tangan sang istri dan membawanya berjalan ke arah panggung.

Menyisakan tatapan terkejut serta tidak percaya dari beberapa orang. Serta tatapan terkejut bercampur amarah dari seseorang yang masih berdiri di samping meja bar.

Donghae merangkul pundak Jin Ra agar gadis itu tidak lagi menunduk dan mau menatap ke depan; menatap semua orang yang melihat ke arah mereka.

"Sebagian besar dari kalian pasti mengenalnya. Karena wanita cantik ini selalu menemaniku saat rapat atau bertemu dengan beberapa rekan kerja. Namanya Park Jin Ra. Mantan sekretarisku yang sekarang berubah profesi menjadi istriku. Atau kalian bisa memanggilnya dengan nama Lee Jin Ra mulai saat ini."

~

"Kau tidak suka? Kenapa diam saja?"

"Kau pura-pura tidak tahu atau apa?"

"Maksudmu? Kau tidak suka dengan kejutan ini? Kau marah padaku?"

"Lee Jin Ra..."

"Aku benar-benar tidak tahu dimana letak kesalahanku."

Donghae sibuk menggenggam tangan Jin Ra dan meminta gadis itu menatapnya.

"Kenapa tidak memberitahuku dulu? Kau tidak lihat tatapan semua orang? Mereka tidak mengenalku dan tiba-tiba melihatku disini sebagai pemegang cabang perusahaan milikmu. Kau pikir mereka tidak akan mengatakan hal yang macam-macam tentangku?"

"Perkataan atau pendapat mereka tidak akan mempengaruhi hubungan kita atau apapun. Kenapa kau harus peduli dengan itu?"

"Lee Donghae. Jangan bersikap seakan semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya akan ada masalah yang muncul setelah hari ini. Kau sadar itu."

"Aku sadar dan aku tidak peduli dengan itu. Ini perusahaanku. Aku membuka cabang atau membangkrutkan perusahaan ini, itu hak ku. Untuk apa mereka ikut campur?"

Jin Ra menghembuskan nafas dan menatap Donghae, jawaban pria itu sama sekali tidak menenangkannya.

"Ayolah. Cepat atau lambat mereka akan tahu tentangmu. Dan yang namanya sebuah perusahaan pasti akan mendapat masalah, tidak peduli karena apa dan kapan waktunya."

"Kau tidak bisa setenang ini."

"Aku berusaha untuk tenang agar kau juga ikut tenang."

Gadis itu berniat kembali merespon sebelum ia melihat seseorang yang berjalan mendekati meja mereka.

"Kalian masih disini?"

Membuat suaminya mendongak melihat orang yang sesekali menatap ponselnya itu.

"Tidakkah aku yang harus bertanya seperti itu, Lee Hyukjae? Semua tamu sudah pulang, kenapa kau masih ada disini?"

"Aku tadi sedang berbincang dengan seseorang di luar gedung ini dan aku kembali karena mengambil ponselku yang tertinggal di meja."

Hyukjae menarik kursi dan duduk lalu menatap Jin Ra.

"Kau tampak tidak suka dengan kejutan ini. Benarkah?"

Yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman masam.

"Itu karena suamimu merahasiakan hal ini dariku. Jika aku membantu pasti akan menjadi kejutan yang tidak akan mengecewakanmu."

Donghae yang hanya menampilkan wajah datar, melepas jasnya dan meletakkannya ke pangkuan Jin Ra.

"Aku ingin ke toilet. Kalian bicarakan saja aku sesuka hati kalian."

Ucapnya lalu beranjak menjauh.

"Dia menyiapkan semuanya sendiri. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa dan tidak memberikan bantuan apapun."

Ucap Hyukjae setelah melihat Donghae menghilang dari pandangannya.

"Tapi kejutan ini berlebihan menurutku, oppa."

"Menurutku kau seharusnya jangan melihat dari segi cabang perusaahan yang ia buka untukmu. Tapi keputusannya yang mengenalkanmu kepada semua orang malam ini. Aku tahu jika dia sudah ingin melakukannya dari lama."

Hyukjae memperhatikan Jin Ra yang memainkan ujung jas Donghae.

"Kau sudah lama bekerja dengannya. Kau pasti tahu bagaimana sikap suamimu itu. Ketika dia menganggap keputusannya adalah hal yang tepat, dia tidak akan memerlukan dan peduli dengan pendapat orang lain. Dia akan tetap melakukannya."

"Aku tahu. Aku hanya takut ada masalah karena semua ini."

"Dia bisa mengatasinya. Yang dia perlukan hanya kehadiran dan dukunganmu. Itu sudah cukup."

Hyukjae berdiri dan menyampirkan jas ke pundaknya.

"Aku pergi dulu. Katakan pada Donghae jika aku sedang ada janji."

"Hmm. Dan terima kasih sudah datang kemari."

Dia mengangguk dan menepuk singkat puncak kepala Jin Ra.

~

Donghae memasukkan ponsel ke saku kemeja setelah menerima panggilan dari salah satu rekan kerjanya.

"Dia kelelahan karena marah atau karena waktu tidurnya terganggu?"

Dia melihat istrinya yang duduk sendirian dengan kepala beberapa kali terantuk kecil; dia tertidur.

Donghae melihat ke sekeliling mencari keberadaan sahabatnya. Tapi hanya tersisa beberapa pelayan yang sedang merapikan meja dan ruangan saja.

Dia lalu menghampiri Jin Ra, merangkul dan membantu gadis itu untuk berdiri.

"Kau bisa melanjutkan marahmu di rumah."

Ucapnya singkat saat gadis itu membuka mata dan menatapnya.

Dia diam tanpa merespon dan hanya menurut saat Donghae memintanya naik ke atas mobil yang sudah terparkir di depan gedung.

Mobil yang kemudian mulai berjalan meninggalkan area gedung acara.

Donghae sengaja mengendarai mobilnya dengan kecepatan pelan agar Jin Ra bisa melanjutkan kegiatan istirahatnya di dalam mobil.

Walau jadi harus menghabiskan waktu lebih lama hingga mobilnya masuk ke pekarangan rumah mereka.

Dia lalu turun, membukakan pintu untuk Jin Ra dan mengangkat tubuh gadis itu yang tertidur.

Dia berjalan dengan hati-hati, dari mulai menaiki teras rumah hingga menaiki tangga menuju kamar mereka yang berada di lantai atas.

Tidak berniat membangunkan Jin Ra dengan meletakkan tubuh gadis itu perlahan ke atas tempat tidur, Jin Ra justru membuka mata saat Donghae mengusap singkat pipinya.

"Maaf. Tidurlah lagi. Kau tidak ingin melanjutkan kegiatanmu yang marah padaku, kan?"

Ucapnya seraya duduk di pinggiran ranjang.

"Ada berkas penting yang tertinggal di kantor. Boleh aku mengambilnya?"

"Sudah larut malam. Tidak bisa besok saja?"

Suara gadis itu sedikit lirih karena kantuk yang masih menguasainya.

"Sebenarnya aku harus menyelesaikannya malam ini."

"Kalau begitu minta supirmu saja untuk mengambilnya."

Jin Ra memandang Donghae yang balas menatapnya. Pria itu lalu tersenyum simpul kemudian.

"Kau tidak ingin aku tinggal atau apa? Hanya mengambil berkas kan tidak akan memakan waktu yang lama."

Menyadari tingkahnya barusan, Jin Ra menarik selimut lebih tinggi agar menutupi wajahnya.

"Baiklah, pergi saja. Tidak kembali kemari juga tidak apa."

"Ey, lihatlah. Aku menggoda sedikit saja kau sudah marah."

"Pergilah. Bukankah berkasnya harus selesai malam ini?"

"Tidak. Aku ingin disini saja."

Donghae sengaja semakin menggoda Jin Ra dengan mencoba membuka selimut yang ia gunakan.

"Pergi saja. Aku ingin sendiri."

"Tapi aku ingin menuruti keinginanmu untuk mengambil berkasnya besok saja."

"Lee Donghae..."

"Lee Jin Ra..."

Mendapati sang istri tertawa sebagai respon, Donghae sekali lagi menarik selimut dan berhasil membukanya.

"Berhenti tertawa. Kau tadi memasang ekspresi kesal padaku dan sekarang kau sudah bisa sesenang ini?"

Dan gadis itu hanya mengangguk dalam diam.

"Baguslah."

Jin Ra bangkit dan menyandarkan tubuh ke pinggiran ranjang saat mendapati ekspresi serius Donghae.

"Aku benar-benar meminta maaf jika kau tidak suka atau kecewa dengan kejutan yang aku berikan."

"Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu tampak buruk di mata semua orang. Mungkin aku terlalu fokus dengan masalahku sendiri yang bosan mendengar semua orang mengatakan jika hanya ada satu wanita yang berhubungan denganku, yaitu Chaebi. Aku ingin mereka mengenalmu, menghormatimu dan berhenti mengaitkanku dengan gadis lain."

"Karena itu aku menyiapkan semua ini."

Donghae mengusap pelan puncak kepala Jin Ra, membuat gadis itu kembali mengangguk.

"Aku tahu. Seharusnya aku tidak memberikan respon yang buruk. Kau pasti sudah bekerja keras untuk mempersiapkan semuanya."

"Itu tidak sebanding dengan apa yang sudah kau berikan. Aku kadang merasa aku melukaimu dengan semua yang terjadi. Memintamu menikah kontrak, memutuskannya dengan sepihak lalu seenaknya mendekatimu kembali bahkan menculikmu untuk melakukan pernikahan di gereja."

Donghae menarik selimut untuk menutupi kedua kaki Jin Ra yang gadis itu tekuk.

"Aku melakukan semuanya tanpa memikirkan pendapat atau perasaanmu lebih dulu."

"Dan yang lebih parahnya, aku sempat tidak bisa menentukan apa yang aku rasakan. cinta kah atau obsesi?"

Ceroboh. terlalu jujur.

Donghae menyadarai kebodohannya karena mengatakan kalimat terakhir tadi. Dia meraih tangan sang istri dan menggenggamnya.

Memastikan agar gadis itu terus menatapnya.

"Yang aku tahu aku hanya harus mempertahankanmu agar selalu bersamaku. Tidak mengulang kesalahan yang sama dengan melepasmu."

"Dan aku ingin kau membantuku untuk meyakinkan apa sebenarnya yang kita jalani ini. Bagaimana perasaanku dan bagaimana perasaanmu."

Hanya harus mengatakan satu kalimat itu. Harus memerlukan bukti sebanyak apa lagi?

Katakan saja.

"Aku rasa... aku mencintaimu."

Dan aku harap kau merasakan yang sama.

Jin Ra sempat menunduk dan menarik nafas dalam, sedikit kehilangan fokus karena tatapan Donghae yang menghujaninya.

Dia juga tanpa sadar meremas tangan pria itu.

"Aku tidak tahu. Tapi aku merasa nyaman denganmu, merasa bangga saat kau memperkenalkanku sebagai istrimu dan ingin terus mendengarmu mengatakan itu. Juga merasa tidak nyaman jika kita terpisah."

"Aku berharap jika yang aku rasakan ini bisa kau sebut sebagai 'cinta'."

Untuk kalimat terakhir ini, Jin Ra terlalu malu melanjutkan kegiatannya membalas tatapan Donghae.

Dia hanya bisa menyelesaikannya dengan kepala tertunduk, tidak ingin sang suami melihat rona merah di wajahnya.

"Jadi... kau merasakan hal yang sama?"

Jin Ra bisa mengetahui jika Donghae bertanya dengan ekspresi senyum di wajah. Yang hanya dia balas dengan anggukaan (lagi).

Dia merasakan Donghae mencium puncak kepalanya selagi ia tertunduk. Pria itu lalu mengangkat wajahnya agar sejajar.

"Apakah itu cinta atu bukan, aku yang akan memastikannya."

Tatapan Jin Ra yang mengarah ke bibir Donghae membuatnya memejamkan mata saat pria di depannya itu bergerak maju dan meraih bibirnya.

Kecupan-kecupan ringan yang menciptakan senyuman di bibirnya. Juga senyuman lain karena mendapati Donghae yang terlalu agresif hingga kesulitan menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan menjadi penghalang di antara mereka.

Sekarang tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Terlepas dari bagaimana buruknya semua ini berawal, yang terpenting bagian akhirnya tidak meleset dari harapan yang mereka punya.

Dan bukti nyata jika semua hanya harus dikatakan dan berai diungkapkan.

Kalaupun jawaban yang didapat nanti tidak sesuai dengan yang diharapkan, setidaknya tidak ada penyesalan karena tidak mencoba.


~If they ask if I have a wish
I'll say it's only you
I'll stay with you forever
like a sunflower~ (This Is Love of Super Junior)


FIN

Just Say It #3

Author : Reni Retnowati (Park Hye Ri)
Cast : Lee Donghae, Park Jin Ra, etc.
Length : Chapters


Happy reading!

~

"Kau. Bukankah kau sedang... sakit? Aku tidak menyangka... bisa melihatmu disini."

Walau dengan susah payah dan terbata-bata, Jin Ra berusaha untuk tidak membiarkan buliran air yang hendak keluar dari matanya mengganggu caranya bicara.

Terlebih saat matanya kembali mengarah ke kedua tangan yang saling berkaitan itu. Yang mungkin sang pemiliknya masih terlalu enggan untuk membalas perkataannya.

Dan entah sadar atau tidak, kaki Jin Ra bergerak dan membuat tubuh gadis itu berbalik lalu berjalan menjauh.

Dengan cepat, berusaha untuk menjauh sejauh mungkin dari kedua orang yang dia anggap sebagai orang-orang spesial di hidupnya.

Dia bahkan mungkin juga tidak bisa menangkap siluet pria yang baru saja masuk ke pintu hotel dan terdiam di tempat saat melihatnya.

Yang langsung menghadangnya saat ia mendekat.

"Hey. Ada apa? Kau menangis?"

Jin Ra yang akhirnya bisa melihat wajah pria itu dengan jelas, refleks bergerak maju dan masuk ke pelukannya.

"Kau kenapa? Kenapa menangis di tempat seperti ini?"

Walau masih belum mendapat jawaban, dia dengan sabar mengusap rambut Jin Ra yang semakin tersedu.

"Lee Jin Ra. Jawab pertanyaanku. Apa klien ku melakukan sesuatu padamu?"

Jin Ra tidak menggeleng ataupun mengangguk. Hanya pemandangan lain yang membuatnya mampu menebak apa yang membuat gadis itu seperti ini.

Dua orang pria dan wanita yang tampak tergesa mendekati posisi mereka, menatapnya dengan gusar.

"Kalian ada disini? Bukankah kau memiliki janji bersama Jin Ra, Kibum-ssi?"

Dan walaupun dia sudah benar-benar bisa menebak apa yang terjadi, dia masih memiliki waktu untuk bertanya.

Dan waktu untuk menyaksikan tangan Kibum yang menggenggam tangan wanita di sampingnya, sebelum kaitan itu lepas.

"Aku tidak tahu jika kau mengenal Kibum, Young. Kau pasti sangat mengenalnya."

"Maksudmu?"

"Kau pikir apa yang membuat Jin Ra menangis seperti ini setelah melihat kalian?"

Jin Ra tampak bergerak mendorong-dorong tubuh Donghae; meminta pria itu membawanya pergi dari sana.

"Atau aku yang perlu memberitahumu? Memberitahumu jika pria yang baru saja menggenggam tanganmu tadi adalah kekasih dari sahabatmu sendiri?"

Young Me dengan tatapan tidak percaya melihat Kibum yang terdiam di tempat, bahkan tidak membalas tatapannya.

"Dan haruskah aku melarangmu untuk tidak terus menatap istriku, Kibum-ssi?"

"Dia bahkan hanya istri kontrakmu. Apa kau memiliki hak yang berbeda denganku?"

"Tidak. Tapi setidaknya aku tidak mengkhianati dan tidak mempermainkan perasaanya."

Young Me yang semakin bingung dengan perdebatan Donghae dan Kibum mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Jin Ra, memanggil sahabatnya itu.

Yang justru direspon dengan tolakkan. Gadis itu lalu lepas dari pelukan Donghae dan berjalan menjauh, membuat Donghae mengikutinya keluar dari hotel.

Meninggalkan Young Me yang hanya bisa menatap sedih dan tampak tidak percaya dengan semua apa yang terjadi.

~

Dengan sabar dan tenang, Donghae terus mengusap pundak dan kepala Jin Ra. Sesekali mengusap air mata yang terus membasahi pipinya.

"Jangan mengingatnya lagi, kau akan semakin sakit."

Berbagai ucapan menenangkan juga sudah ia lontarkan yang tidak direspon apa-apa, melainkan hanya terus suara tangisan yang ia dapat.

"Kau membuatku ikut merasa sakit jika kau terus seperti ini, sayang."

Donghae menarik tangan Jin Ra yang gadis itu gunakan untuk memukul dadanya, mungkin dia merasa sesak.

Tentu saja. Melihat sahabat terbaiknya bersama dengan pria yang ia sebut sebagai kekasih, pria yang seakan menjadi penenangnya karena masalahnya dan Donghae, justru menjadi orang yang menghancurkan perasaannya.

Dan kini, pria menyebalkan yang sering menjadi lawannya berdebat justru dengan setia diam disampingnya; menemaninya.

"Mereka tidak pantas kau tangisi, kau tahu? Kau terlalu berharga untuk mereka sia-siakan."

Donghae semakin gencar bersuara saat mendapati Jin Ra yang mulai tenang walau masih tersedu-sedu.

"Kau ingin sendiri? Aku akan keluar jika kau menginginkannya. Aku akan ada di depan pintu kamar jika kau memerlukanku."

Pria itu mendekap dan mengecup keningnya lalu berdiri dari pinggiran ranjang. Berniat pergi saat tangannya justru dipegang oleh Jin Ra.

Seakan memintanya tetap bertahan disana.

"Jika ingin aku tetap disini, berhentilah menangis. Kau tidak boleh menangis di depanku."

Gadis itu mengangguk dan sesekali menarik nafas dalam agar tangisannya reda.

"Aku tidak peduli kau menangis karena apa. Tapi jangan pernah lagi tunjukkan air matamu di depanku, terlebih jika kau tidak ingin aku melukai seseorang."

Donghae menarik Jin Ra ke dalam pelukannya, lagi. Mencoba membuat gadis itu merasa lebih tenang.

Ternyata, bersusah payah mendapatkan tiket untuk pulang lebih awal adalah keputusan yang tepat.

Jika saja hal tadi terjadi dan tidak ada dia disini, siapa yang akan memeluk gadis ini sekarang; menenangkannya?

"Aku mungkin tidak berhak untuk memberi komentar tentang apa yang terjadi, aku hanya meminta agar kau lupakan semuanya. Anggap saja waktu mereka bersamamu sudah habis, jadi biarkan saja mereka menjauh."

"Jika aku melihatmu menangis karenaku, aku sudah memiliki pikiran untuk lenyap dari hidupmu. Apalagi jika ada orang lain yang membuatmu menangis, aku akan semakin bersemangat melenyapkan mereka."

"Donghae..."

Suara Jin Ra seakan terkuras habis karena tangisannya.

"Aku disini. Tenanglah."

"Apa aku bukan sahabat yang baik? Kenapa Young Me melakukan itu padaku?"

"Kenapa harus berpikir kesalahannya ada padamu? Bukan kau yang merebut kekasih orang lain."

"Tapi aku juga pasti bukan sahabat yang baik, kan?"

"Tidak. Kau sudah menjadi teman terbaik untuknya. Jadi jangan justru merasa bersalah."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Jadi..."

Donghae mengusap air mata di pipi Jin Ra sekali lagi.

"Jangan kau gunakan air matamu sia-sia hanya untuk menangisi mereka."

Dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

~

Getaran ponsel yang terus menerus membuat Jin Ra terbangun.

Gadis itu bergerak tidak nyaman karena merasakan sesuatu yang berat menahan tubuhnya.

Memaksanya harus membuka mata dan mendapati wajah Donghae yang berjarak sangat dekat. Bahkan nafas pria itu yang teratur terus menerpa wajahnya.

Tangan kanannya pun melingkar dengan nyaman di pinggang Jin Ra.

Memunculkan rona memerah di pipi gadis itu.

Pria itu menemaninya dan menjaganya saat tertidur. Dasi dan kemeja putih bahkan masih menempel di tubuhnya.

Dan yang pasti dia belum memakan apapun sejak datang beberapa jam yang lalu.

Saat Jin Ra hendak menyingkirkan tangan Donghae yang masih bertengger di pinggangnya, pria itu bergerak sebentar dan membuka mata.

"Hei."

"Merasa lebih baik?"

Gadis itu mengangguk dan menggumamkan kata 'terima kasih'.

"Untuk apa? Sudah kewajibanku untuk menjagamu."

"Tetap saja. Kau tidak harus bertahan disini, bahkan saat aku sudah tidur."

"Siapa tahu kau akan terbangun tiba-tiba dan kembali menangis karena tidak menemukanku."

Pria itu menarik tubuh Jin Ra mendekat dan mengusap puncak kepalanya.

"Tidak akan. Aku kan bukan anak kecil."

"Baiklah baiklah. Aku mengerti."

"Kau lapar? Kau pasti belum makan apa-apa."

Gadis itu bangkit dan menggelung rambutnya ke atas.

"Aku akan buatkan sesuatu. Tunggulah disini."

"Tidak apa jika kau sedang tidak ingin melakukan apa-apa."

"Aku bukannya sedang terluka fisik. Lagipula kau ingin aku terus menangis di hadapanmu?"

"Jika kau akan memelukku saat kau menangis, lebih baik menangis saja terus."

Pria itu ikut bangkit dan duduk menyila menghadapnya.

"Tidak menguntungkan bagiku."

"Benarkah? Sayang sekali jika begitu."

Jin Ra hanya terkekeh dan segera turun dari tempat tidur.

~

"Aku bahkan lupa untuk berbelanja."

Tidak ada bahan lain yang tersisa di lemari pendingin selain beberapa bungkus ramen, semangkuk daging dan beberapa butir telur.

Dan dia pun terlalu malas untuk keluar dan membeli sesuatu. Dia juga tidak mau meminta Donghae yang melakukannya.

Alhasil hanya ramen yang bisa ia sediakan sekarang.

Jin Ra memotong beberapa daun bawang dan menyiapkan telur untuk dimasukkan.

"Hei."

Sebelum terhambat karena Donghae datang dan mengganggunya.

"Ramen?"

"Tidak ada makanan lain. Ini saja. Tidak apa, kan?"

"Tidak apa. Asal kau yang memasaknya, aku akan makan apapun itu."

Pria itu memeluknya dari belakang dan melingkarkan kedua tangan ke perutnya.

"Baguslah."

Gadis itu mengangkat mangkuk kecil berisi potongan daun bawang dan berniat memasukannya ke dalam panci.

"Tunggu."

Sebelum Donghae mengambil mangkuk itu dari tangannya.

"Aku tidak suka daun bawang. Jangan menggunakan ini."

Dan meletakkannya kembali. Tanpa menyadari Jin Ra yang terdiam menatapnya.

Gadis itu teringat sesuatu.

FLASHBACK

"Menambahkan daging, bagaimana?"

"Boleh. Kau kan pemakan segala."

"Enak saja. Aku akan memakan apapun yang kau masak, tapi bukan berarti aku pemakan segala jenis makanan."

 "Baiklah baiklah. Aku mengerti."

Jin Ra menatap lemari pendingin yang masih terbuka karena Kibum masih sibuk mengobrak-abrik isinya.

"Ambilkan daun bawang yang ada di kotak sayuran paling bawah."

Ucapnya yang berhasil membuat Kibum menoleh.

"Aku tidak suka daun bawang. Aku tidak akan memakannya jika kau menambahkan itu."

"Benarkah? Tapi rasanya akan lebih enak nanti."

"Kalau begitu kita buat dua porsi saja, jadi kau bisa menambahkan daun bawang."

"Ey, tidak perlu. Baiklah, tanpa daun bawang. Biar aku yang mengalah."

Pria itu tampak sumringah dan menutup lemari pendingin lalu memberikan daging untuk ia olah dengan ramen.

FLASHBACK ENDS

"Hei."

Tangan Donghae menjulur mengaduk ramen di dalam panci yang diacuhkan oleh Jin Ra.

"Kau ingin ramennya gagal dan tidak bisa dimakan?"

"Eh?"

Gadis itu dengan cepat mendekatkan mangkuk saat Donghae ingin menuang ramennya.

"Apa yang kau pikirkan? Kau masih sempat melamun bahkan saat sedang memasak seperti ini."

"Aish, berhenti mengomeliku."

"Kau harus tahu jika mulai saat ini jika aku melihatmu melamun, aku harus bersusah payah menahan agar tidak memikirkan hal-hal buruk karena menebak apa yang kau pikirkan."

"Aku baik-baik saja, tuan Lee Donghae. Berhenti khawatir."

Jin Ra meletakkan kaleng minuman ke depan Donghae yang sudah duduk di meja makan.

Gadis itu kemudian ikut duduk di sampingnya.

"Selamat makan."

Pria itu mengangguk dan menyendokkan kuah ramen ke mulutnya.

Lalu berniat menyuapi sang istri.

"Kau saja yang makan. Aku tidak lapar."

Membuat Donghae hanya memasang wajah datar dan mengangguk.

"Kau akan menyesal."

~

Kertas yang sudah lusuh ini menjadi subjek pandangan Jin Ra sejak 30 menit yang lalu.

Entahlah. Antara berharap kertas di tangannya itu hanyalah kertas biasa yang walaupun ia bakar tidak akan meninggalkan masalah.

Atau berharap jika tanggal yang tertera di kertas itu berubah, bahkan tahunnya juga bisa berganti menjadi tahun depan.

Lucu memang. Karena jelas-jelas beberapa minggu yang lalu dia terus berharap jika tanggal yang tertera disana bisa segera tiba, tapi sekarang?

Bahkan mengharapkan pria di hadapannya itu juga memikirkan hal yang sama.

"Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"

"Sudah, sajangnim."

Jin Ra segera memasukkan kembali kertas di tangannya ke dalam tas.

"Kalau begitu ayo pergi makan siang."

"Sepertinya aku tidak bisa."

Donghae menutup laptop dan menatapnya.

"Aku harus menemui seseorang."

"Siapa?"

"Bukan siapa-siapa. Hanya teman lama."

Gadis itu berdiri dan meraih blazer serta tas tangannya.

"Ingin aku siapkan sesuatu untuk makan siangmu?"

"Tidak. Aku sudah tidak berselera."

"Kekanakkan. Aku pergi dulu."

Dan melambai singkat pada Donghae yang hanya mendengus menatapnya.

~

"Aish, kau yang membuat janji ini. Kenapa jadi kau juga yang membatalkan?"

"Baiklah, aku tahu. Aku kan memang bukan temanmu lagi."

"Ey, aku hanya bercanda. Kita bisa makan siang lain kali. Tidak apa."

"Ya, sampai jumpa."

Jin Ra memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

Makan siang bersama teman lamanya kali ini harus batal. Dan melihat jam yang masih lama sebelum waktu makan siang habis, lebih baik dia kembali ke kantor.

Agar sang atasan tidak kembali uring-uringan karena tidak bisa makan siang dengannya.

"Hey."

Dan belum sempat dia beranjak dari kursi, seseorang -lebih tepatnya- seorang pria menyentuh lengannya.

Yang dalam waktu singkat berhasil menghilangkan senyuman di wajahnya.

Gadis itu bahkan kembali melanjutkan niatnya untuk pergi.

"Tunggu! Aku ingin bicara sesuatu."

"Aku harus pergi. Jangan menggangguku."

Jin Ra berusaha menarik lengannya yang masih dipegang oleh pria itu.

"Ayolah, sebentar saja!"

"Kim Kibum!"

Memaksanya menghentakkan tangan agar cengkraman Kibum terlepas.

"Aku harus pergi! Lagipula tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan! Jadi jangan ganggu aku."

"Ada! Aku harus meminta maaf padamu."

Kibum bahkan harus menghadang Jin Ra yang sudah menjauh beberapa langkah.

"Sebentar saja. Aku berjanji tidak akan muncul lagi di depanmu setelah ini, jika kau menginginkannya."

~

"Kenapa? Kau sedari tadi diam saja."

"Tidak apa. Hanya tidak ada hal yang bisa aku bicarakan denganmu."

"Apa aku melakukan kesalahan? Lagi?"

"Tidak. Aku mungkin hanya sedang tidak dalam mood yang baik."

Jin Ra menepuk singkat pundak Donghae, membersihkan sedikit debu yang ada di jas pria itu.

"Kalau begitu ingin jalan-jalan?"

Dan pria itu menangkap tangannya. Menggenggam dan menciumnya.

"Kau tidak lelah? Pekerjaanmu kan padat hari ini."

"Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja."

"Kalau begitu juga jangan khawatirkan aku."

Gadis itu tersenyum dan merespon singkat sentuhan Donghae di pipinya.

~

"Kenapa mengacuhkanku? Kau tidak suka dengan kehadiranku disini?"

"Ayolah, Jin Ra. Kau jangan seperti lupa diri. Memangnya apa posisimu hingga kau bisa bertanya seperti itu?"

"Maksudmu?"

"Kau lupa? Bukankah kontrak kita sudah berakhir? Itu berarti tidak ada lagi hubungan di antara kita."

"Kau..."

Merasa lemas di bagian kaki, Jin Ra memundurkan langkah dan membuatnya tertahan dinding.

"Lalu maksud dari semua perlakuanmu selama ini? Kau bahkan mengatakan akan selalu ada di sampingku dan juga memintaku untuk selalu bersamamu."

"Bukankah kita sudah memiliki perjanjian sebelumnya? Aku akan bersikap layaknya seorang suami hanya pada saat ada keluargamu atau keluargaku di sekitar kita. Dan aku rasa aku hanya memberikan perhatian yang sewajarnya padamu."

"Kau menemaniku dan menenangkanku saat aku menemukan Kibum dan Young Me hari itu. Kau bilang kau akan merasa sakit saat kapanpun aku tersakiti. Tidakkah secara lain kau mengatakan jika kau menyukaiku?"

"Jangan terbawa perasaan. Aku mengatakannya hanya untuk menenangkanmu."

"Tapi-"

"Oppa."

Satu suara yang berhasil membuat Jin Ra semakin merasa tersudut.

Gadis itu-gadis yang selalu membuat suasana hatinya hancur- dengan santai berjalan masuk dan mendekati Donghae yang direspon dengan sangat baik oleh pria itu.

Dia bahkan berdiri, memeluk dan mengecup singkat pipi Chaebi.

"Apa kau sedang ada urusan dengannya?"

'Dengannya' Denganmu yang dia maksud, Jin Ra.

"Tidak. Dia hanya meminta tanda tanganku untuk suatu berkas."

Tangan Donghae pun melingkar dengan nyaman di pinggang Chaebi. Membuat senyuman gadis itu semakin lebar.

Yang justru berbanding terbalik dengan Jin Ra. Matanya mulai mengabur, mungkin karena genangan air yang mulai memenuhi kelopak matanya.

Dan dengan langkah gontai, gadis itu berjalan menjauh dari meja kerja Donghae.

Menjauh dari pemandangan yang sangat-sangat merusak mata serta hatinya.

Yang berimbas pada rasa pusing dan pandangan yang semakin kabur yang ia rasakan.

Bahkan tangannya harus bersandar pada dinding sebagai penyangga.

Tapi sepertinya, kakinya sudah tidak mampu lagi untuk menopang tubuhnya yang semakin berat.

Dan sebelum tubuhnya benar-benar bersentuhan dengan lantai, dia bisa melihat ada seseorang yang berlari mendekat yang mungkin berniat menangkap tubuhnya.

Dan... semua itu hanya mimpi.

Suara detingan jam bahkan lebih nyaring dari suara nafasnya.

Keringat yang mengucur dari kening Jin Ra membuat gadis itu mengusap wajahnya gusar.

Lalu menatap pria yang masih terlelap dengan nyenyak di sampingnya.

Antara senang karena semuanya hanya mimpi dan antara khawatir jika semua yang ada di dalam mimpinya akan terjadi, segera.

Apa Donghae memang benar-benar menganggapnya hanya sebagai seseorang yang 'bekerja' sebagai istrinya?

Dan semua 'kedekatan' yang ia buat selama ini hanya sebatas akting belaka?

Tapi bukankah memang itu yang harusnya Donghae lakukan? Dan yang seharusnya Jin Ra rasakan; hanya akting.

Dan yang seharusnya ia ingat; semua akting ini akan segera berakhir.

Dia harus siap untuk menjauh dari Donghae dan berhenti mengharapkan hal yang lebih dari kontrak mereka.

Itu yang terbaik. Agar sakit yang ia rasakan nanti tidak terlalu dalam.

~

"Selamat pagi."

"Selamat pagi."

Jin Ra dengan senyum ramah merespon setiap sapaan yang ia terima.

Yang membuatnya menertawakan dirinya sendiri. Suasana hatinya sedang tidak baik, tapi dia masih bisa menebar senyum dan bersapa ria dengan semua orang yang ia temui tadi.

"Haruskah aku memuji diri sendiri?"

Ya, kau harus.

Mengingat kemampuan untuk menutupi kesedihanmu yang semakin lama semakin baik.

Langkah Jin Ra terhenti di depan pintu ruangan Donghae.

Tarik nafas dan pasang ekspresi wajah yang normal.

Dan setelah merasa dirinya siap, Jin Ra menyentuh knop pintu dan membukanya.

Dan mendapati kedua mata tajam Donghae menyambutnya.

"Selamat pagi."

Beruntung dia masih peka dengan situasi, dan tidak lupa diri dengan posisinya.

"Hai, Jin Ra."

"Selamat pagi Hyukjae-ssi."

"Kau tidak ingin memanggilku 'oppa'?"

Jin Ra hanya tersenyum dan tidak berniat kembali menatap Donghae.

Hanya memilih segera duduk di mejanya.

Membiarkan Donghae melanjutkan pembicaraan dengan Hyukjae.

Entah apa yang mereka bicarakan, Jin Ra terlalu fokus dengan hal lain hingga tidak terlalu perduli dengan topik obrolan sepasang sahabat itu.

~

"Haruskah aku mengambil kunci rumah yang ada padamu? Agar kau tidak lagi keluar tanpa sepengetahuanku seperti pagi ini?"

"Aku hanya pergi ke suatu tempat. Biasanya kau juga tidak akan mempermasalahkannya."

"Yang aku permasalahkan adalah kenapa kau menjauhiku. Selalu memiliki alasan untuk keluar rumah dan bahkan tidak ingin ada dalam mobil yang sama denganku."

"Aku tidak menjauhimu. Itu hanya perasaanmu saja."

Jin Ra kembali mendekatkan berkas yang terbuka di meja ke arah Donghae; menunggu tanda tangan pria itu.

"Ayolah, Jin Ra. Jangan semakin memancing pertengkaran denganku."

"Aku tidak melakukannya. Aku bersikap biasa-biasa saja, kan?"

"Kontrak kita akan segera berakhir."

Donghae berhenti dan menarik nafas. Merasa tidak suka dengan topik pembicaraan yang harus ia bawa.

Pria itu berdiri dan mendekat.

"Bisakah kita mengakhirinya dengan cara yang baik? Aku tidak ingin ini semua berakhir dengan kau atau aku saling menjauh."

Kau tidak bisa seenak mengatakannya itu.

"Aku rasa kau juga sadar hubungan kita tidak akan sebaik sebelumnya setelah semua ini berakhir."

"Karena itu. Aku ingin kita bersikap biasa saja dan tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan jarak di antara kita. Agar saat semua... selesai nanti, tidak akan ada yang berubah."

Ada. Perasaanku.

"Baiklah, aku akan menurutinya. Bukankah aku pihak kedua yang hanya menerima perintah tanpa bisa menyampaikan pendapat?"

Gadis itu mengambil kembali berkas di atas meja Donghae dan kembali ke mejanya.

Membiarkan Donghae yang masih mematung di tempat.

~

Untuk yang kesekian kali, tumpukkan bahan makanan dan sayuran terabaikan olehnya.

Dia hanya harus menyisihkan waktu setidaknya dua jam untuk memasak, tapi ini bahkan sudah hampir tiga jam dan yang ia lakukan masih dalam tahap menyiapkan tanpa ada satupun bahan yang sudah ia olah di atas kompor.

Setidaknya dia harus bersyukur karena tangannya masih belum terluka hingga saat ini karena kegiatan melamunnya.

"Bisakah aku fokus? Ada apa denganku?"

Menggelengkan kepala singkat, Jin Ra mencoba kembali melanjutkan kegiatannya.

Makan malam harus sudah tersedia sebelum Donghae pulang. Pria itu ada meeting yang tidak perlu Jin Ra untuk ikut menemani.

Lagipula bisa jadi ini adalah makan malam terakhir mereka.

Siapa sangka, lima hari lagi semua sandiwara ini akan berakhir. Entah bagaimana mereka mengakhirinya nanti di depan keluarga masing-masing.

Setidaknya tidak akan ada lagi semua sikap manis dan manja Donghae atau sosok wanita yang selalu membuat suasana dapur dan ruang makan di rumah pria itu menjadi ramai.

Tidak ada lagi perdebatan konyol di ruang kerja hanya karena Jin Ra yang menolak ajakkan Donghae untuk makan siang.

Atau moment-moment lain yang terkesan bodoh tapi mungkin yang akan sangat ia rindukan.

Dan tugas terakhirnya hanya harus mengikuti keinginan pria itu; bersikap biasa saja.

Bersikap seperti apa yang sudah mereka lakukan selama ini.

"Ah!"

Jin Ra memperhatikan punggung tangannya yang terkena percikan kuah sup.

"Bodohnya aku."

Tidak ingin terlalu lama sibuk dengan pikirannya dan justru akan kembali terluka nanti, Jin Ra mempercepat kegiatannya.

Sup, dan beberapa makanan kesukaan Donghae sudah tersedia di atas meja makan.

Dan secara bersamaan pintu depan sepertinya terbuka; menandakan jika pria itu sudah datang.

Jin Ra melepas celemek putih dan meletakkan benda itu kembali ke tempatnya.

Dia lalu meninggalkan dapur dan mencoba mencari dimana Donghae berada.

Tas dan jasnya tersampir di sofa di ruang tengah.

Dan suaranya yang tampak sedang bicara dengan seseorang terdengar dari arah ruang kerja.

Jin Ra yang melangkah mendekat semakin jelas mendengar suara Donghae yang meninggi.

Apa pria itu sedang bertengkar dengan seseorang?

"Kau tahu ini bukan kesalahanmu yang pertama."

"Kau orang kepercayaanku. Aku memberimu kesempatan karena kau sudah begitu lama bekerja di perusahaan ini."

"Benarkah? Kau sebut aku pemimpin yang tidak loyal?"

"Apa aku pernah mempermasalahkan beberapa kecerobohanmu? Apa aku bahkan pernah berpikir memperkarakanmu?"

"Kau seharusnya sadar kau bisa dipenjara karena kasus ini!"

Jin Ra mematung dengan tangan yang menyentuh knop pintu.

Ini pertama kalinya dia mendengar Donghae bicara dengan nada seperti itu; atau lebih tepatnya mendengar dia marah.

Haruskah dia tetap masuk? Mencoba menenangkan pria itu, mungkin.

Tapi bagaimana jika dia merasa terganggu dan justru semakin marah?

"Sialan!"

Jin Ra menghentikan perdebatan di otaknya saat mendengar suara barang yang pecah.

Membuatnya cepat memutar knop dan membuka pintu. Lalu mendapati vas bunga kecil yang sebelumnya ada di atas meja kerja Donghae, sekarang hancur tak berbentuk dan kepingannya berserakkan di lantai.

Terlebih saat melihat Donghae yang tidak menggunakan sandal rumah, menginjak kepingan kecil dan membuat darah keluar dari telapak kakinya.

"Hei."

Jin Ra dengan ragu mendekat seraya memperhatikan kepingan-kepingan kaca di lantai.

Donghae yang tampak tengah menahan amarah, berdiri membelakanginya.

"Berhenti!"

Sebelum pria itu memajukan tangan ke arahnya.

"Donghae..."

Yang sama sekali tidak menghentikkan Jin Ra, karena gadis itu semakin mendekat.

"Aku bilang berhenti, Park Jin Ra."

"Tapi kau terlu-"

"Apa hakmu peduli padaku!"

"Kau bukan siapa-siapa! Berhenti bersikap seakan kau orang spesial disini!"

Donghae yang semakin meledak memaksa Jin Ra mengambil langkah mundur.

Walau otaknya tidak bekerja dengan cukup baik sekarang, mengingat imbas dari bentakan pria itu.

"Berhenti perduli padaku! Itu tidak akan mengubah apapun!"

"Apa aku tampak memanfaatkanmu saat ini?"

"Kau pikir aku mengharapkan hal yang lebih dari hubungan kita?"

"Bukankah memang itu adanya?"

Pria itu menatapnya, menarik kasar dasi yang masih ia kenakan.

"Semua orang memanfaatkanku. Semua orang menggunakan kepercayaan yang ku berikan untuk mengkhianati diriku sendiri. Semua orang sama! Termasuk kau!"

Berkas yang terjangkau olehnya melayang dengan bebas ke lantai. Semakin membuat Jin Ra membuat jarak.

Gadis itu bahkan kehilangan suara sekarang, tertahan oleh suara tangisan yang mendesak keluar dari bibir kecilnya.

Mengangguk paham dengan perkataan Donghae. Entah kata-kata itu benar-benar keluar dari dalam hatinya atau dia hanya sebatas terbawa emosi karena masalah pekerjaannya tadi.

Yang pasti, itu sudah cukup. Cukup membuatnya mengerti dan sadar.

Jin Ra membalik tubuh dan berjalan dengan gontai mendekati pintu.

Kenapa moment ini serupa dengan mimpinya kemarin malam?

Bedanya hanya tidak ada Chaebi disini, itu saja.

~

Jin Ra menarik selimut dan membenamkan wajah semakin dalam ke bantal.

Sinar matahari membuat matanya sakit dan pusing di kepalanya semakin bertambah.

Dia hampir lupa fakta jika dia menangis semalaman, bahkan jatuh tertidur karena kelelahan.

Entah dimana pria yang sudah membuatnya menangis itu. Yang pasti dia tidak tidur dikamar ini tadi malam.

Jin Ra mengikat rambut dan bergegas turun dari tempat tidurnya saat mendengar suara bel.

Tamu di pagi hari.

"Maaf nyonya, tuan meminta saya mengambil koper miliknya."

Salah satu supir Donghae.

"Koper?"

"Tuan harus pergi ke London karena urusan kerja. Dia sudah menyiapkan barangnya dan meminta saya untuk mengambilnya."

Walau masih sulit untuk memahami, Jin Ra hanya mengangguk dan meminta supir itu untuk menunggu.

Dia kembali masuk ke kamar dan masuk ke ruangan yang berisi lemari pakaian miliknya dan Donghae.

Benar saja, ada koper yang sudah ada di sudut ruangan.

"Kapan dia menyiapkannya?"

Jin Ra merasakan sedikit berat di koper yang dia angkat, Donghae jarang sekali membawa koper saat pergi kecuali untuk waktu yang lama.

"Berapa lama dia di London?"

Supir Donghae mengambil koper yang Jin Ra sodorkan.

"Saya tidak tahu, nyonya. Maaf."

"Hm. Tidak apa."

"Kalau begitu saya permisi. Tuan sudah menunggu."

"Ya."

Dia memperhatikan hingga mobil milik Donghae itu keluar dari pekarangan rumah.

"Apa aku juga harus menyiapkan pakaian ku?"

Untuk pergi dari sini.

~

"Terima kasih sudah mengantarku."

"Sama-sama."

Jin Ra menarik pegangan koper dan berniat berjalan menjauh.

"Jin Ra."

"Hm?"

Sebelum kembali menoleh pada pria yang masih setia berdiri di tempatnya.

"Apa... kau masih marah padaku?"

Membuatnya menarik nafas panjang.

"Jika aku masih marah apa aku akan meminta bantuanmu untuk mengantarku kemari?"

"Ah, benar. Aku hanya berpikir kau akan menjauhiku nanti."

"Tidak akan. Kau tidak sepenuhnya bersalah disini, aku juga bersalah hingga membiarkanmu memiliki pikiran untuk selingkuh dariku."

"Tidak, kau tidak bersalah. Aku saja yang bodoh."

"Jika bodoh, kau tidak akan memiliki hubungan dengan gadis seperti Young Me. Dia lebih baik dariku dan dia lebih pantas bersamamu. Jadi jangan merasa bersalah."

Kibum menggenggam kunci mobilnya dan mendekat.

Menyentuh pundak Jin Ra dengan ragu, lalu memberanikan diri mengecup kening gadis itu.

"Terima kasih dan sekali lagi maaf. Hubungi aku jika kau perlu bantuan apapun."

Gadis itu mengangguk dan berbalik lalu melanjutkan langkah.

Berjalan agak sedikit cepat, mengikuti air mata yang juga dengan cepat mengalir di pipinya.


FLASHBACK

"Aku bertemu Young Me di rumah sakit. Dia mengatakan dia kesana karena menemui temannya."

"Hye Soo."

"Ya. Jujur aku benar-benar tidak tahu jika Young Me adalah temanmu."

"Entah karena apa, aku merasa nyaman saat berbincang dengannya hari itu. Mengingatmu yang memiliki hubungan denganku tapi tinggal bersama pria lain, membuatku jadi lebih senang bertemu dengannya dibanding denganmu."

"Saat bersamanya aku bisa menghentikan semua pikiranku yang selalu menebak-nebak apa yang terjadi diantara kau dan suami kontrakmu."

"Walau hubungan kalian hanya di atas kertas, tapi kalian tinggal bersama. Tetap saja ada kemungkinan hubungan kalian menjadi lebih dekat dan interaksi diantara kalian akan semakin sering."

"Aku merasa cemburu dan berusaha menghilangkan semua pikiran itu dengan bersama Young Me."

"Mungkin terdengar seperti aku menggunakannya untuk pelarian. Tapi semakin lama sepertinya aku semakin menyukai Young Me. Dan semakin lama aku semakin berpikir jika kau akan semakin dekat dengan pria itu, jadi aku beranggapan tidak apa-apa jika aku... berselingkuh."

"Dan sejak hari itu, Young Me menjauhiku. Dia pasti benar-benar kecewa padaku dan merasa bersalah karena secara tidak langsung mengkhianatimu."

"Aku tidak keberatan jika kau membenciku dan tidak ingin lagi bertemu denganku. Tapi aku ingin kau tidak memutuskan pertemananmu dengan Young Me. Kalian sudah bersahabat sejak lama. Aku semakin terpuruk mengingat betapa kejamnya aku karena merusak hubungan kalian."

FLASHBACK ENDS

Jin Ra meletakkan tas dan ponselnya yang mati ke atas tempat tidur.

Lalu meraih kotak tisu di atas meja rias.

Membersihkan semua air mata yang membasahi wajah.

Semakin rumit saja hidupnya.

Disaat-saat seperti ini Young Me lah yang dia perlukan, walaupun dia juga tidak mungkin mengatakan tentang pernikahan kontraknya ini.

"Benarkan? Aku yang bersalah disini."

Gadis itu menjatuhkan tubuh ke atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya yang berhiaskan stiker-stiker bergambar bintang; pekerjaan Young Me.

Saat gadis itu menginap disini, mereka akan saling berbagi masalah atau cerita lain sembari memandangi gambar-gambar di langit-langit kamar itu.

Temannya berbagi suka duka. Tidak seharusnya menjadi teman berbagi kekasih.

Jika dipikir lagi memang tidak ada yang salah diantara mereka; Kibum dan Young Me.

Young Me yang tidak tahu apa-apa dan Kibum yang merasa 'terlantar' karena hubungannya yang semakin dekat dengan Donghae.

Dan sekarang, kedua orang itu dan Donghae seakan pergi dari hidupnya.

Sengaja menjauh atau dia yang membuat mereka menjauh.

Jin Ra meraih ponsel dan menyalakannya.

Menunggu beberapa saat lalu menekan dengan lama angka 1 di layar ponselnya yang langsung menyambung ke nomor seseorang.

"Hei. Kau sibuk?"

"Bisa kita bertemu? Lusa."

~

"Aku memintamu kemari bukan untuk melihatmu menangis."

"Maaf..."

"Sudahlah. Kau tidak tahu apa-apa jadi jangan menyalahkan dirimu."

"Tetap saja. Seharusnya aku tidak menerimanya begitu saja."

Jin Ra mengusap pundak Young Me dan membuat gadis itu kembali memeluknya.

Dia terus menangis tersedu-sedu. Dia bahkan mungkin masih tidak menyadari sesuatu.

"Kau tidak ingin mengatakan atau bertanya apa-apa padaku?"

"Aku ingin meminta ma-"

"Aku sudah bosan mendengarnya. Lagipula aku sudah memaafkanmu."

"Lalu?"

Jin Ra mengambil selembar tisu dan memberikannya.

"Kau tidak merasa ada yang aneh?"

"Kenapa aku bisa bertemu Kibum?"

"Bukan. Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Aish! Kau tidak merasa ada yang salah dari fakta jika... Kibum adalah kekasihku?"

Young Me tampak semakin aneh dengan titik air mata serta wajah bingungnya.

Membuat Jin Ra jengah.

"Aku sudah menikah! Kenapa aku bisa memiliki kekasih. Kau tidak sadar itu?"

Ucapnya dengan satu tarikan nafas.

Yang membuat Young Me terdiam lalu secara bertahap matanya melebar; menyadari sesuatu.

"Babo!"

Membuat Jin Ra gemas dan mengetuk kepalanya.

"Astaga! Aku tidak sadar itu."

Gadis itu lalu menatapnya lekat.

"Lalu kenapa aku harus merasa bersalah karena berhubungan dengan Kibum??"

"Yaa!! Dia tetap kekasihku saat itu!!"

"Haish!"

Young Me mengusapkan tisu ke wajahnya.

Lalu memperhatikan sang sahabat yang meraih cangkir minumannya, saat ia hendak mendekatkan pinggiran cangkir ke bibirnya Young Me menahan tangan Jin Ra dan membuat gadis itu menatapnya kesal.

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi?"

"Molla!"

Dan hanya berucap kesal lalu melanjutkan niatnya untuk minum.

"Yaa!! Lee Jin Ra!"

"Park Jin Ra! Jangan seenaknya mengubah namaku."

"Ha?"

"Diam saja. Persiapkan diri sebelum mendengar ceritaku."

"Baiklah."

Young Me menatap penuh harap Jin Ra.

"Kau... jujur, pernah bertanya-tanya bagaimana bisa aku menikah dengan Donghae?"

"Sebenarnya aku juga ingin tahu, tapi karena kau bekerja sebagai sekretarisnya dan kalian selalu bersama jadi mungkin saja kalian saling jatuh cinta dan akhirnya menikah."

Mengucapkannya dengan nada seperti menyampaikan sebuah dongeng.

"Hidupku tidak seindah itu, nona Park."

"Lalu?"

"Aku menikah kontrak dengannya."

Dengan cepat Jin Ra menutup mulut Young Me dengan telapak tangannya. Karena sesuai perkiraan, gadis itu hampir teriak karena terkejut.

"Diam!"

"Ya!!"

Dan gadis itu justru langsung menghempas tangannya.

"Kau gila? Menikah kontrak? Dengan pria itu pula?"

"Ya, aku memang gila! Kau puas?"

Merasa geram Young Me memberi beberapa pukulan di lengan Jin Ra; gemas.

"Kau baru menceritakannya sekarang? Sudah berapa bulan ini, nyonya Lee?"

"Jangan memanggilku seperti itu. Lagipula kontraknya juga sudah berakhir."

"Berakhir?"

Young Me menggeleng; tanda dia tidak mengerti.

"Kontrak kami hanya 6 bulan, dan akan berakhir dua hari lagi."

"Waaah, kalian sama-sama tidak waras."

"Dia yang tidak waras. Dia yang meminta pernikahan kontrak ini."

"Kau juga gila karena menerimanya."

"Dia CEO kita, kau pikir aku masih bisa ada di perusahaan itu jika menolaknya?"

"Cih, dia tidak akan sekejam itu."

Jin Ra menggeleng tidak tahu dan menghempaskan punggungnya ke sofa, dan Young Me mengikuti tindakannya itu.

Mereka berdua sama-sama menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

Terdiam dan hanya sesekali mengambil kentang goreng di meja.

"Lalu sekarang bagaimana?"

Jin Ra menggeleng sebagai respon.

"Kau sekarang tinggal dimana?"

"Apartemenku tentu saja."

"Tapi kontrak kalian akan berakhir dua hari lagi, kenapa kau sudah meninggalkan rumahnya?"

"Yaa anggap saja 'berakhir lebih cepat'"

"Kau... pasti bertengkar dengannya. Ya kan?"

"Entah. Terkadang tidak ada yang bisa disebut sebagai pertengkaran karena hubungan kami kan palsu."

"Tapi... apa kau merasa sedih?"

"Entah."

"Lalu bagaimana nanti? Saat kau bertemu di kantor dengannya. Apa kalian akan bersikap biasa saja seakan tidak ada yang terjadi? Aku rasa tidak mungkin, walau aku tidak tahu apa saja yang sudah terjadi diantara kalian."

Jin Ra menyentuh lengan Young Me.

"Aku akan berhenti."

"Berhenti maksudmu?"

Dan sekarang menatapnya.

"Aku rasa aku tidak bisa lagi bekerja di perusahaan itu."

"Eh? Kau gila?"

"Lalu kau akan bekerja dimana nanti?"

"Aku bisa memikirkannya nanti. Lagipula kau pikir semuanya akan biasa-biasa saja setelah adanya kontrak ini."

"Sebentar."

Young Me menunjukkan telapak tangannya lalu berpindah posisi duduk agar bisa memandang sang sahabat lebih dekat.

"Kontrak ini. Apa yang kau dapatkan?"

"Maksudmu?"

"Ya, mungkin saja kau mendapatkan sejenis 'gaji'."

"Ey, tidak ada hal seperti itu."

"Lalu kau tidak mendapatkan apa-apa?"

"Memangnya aku harus mendapat apa?"

Young Me menggeleng, menunjukkan ekspresi yang seakan mengatakan 'setidaknya kau harus mendapatkan sesuatu karena sudah melakukan hal gila seperti itu'.

"Tidak perlu menatapku seperti itu. Aku juga tahu seberapa gila keputusanku itu."

~

Haruskah dia juga berpindah apartemen agar tidak lagi berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Donghae?

"Minumlah."

"Tidak, terima kasih. Aku tidak akan lama disini."

Jin Ra mengangguk dan meraih cangkir teh; meminumnya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Donghae oppa?"

"Baik. Apa kau kemari hanya ingin menanyakan itu?"

"Tidak juga. Aku hanya penasaran, jika hubungan kalian masih baik kenapa dia akhir-akhir ini selalu menempel padaku? Dia bahkan lebih memilih menginap di apartemenku dibanding di rumahnya."

....

Jin Ra kembali meminum teh setelah terdiam beberapa saat.

Hanya bersyukur dalam hati karena teh di mulutnya tidak meluncur keluar.

"Benarkah? Mungkin karena dia sedang bosan denganku dan sedang ingin mencari suasana baru. Jika dia sudah puas nanti dia juga akan kembali padaku."

Hebat, kan? Jangan bertanya bagaimana kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya.

"Kau benar. Hanya saja aku takut dia jatuh terlalu dalam ke pelukanku dan tidak bisa lepas. Aku kan tidak ingin disebut sebagai pengganggu hubungan orang."

"Tapi aku rasa julukan itu sudah melekat di dirimu. Buktinya kau masih saja mendekatinya saat dia tidak meresponmu dan saat kau tahu dia sudah menikah."

Salah satu keuntungan saat dia sudah terlepas dari Donghae sekarang; dia bisa dengan senyaman mungkin mengeluarkan semua unek-uneknya tentang Chaebi.

Tidak akan ada yang melarang dan tidak ada aturan yang mengekangnya.

"Jadi, jika dia memang jatuh ke pelukanmu karena keinginannya sendiri yang mungkin frustrasi karena tidak bisa bersamaku, aku akan menerima dan menghargai keputusannya."

"Tapi jika dia kau sebut 'jatuh' ke pelukanmu karena kau yang terus menerus tanpa malu mendekatinya dan mencoba menarik perhatiannya, aku mungkin akan memuji usahamu dan aku berdoa semoga Donghae tidak segera sadar dari semua muslihatmu agar kau bisa 'mendapatkannya'."

Beruntung cangkir teh itu terbuat dari gelas kaca yang cukup tebal, jika tidak mungkin cangkir itu sudah berubah menjadi kepingan kaca karena kerasnya genggaman Chaebi.

"Jadi, nona Jung..."

Jin Ra berdiri dan menunjuk dengan sopan pintu apartemennya.

"Kau bisa meninggalkan tempat ini jika tidak ada hal lain yang ingin kau sampaikan. Lagipula aku takut Donghae menunggu sendirian di depan pintu rumahmu."

Dan berhasil membuat wajah Chaebi semakin memerah.

Gadis itu dengan sedikit kesal meletakkan cangkir kembali ke atas meja. Lalu berdiri dan langsung berlalu melewati Jin Ra, keluar melewati pintu.

~

"Bodoh. Haruskah kau terus menangis seperti itu?"

"Dia bahkan tidak peduli denganmu, kenapa kau jadi harus menangis tersedu-sedu karenanya?"

Jin Ra menatap pantulan dirinya di cermin. Menggeleng menyadari merahnya wajah serta matanya.

"Hentikan, Park Jin Ra. Pria itu sudah tidak ada hubungan denganmu, dan kenapa kau harus terpancing oleh perkataan gadis seperti Chaebi."

Dia masih merasa ada lilitan tali yang begitu erat mengikat tubuhnya; oksigen secara perlahan keluar dari paru-parunya seirama dengan setiap kata dari Chaebi yang ia ingat.

Toh dia juga tidak akan tahu benar atau tidaknya apa yang gadis itu katakan.

Donghae benar-benar sedang senang mendekatinya atau tidak, dia tidak tahu.

Jadi sekarang, sebenarnya apa alasan dia menangis?

~

"Aku benar-benar harus memberikan ini?"

Young Me menatap horor amplop surat bertuliskan 'Pengunduran Diri' di tangannya.

"Setidaknya datanglah dulu, siapa tahu dia tidak akan mempermasalahkan semuanya."

"Tidak. Kau harus tahu jika kontrak kami berakhir dengan tidak baik. Akan canggung jika kami bertemu."

"Jadi tolong, eoh?"

"Lagipula keadaanku sedang tidak baik. Kau tidak lihat wajah pucatku ini?"

Jin Ra kembali menunjukkan ekspresi memohon, yang sebenarnya ia tahu jika itu tidak akan berpengaruh pada Young Me.

"Cih, baiklah. Awas saja jika pria itu mencecarku dengan pertanyaan tentangmu. Karena semingguan ini saja aku sudah bosan mendengar pertanyaan karyawan lain yang menanyakan keberadaanmu."

"Tidak akan. Aku yakin dia juga tidak akan perduli denganku."

~

Sialan, Park Jin Ra.

Waktu istirahat yang seharusnya bisa ia habiskan di cafetaria justru berakhir dengan suasana horor di ruang kerja sang atasan.

"Dia tidak berani menemuiku atau apa, hingga harus kau yang mengantar surat ini?"

Pria itu dengan aura dinginnya masih sibuk menatap layar laptop tanpa melihat Young Me yang berdiri gugup di depannya.

"Dia tidak bisa datang. Dia juga sedang sakit, sajangnim."

Satu detik.

Satu detik itu tidak terlewat oleh Young Me. Dimana Donghae refleks menatapnya saat bagian dimana ia mengatakan Jin Ra sedang sakit.

Sebelum pria itu kembali ke wajah datar dan kembali melihat ke laptop.

"Baiklah. Kau bisa keluar."

Young Me menunduk singkat dan berlalu dengan cepat dari ruangan Donghae.

Sedang pria itu hanya menatap sekilas surat pengunduran diri Jin Ra di ujung meja dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

~

'Dia tidak menginterogasiku, hanya berbaik hati menebarkan aura horor miliknya.'

Jin Ra tersenyum tipis saat membaca pesan Young Me.

Gadis itu pasti merasa terintimidasi oleh Donghae. Dia yang setiap hari bertemu dengan pria itu saja masih bisa dengan mudah diintimidasi, apalagi Young Me yang baru beberapa kali berhadapan dengannya.

"Setidaknya aku tidak akan pernah lagi mendapati mata tajamnya itu."

Dan setidaknya itu akan menjadi salah satu hal yang kau rindukan nanti.

Baru beberapa detik Jin Ra meletakkan ponsel ke atas meja, benda itu sudah kembali bergetar.

Panggilan masuk.

Dan nama yang tertera di layar membuatnya membeku. Antara ragu untuk menerima panggilan itu atau tidak.

Lagipula kenapa dia harus mendapat panggilan darinya?

"Aish."

Merasa tidak punya pilihan lain dan merasa penasaran kenapa orang itu menghubunginya, Jin Ra menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telingannya.

"Halo... eommonim."

~

Sial. Double sial.

Dia sudah mati-matian mencoba untuk melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Donghae, dan merasa bersyukur karena pria itu sama sekali tidak mencoba menghubunginya.

Tapi sekarang? Dia harus kembali kemari, duduk di tempat yang sama dan harus berhadapan dengan orang yang menghubunginya tadi.

"Kau sakit? Kau terlihat kurus."

"Tidak, eommonim. Aku baik-baik saja."

"Benarkah? Lalu kenapa kalian tidak datang bersama? Donghae bahkan meminta eomma untuk menghubungimu langsung."

"Ah itu..."

"Kami sedang bertengkar. Jadi wajar, kan?"

Dan pria itu -yang entah muncul dari mana-, tiba-tiba sudah duduk dengan santai di sofa yang berhadapan dengan sofa yang Jin Ra dan ibu Donghae tempati.

Membuat Jin Ra sigap mengalihkan pandangan agar tidak perlu bertatapan dengannya.

"Pantas."

Ibu Donghae mengusap sekilas rambut Jin Ra.

"Selesaikan masalah kalian dengan cepat. Jangan bertengkar terlalu lama."

Yang -karena tidak ada pilihan lain- dibalas anggukan oleh Jin Ra.

~

Jin Ra merapikan bagian lengan pakaiannya yang sedikit basah karena terkena cipratan air saat ia mencuci tangan.

Ia mengambil beberapa lembar tisu dan mencoba sedikit mengeringkan pakaiannya seraya berjalan keluar kamar mandi.

Yang membuatnya hampir bertabrakan dengan seseorang yang tampak hendak masuk ke kamar mandi.

Dia lupa fakta jika dia menggunakan kamar mandi di dalam kamar tidur orang ini.

Tidak ingin terlalu lama 'terkejut', Jin Ra mengambil langkah menyamping untuk melewati tubuh pria itu.

"Aku pikir kau ingin menjauhiku."

Sebelum sebuah kalimat menghentikannya.

"Memang. Aku kemari hanya memenuhi permintaan ibumu."

"Kenapa tidak kau tolak saja dan katakan yang sebenarnya tentang kita?"

"Bukankah itu tugasmu untuk mengatakan yang sebenarnya? Aku hanya mengikuti permainanmu."

Tanpa perlu berbalik dan memandang lawan bicaranya, Jin Ra melanjutkan langkah dan keluar dari kamar.

Berhenti dan bersandar di dinding luar kamar, menghirup pasukan oksigen yang tidak bisa masuk ke paru-parunya saat berhadapan dengan Donghae tadi.

"Jangan membuatnya semakin rumit."

~

` Every time I thought of you, I cursed at you
That way, I felt a little better
I erased everything that might remind me of you
But still, there are too many memories

How can I call you?
How can I call you after suddenly thinking about you?
But all I could say is, what’s up?
`
(Super Junior KRY - ...Ing)


Donghae bergerak maju dan mengecilkan audio lagu yang terputar di mobilnya.

Di dalam hati merutukki sang supir kenapa bisa ada lagu seperti itu di saat yang seperti ini.

Lagu yang sesuai dengan hatinya.

Matanya mengarah ke kaca jendela di sampingnya, berharap bisa melihat pantulan Jin Ra yang duduk di seberang sana.

Gadis itu diam menatap jalanan yang terlihat dari samping. Tidak berniat hanya sekedar melihat ke depan atau melihat ke arahnya.

Dan diantara mereka berdua tidak ada satupun yang berinisiatif untuk mengatakan sesuatu lebih dulu.

"Hah. Sepi sekali."

Hingga sang supir harus membuat suara dan membuat kedua orang di kursi belakang itu menatapnya melalui kaca di atas dashboard.

Yang satu hanya menatap dan tersenyum canggung. Sedang yang satu menatapnya seakan hendak melontarkan sejuta makian.

"Lagipula kenapa aku harus jadi supir hari ini? Sial sekali."

"Maaf, oppa. Aku tidak tahu jika eommonim akan memintamu mengantar kami."

"Itu karena wajahmu cocok untuk menjadi supir, Hyung."

Donghwa memincingkan mata, menatap tajam Donghae yang terlihat dari kaca.

"Kau ingin aku antar kemana Jin Ra, apartemenmu atau rumah Donghae?"

Dia bahkan masih sempat menggoda Jin Ra dan membuat gadis itu jadi gugup.

Dia seakan tahu jika ada yang salah dari kedua manusia di belakangnya.

"Apart-"

"Rumahku tentu saja. Haruskah kau bertanya seperti itu?"

Yang berhasil membuat Jin Ra semakin kelimpungan karena jawaban Donghae.

"Aku kan hanya bertanya. Dan haruskah kau jadi sekesal itu?"

"Hyung."

"Baiklah baiklah."

~

Asing? Canggung? Kesal? Rindu? Entahlah yang mana yang ia rasakan sekarang.

Melihat pria itu yang sudah duduk dengan nyaman setelah meletakkan secangkir coklat hangat untuknya.

Untuk apa ia dibawa kesini jika hanya untuk di acuhkan seperti ini.

"Minumlah. Aku tidak memasukkan apa-apa jika itu yang kau khawatirkan."

Donghae berdiri dan berlalu ke ruang kerja.

Meninggalkan Jin Ra yang meraih coklat hangat itu dan meminumnya. Berharap bisa menurunkan detak jantungnya yang sedang bekerja dengan tidak normal.

Total hampir sepuluh hari dia meninggalkan tempat ini, waktu yang singkat jika dia harus ada disini lagi sekarang.

Donghae tampak kembali dengan amplop di tangan. Yang Jin Ra tahu apa isinya.

"Kita mengakhirinya dengan tidak semestinya, kan?"

Ucapnya kemudian. Membuka amplop dan meletakkan kertas di dalamnya ke hadapan Jin Ra.

Serta sebuah pulpen; memintanya untuk menandatangani surat ini. Sebutlah sebagai tanda jika kontrak mereka benar-benar berakhir.

Yang entah kenapa semakin membuat Jin Ra merasa sesak.

Gadis itu menarik nafas singkat, meraih pulpen dan dengan cepat membubuhkan tanda tangan ke tempat yang ada.

Cepat akhiri saja semua ini.

"Sudah? Bisa aku pergi sekarang?"

Lalu memasang kembali coat dan bersiap untuk berdiri.

"Tunggu."

"Kau... benar-benar ingin mengundurkan diri dari perusahaanku?"

"Aku ingin mencoba pekerjaan lain."

"Bukan karena ingin menjauhiku?"

Itu juga.

"Bukan."

Donghae mengangguk dan memperhatikan Jin Ra yang melanjutkan niatnya untuk pergi, bahkan terus menatap hingga gadis itu menghilang di balik pintu depan.

Sebelum akhirnya dia menyabet kunci mobil dan melesat keluar; mengejar Jin Ra.

~

Apa yang dia lakukan sekarang? Berhasil dibodohi untuk kedua kalinya.

Menatap nanar sang ibu yang asik berbincang dengan Donghae.

Pria itu semakin sialan. Dia bahkan masih tidak mengatakan apa-apa tentang kejadian di rumahnya 10 hari yang lalu, yang membuat Jin Ra memilih untuk meninggalkan rumah itu.

"Jadi, kau setuju eommonim?"

"Aku akan setuju apapun yang kalian lakukan."

Ha? Setuju?

"Setuju apa? Apa yang kalian bicarakan?"

Donghae mengangkat kedua bahu dan meminum teh yang dihidangkan.

"Menyiapkan apa, eomma?"

Harus bertanya pada yang satunya.

"Tidak tahu. Tanyalah sendiri pada suamimu."

Wanita itu berdiri dan mengeratkan cardigannya, lalu berlalu pergi.

"Apa yang kau katakan? Jangan berbuat yang macam-macam."

Tatapan membunuhnya pun tidak akan ampuh untuk membuat Donghae menurut.

Pria itu seakan senang saat harus menjahilinya.

"Bisakah kau serius? Kontrak kita sudah berakhir, kau juga yang sudah memintaku menjauh. Sekarang apa yang kau lakukan?"

"Kecilkan suaramu."

Donghae yang panik beringsut mendekat dan hendak menutup mulut Jin Ra sebelum gadis itu menangkis tangannya.

"Diamlah."

"Kalau begitu menjauh dariku!"

Dan refleks memberi beberapa pukulan di tubuh Donghae.

Pria itu mengangguk terpaksa dan menggeser duduknya menjauh.

"Menginap saja malam ini, kamar kalian sudah disiapkan."

Ibu Jin Ra muncul dan membuat Jin Ra berhenti menatap kesal Donghae.

Tapi berubah jadi tatapan terkejut saat berusaha mencerna perkataan sang ibu.

"Ah, tidak eomma. Kami pulang saja, lagipula ada pekerjaan yang harus Donghae selesaikan."

Jin Ra menepuk pelan pundak Donghae agar pria itu menatapnya; mencoba meminta kerja sama.

Mereka tidak mungkin menginap disini, apalagi dalam satu kamar yang sama.

Tidak mungkin.

"Tapi aku sudah lelah sekali, sayang. Kita menginap disini saja, eoh?"

Lelah? Sayang?

Sialan.

"Sudah. Akan bahaya jika Donghae menyetir dengan keadaan mengantuk. Lagipula dia juga belum pernah menginap disini, kan?"

"Ya, eommonim. Terima kasih."

Jin Ra mati-matian menahan diri untuk tidak mencakar wajah Donghae yang sedang menampilkan wajah konyolnya itu.

"Kalau begitu eomma tidur dulu. Jika kau memerlukan sesuatu, mintalah pada istrimu, Donghae-ah."

"Ne, eommonim. Aku mengerti."

Donghae menatap sumringah ibu Jin Ra yang masuk ke kamar, tanpa sadar dengan benih-benih emosi yang berterbangan di sekitar Jin Ra.

"Ayo kita ke-"

Gadis itu bahkan langsung berdiri meninggalkannya.

"Hei, kau marah?"

Donghae yang tidak ingin diam saja ikut berdiri dan mengikutinya.

Sebelum Jin Ra berhenti dan menahannya.

"Aku akan naik lebih dulu. Masuklah satu jam atau dua jam lagi, saat aku sudah tertidur."

"Tapi aku kan tidak tahu kamarmu. Jika aku masuk ke kamar yang salah bagaimana?"

"Aish! Jangan banyak alasan. Kau akan langsung tahu yang mana kamarku saat kau sudah ada di atas."

Tangannya tampak memberi isyarat agar Donghae tetap di tempat dan tidak mendekat.

Jin Ra lalu melanjutkan langkah untuk naik ke lantai atas. Sedang Donghae, yang karena tidak ada pilihan lain kembali duduk di sofa.

~

Jin Ra memainkan ponsel di genggamannya. Sudah hampir pukul satu pagi tapi dia bahkan tidak bisa memejamkan mata barang sebentar.

Entah karena sudah lama tidak berada di kamarnya di rumah ini atau karena hal lain.

Mungkin terpikirkan pria yang entah masih bertahan di ruang tamu atau sudah lenyap karena pria itu masih belum muncul di kamarnya.

"Cih. Dia tidak mungkin berani masuk kesini. Akan aku buat menyesal jika dia sampai menampakkan batang hidungnya."

Merubah posisi tubuh dan memeluk erat boneka, mencoba kembali memejamkan mata.

'Tapi apa benar pria itu tidak akan masuk kemari?'

'Lalu tidur dimana dia? Di sofa?'

'Tapi mungkin saja dia sudah pergi'

'Tidak mungkin dia pergi diam-diam'

"Baiklah baiklah."

Merasa tidak akan tenang jika tidak melihat langsung apa yang Donghae lakukan, Jin Ra turun dari tempat tidur dan keluar kamar.

Menuruni tangga dengan pelan saat melihat pria yang ia cari tengah terlelap di atas sofa dengan bantal sofa menutupi wajah.

"Benar-benar tidur di sofa."

"Ya sudahlah."

Gadis itu berbalik dan kembali menaiki tangga sebelum berhenti dan kembali melihat Donghae.

Bukankah akan menyebabkan masalah jika ibunya melihat pria itu tidak tidur di kamar tapi justru terlantar di ruang tengah?

"Aish!"

Tidak ada pilihan lain.

Jin Ra menuruni tangga dan mendekati sofa dimana Donghae berada.

Pria itu tampak sangat lelap dan tidak terganggu walaupun harus tidur disana.

Jin Ra lalu mencoba menyentuh lengan Donghae; sedikit menggoyang-goyangkannya.

Yang direspon dengan lenguhan tapi mata yang masih tertutup rapat.

"Lee Donghae..."

 "Hmm?"

Dia merespon tapi justru membalik tubuhnya ke samping.

"Bangunlah. Jangan tidur disini."

"Pergilah, Lee Jin Ra. Kau menganggu tidurku."

Dalam keadaan seperti ini pun dia masih bisa bersifat bossy.

"Aku hanya memintamu untuk berpindah tempat. Jangan tidur disini."

Merasa tidak akan mendapatkan respon lagi, Jin Ra menarik pipi Donghae dan memukul-mukul lengannya.

"Aish, baiklah baiklah."

Yang berhasil membuatnya bangkit dan langsung duduk dengan mata yang masih terpejam.

Dia tidak sadar jika posisi wajahnya sekarang berjarak sangat dekat dengan Jin Ra karena gadis itu duduk di pinggiran sofa di samping tubuhnya.

Sialan.

Beruntung Jin Ra sudah lebih dulu berdiri sebelum Donghae membuka mata.

"Naik!"

Rasa gugup membuat nada bicaranya seakan memerintah saat Donghae yang mengacak-acak rambut menatapnya.

Sedang pria itu hanya mengangguk malas dan mengikutinya yang sudah berjalan menaiki tangga.

"Kau sengaja bangun hanya untuk memintaku naik?"

"Aku memang belum tidur. Jangan terlalu percaya diri."

Donghae tersenyum tipis, memandangi kaki Jin Ra yang menaiki setiap anak tangga.

Saat sampai di lantai dua, ada 3 kamar disana. Satu kamar dengan pintu yang mencolok, karena ada beberapa hiasan serta nama seseorang yang sudah pasti pemilik kamar itu.

Benar yang Jin Ra katakan, kamarnya akan sangat mudah ditemukan.

"Tidak ada sofa disini."

Komentar pertama Donghae saat masuk ke kamar.

"Kau ingin aku tidur di lantai?"

Yang ditanya hanya menggeleng dan dengan ragu menunjuk tempat tidurnya.

"Aku tidak keberatan tapi kau?"

"Kau benar ingin tidur di lantai?"

"Tidak."

"Kalau begitu diamlah. Kau ada di kamar seorang gadis, jadi jangan berbuat macam-macam."

"Hei."

Donghae menyentuh tangan Jin Ra yang hendak berjalan ke tempat tidurnya.

"Maaf. Aku bukannya bermaksud mempermainkanmu."

"Kau sadar ternyata."

Matanya mengarah pada tangan Donghae yang masih menyentuhnya.

"Bukan begitu. Aku hanya-"

"Sudahlah. Sudah malam, aku mengantuk."

"Baiklah."

Memang karena tidak ada pilihan lain dan juga karena rasa kantuk yang sudah semakin menguasainya, Donghae mengikuti Jin Ra yang naik ke atas tempat tidur.

Gadis itu berbaring dan memalingkan tubuhnya ke samping; membelakangi Donghae.

"Selamat malam."

~

"Bagaimana tidurmu tadi malam, Donghae-ah?"

"Aku tidur dengan nyenyak, eommonim. Terima kasih."

"Baguslah. Jadi kau tidak akan merasa tidak nyaman jika harus tidur disini lagi nanti."

"Eomma, berhenti mengganggunya."

"Astaga. Eomma hanya bertanya."

Ibu Jin Ra mencubit pelan pipi putrinya dan membuat gadis itu mengerucutkan bibir.

Sedang Donghae hanya tersenyum riang dan melanjutkan sarapan.
"Kalau begitu habiskan sarapan kalian. Eomma ada perlu pagi ini. Jika kalian pulang jangan lupa beritahu Kim ajhumma."

"Baik, eommonim."

Donghae berdiri, meraih coat milik ibu Jin Ra dan membantu mengenakannya.

Membuat wanita itu tersenyum seraya menatap Jin Ra yang justru hanya mendengus dan melambaikan tangan.

"Kau tidak ke kantor?"

"Kau mengusirku?"

"Aku bertanya, bukan mengusir."

"Tidak. Lagipula tidak ada yang menarik di ruanganku sekarang."

"Ah... Karena tidak ada Chaebi?"

Donghae menggigit sandwich dan melihat Jin Ra sekilas lalu mengangguk.

"Benar. Karena tidak ada dia."

Membuat gadis di sampingnya itu ikut mengangguk malas.

"Kau yang memancingku dan kau sendiri yang merasa kesal."

"Hm?"

"Tidak. Lanjutkan saja makanmu."

~

"Aku muak dengan semua ini. Bisakah kau menghentikannya?"

Suasana tenang beberapa saat yang lalu menghilang sudah.

Entah karena siapa.

Mungkin Jin Ra tidak nyaman dengan tingkah Donghae yang semakin menjadi-jadi.

Sudah cukup dengan semua hal yang berhubungan dengannya saat menginap tadi malam. Dan sekarang?

Pria itu memaksanya untuk ikut ke rumahnya dan menunjukkan sebuah kamar yang tampak baru di dekorasi.

Kau tahu kamar apa? Kamar bayi.

Dinding dengan cat biru, sebuah tempat tidur kecil dengan beberapa mainan serta barang-barang di samping.

Kursi sofa bulat berukuran besar yang Jin Ra tahu kursi itu sering digunakan wanita yang hendak menyusui bayi mereka, karena kursi itu memang dirancang untuk itu.

Di sudut terdapat dua lemari kecil, satu lemari yang pasti akan digunakan untuk pakaian serta satu lagi lemari yang sudah terisi sebagian dengan beberapa boneka serta mainan-mainan bayi lainnya.

Di atas lemari itu terdapat bingkai foto yang berupa collage, ada foto pernikahan (kontrak) mereka lalu ada sisi kosong di tengah-tengah, seakan menunggu sebuah foto untuk diletakkan disana.

"Aku harus mengatakan sesuatu."

Tidak ingin membuat Jin Ra semakin marah, Donghae meraih tangan gadis itu dan memintanya duduk di sofa.

"Bisa beri waktu aku untuk mengatakan sesuatu?"

Lalu menarik kursi untuknya duduk agar berhadapan dengan gadis itu.

"Aku tahu kau akan kesal dengan sikapku yang kemarin memintamu menjauh tapi justru sekarang bersikap seperti ini."

"Aku senang jika kau sadar."

"Kau tahu kenapa aku seperti ini?"

"Karena kau memang suka mempermainkan seseorang."

"Tapi aku tidak suka mempermainkan hati seseorang."

Jin Ra menatap sinis dan sigap menjauhkan tangan saat Donghae hendak menyentuh tangannya.

"Dengarkan aku dulu."

"Ya. Tapi tidak perlu dengan memegang tanganku."

"Astaga."

"Atau kau ingin aku pergi sekarang?"

"Jangan."

Mereka tidak sadar saling berbuat konyol.

"Aku memang ingin segera mengakhiri kontrak kita."

Aku juga.

"Karena aku ingin memulai sesuatu denganmu."

"Memulai hubungan... Sungguhan."

Donghae tampak tidak berani menatap Jin Ra sekarang.

Mungkin karena sadar jika rencana yang sudah ia buat dulu gagal hingga membuat semuanya seperti ini.

"Maksudmu? Aku tidak mengerti."

"Aku berniat mengatakan sesuatu sebelum kontrak kita berakhir, aku ingin kita benar-benar menjadi pasangan sungguhan bukan kontrak. Tapi ternyata aku melakukan kesalahan dengan membiarkan emosi mengendalikanku dan membuatmu menjauh, membuat suasana di antara kita jadi buruk."

"Lalu apa yang membuatmu merasa hubungan kita sudah membaik sekarang?"

"Tidakkah seperti itu keadaannya?"

Jin Ra mengangkat bahu dan tersenyum masam.

"Aku serius."

"Aku juga. Kau pikir bagaimana perasaanku setelah hari itu? Aku mati-matian berusaha untuk tidak berdekatan dengan sesuatu yang berhubungan denganmu. Tapi kau? Dengan seenaknya melakukan semua ini."

"Karena itu aku ingin kau mendengarkan dulu penjelasanku. Setidaknya sebelum kau memutuskan semuanya."

"Aku sudah memutuskan, kau juga, kan? Apalagi yang kurang?"

"Kau tidak lihat kamar ini? Kau pikir aku mengambil keputusan yang sama sepertimu? Tidak."

Donghae bangkit dan mengambil figura foto di atas lemari. Menunjukkannya pada sang gadis.

"Kau lihat bagian yang kosong ini? Aku ingin mengisinya dengan foto buah hati kita nanti. Dan aku ingin mengganti foto pernikahan ini dengan foto pernikahan kita yang sebenarnya, bukan lagi kontrak."

"Kau sadar dengan apa yang sedang kau lakukan ini?"

"Aku menyebutnya sebagai 'melamar'."

"Aku menyebutnya sebagai rencana gilamu yang kedua."

"Ey, ayolah. Bersikap manislah sedikit."

"Tidak mau."

"Baiklah. Setidaknya berikan jawabanmu, jawaban yang benar-benar jawaban. Bukan kalimat untuk mengajakku berdebat, atau yang sejenisnya."

Donghae meraih tangan Jin Ra dan menggenggamnya dengan erat, tidak peduli sang gadis yang tampak berusaha melepasnya.

"Cepat! Jangan sampai aku harus melamarmu di depan ibumu."

"Lakukan saja jika kau berani."

Berhasil membuat Donghae menatap datar dan semakin menarik-narik tangannya.

"Kau tidak bisa memaksaku. Setidaknya bersikaplah seperti pria pada umumnya; mendekatiku dari awal. Bukannya tiba-tiba melamar seperti ini."

"Kita tinggal di rumah yang sama dan bahkan sudah tidur dalam ranjang yang sama. Kedekatan seperti apa lagi yang kau maksud?"

"Bukan yang seperti itu."

"Lalu?"

"Kau pikirlah sendiri."

Jin Ra menepuk paha Donghae lalu berdiri hendak menjauh.

"Baiklah baiklah, aku mengerti."

Pria itu justru dengan berani menahan dengan cara memeluknya dari belakang.

"Jika kau ingin aku melakukannya secara normal, aku akan melakukannya. Aku harus berkenalan denganmu, pendekatan, lalu nanti memintamu menjadi kekasihku, menjalin hubungan beberapa tahun lalu aku baru bisa melamarmu dan akhirnya kita menikah. Walau tidak masuk akal tapi aku harus melakukan itu, kan?"

Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

Dia bisa tersenyum karena yakin Donghae tidak akan menyadarinya.

Tapi kemudian...

"Tidak."

Dia melepas kaitan Donghae dan memberi jarak dengannya.

"Sebelum melakukan itu, selesaikan dulu hubunganmu dengannya."

"'Dengannya' siapa?"

"Tidak tahu. Dengan siapa saja yang kau rasa memiliki hubungan. Sebelum itu, jangan berani mendekatiku."

Jin Ra menepuk singkat dada Donghae lalu meraih tas dan pergi dari sana.

'Selesaikan semua'


~TBC~