Senin, 05 Desember 2016

Just Say It #4 (END)

Author : Reni Retnowati (Park Hye Ri)
Cast : Lee Donghae, Park Jin Ra, etc.
Length : Chapters


Happy reading!

~

 "Ingin merencanakan semuanya dari awal?"

"Mau tidak mau. Tidak ada pilihan lain."

"Lucu rasanya. Kau merencanakan semuanya tapi gagal."

"Jangan mengejekku."

Hyukjae mengangguk-anggukkan kepala.

"Tapi jika dipikir- lagi kenapa kau harus membicarakannya denganku? Aku bukan ahli dalam bidang itu."

"Tidak ada orang lain, bodoh."

"Sialan."

"Sekarang kau ingin membantuku atau tidak?"

"Ya ya, baiklah. Cepat saja kita membicarakannya."

"Jadi kau akan bertugas mengurus ini dan ini. Untuk daftar nama akan aku kirimkan padamu nanti."

Hyukjae kembali mengangguk dan memperhatikan apa yang tertera di layar laptop Donghae.

"Lalu untuk urusan yang lain?"

"Sebagian sudah selesai, hanya sebagian kecil yang masih harus aku kerjakan."

"Aku rasa kau melupakan bagian paling terpentingnya."

"Aku tidak lupa. Aku hanya sedang mencari cara yang ampuh."

"Itu sama, bodoh. Kau ingin mengambil resiko dengan melakukan semua ini sementara bagian terpentingnya saja belum selesai? Jika gagal lagi bagaimana?"

"Tidak akan. Aku akan memastikannya."

Donghae bersandar dan mengibaskan tangan di depan wajah Hyukjae.

"Jangan pernah menemuiku lagi jika rencana kedua ini gagal. Aku tidak ingin lagi membantumu."

"Ya ya ya. Apa katamu saja."

Baru sang sahabat hendak membuka mulut, suara ketukkan di pintu menghentikannya.

Donghae yang tersenyum tipis melihat ke arah pintu.

"Masuk."

"Tidak ada yang membukakan pintu untukmu, tuan Lee?"

Membuat Hyukjae mendapatkan tatapan dingin untuk kesekian kalinya.

Tidak ada Jin Ra disini, jadi jelas tidak ada orang yang akan membukakan pintu untuk sang CEO karena dia juga tidak berniat mencari sekretaris lain.

"Oh, apa aku mengganggu kalian?"

Senyum di wajah Hyukjae dan Donghae berangsur menghilang.

Donghae sebenarnya sudah terang-terangan menunjukkan ekspresi tidak sukanya.

"Tidak. Kau tidak menganggu. Lagipula aku sudah akan pergi."

Hyukjae berdiri, merapikan jas dan menatap Donghae.

"Aku akan mencetaknya segera."

Yang direspon dengan anggukan.

"Aku pergi dulu, Chaebi-ssi."

"Ya."

Dan segera keluar dari sana.

Hyukjae tentu tidak bodoh untuk mengerti aura seram yang muncul di diri Donghae.

"Apa ada yang ingin kau sampaikan?"

Donghae menatap Chaebi yang masih berdiri di depannya.

"Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang."

"Kau masih ingin mengajakku makan siang? Kau tahu jika aku sudah menikah."

"Ini kan hanya makan siang biasa. Lagipula 'istrimu' itu juga tidak akan marah, kan?"

Donghae mulai merasa tidak nyaman dengan cara Chaebi menyebut kata 'istri'.

Apa gadis itu tahu tentang hubungan mereka yang sebenarnya?

"Maksudmu?"

"Tidak ada maksud apa-apa. Dia juga kan tidak ada di ruangan ini, jadi dia tidak akan tahu jika kita pergi bersama."

'Sebelum melakukan itu, selesaikan dulu hubunganmu dengannya.'

Sepertinya Donghae mulai mengerti arti perkataan Jin Ra tempo hari.

"Apa kau menemui Jin Ra belakangan ini?"

"Ya. Kebetulan aku-"

"Apa kau mengatakan sesuatu padanya?"

"Tidak. Aku-"

"Aku tanya apa kau mengatakan sesuatu padanya?"

Nada bicara Donghae semakin lama semakin meninggi, entah pria itu sadar atau tidak.

"Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya bertanya kenapa dia lama tidak terlihat disini. Haruskah kau bertanya dengan nada setinggi itu?"

"Dan haruskah kau ikut campur setiap urusanku? Aku tidak memintamu mengurusi kehidupan rumah tanggaku."

"Kau tahu? Aku semakin muak dengan semua ini. Dengan tingkahmu, dengan pendapat orang lain tentang kita. Tidak bisakah kau bersikap wajar dan sedikit menjaga jarak denganku?"

"Ma-maksudmu? Kau ingin aku menjauh?"

"Ya. Kau harus sadar bagaimana statusku sekarang, aku bukan lagi pria lajang yang bisa bersamamu dan bisa kau dekati setiap saat, terlebih di luar urusan kerja."

"Aku tidak ingin terus membiarkan orang-orang berpendapat jika kita memiliki hubungan lebih dari sekedar sahabat. Dan kau yang seharusnya berusaha agar mereka berhenti menganggap kita sebagai kekasih justru semakin menunjukkan jika apa yang mereka pikirkan itu benar adanya."

"Tapi... bukankah memang begitu?"

"Kau tahu aku menganggapmu sebagai apa. Dan kau tahu jika perasaanku padamu tidak akan pernah berubah. Kau hanya adik bagiku, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih."

"Oppa.."

"Berhenti memanggilku seperti itu. Lama-lama aku bosan mendengarnya. Aku mungkin bisa saja tidak ambil pusing dengan tingkahmu, tapi hal itu berpengaruh pada Jin Ra. Dia menjauhiku karenamu. Haruskah kau juga mengganggu kehidupanku dengannya?"

Chaebi yang semakin berkaca-kaca seakan tidak berimbas apa-apa pada Donghae. Pria itu yang dari awal memang berniat menghentikan semuanya seperti sudah memasang tameng di dirinya.

"Aku tidak ingin hubungan kita menjadi buruk. Tapi kau yang menghancurkannya dan aku tidak bisa terus diam karena ini. Kau sangat mengenalku, dan aku rasa kau tahu jika aku berusaha untuk tidak membentakmu saat ini."

"Aku tahu kau memiliki sifat obsesif pada semua hal. Tapi kali ini itu tidak berlaku padaku. Aku bukan milikmu jadi berhenti berusaha menahanku di sekitarmu. Semakin kau berusaha, semakin ingin aku menjauh."

"Hanya akan ada satu wanita yang aku pertahankan. Bukan wanita lain apalagi kau, hanya Jin Ra."

"Hentikan..."

"Jika kau memang masih ingin aku menganggapmu sebagai teman, hentikan semua obsesimu padaku."

"Oppa."

"Aku tidak ingin terus bersikap manis. Aku menyesal karena semua perhatianku padamu itu justru kau artikan dengan berbeda."

"Kontrak!"

Sesak yang ia rasakan mungkin akan segera memuncak.

"Pernikahan kalian hanya kontrak."

"Kontrak atau sungguhan itu bukan urusanmu!"

Gelas kaca yang sedari tadi bertengger dengan tenang di atas meja sekarang sudah menjadi kepingan di lantai.

Sepertinya seseorang sudah tidak bisa menahan amarahnya saat ini.

"Kau pikir apa pendapat orang tentang kalian?"

Dia mengusap wajah basahnya dengan kasar.

"'CEO Lee Donghae menikahi sekretarisnya sendiri', 'Seorang sekretaris yang mengambil keuntungan dengan menikah kontrak', atau apa?"

"Jung Chaebi !!!"

Suara tangisan sang gadis yang semakin keras tidak bisa menutupi tingginya emosi Donghae.

Dia tahu ada bagian di dirinya yang merasa sakit melihat gadis yang selama bertahun-tahun selalu dekat dan mendapat perhatian darinya sekarang justru menangis tersedu;sedu, karenanya.

"Semua sudah selesai."

"Jika kau tidak ingin mendengarku mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan, lebih baik keluarlah."

Dia berjalan mendekati meja kerja, menarik dasinya agar melonggar.

Atmosfir semakin membuatnya panas.

Dia tahu cepat atau lambat semua ini harus terjadi. Dia yang harus membuat Chaebi menjauh.

Untuk kali ini, biarkan gadis itu sadar dengan posisinya. Dia harus tahu apa yang bisa dan harus ia perjuangkan atau hal apa yang harusnya ia rela dan lepaskan.

~

'Lusa kau harus ikut denganku ke suatu tempat jadi usahakan kau tidak memiliki janji apapun pada hari itu.'

'Dan aku tahu jika kau rindu padaku karena kita tidak bertemu selama seminggu belakangan, tapi bersabarlah. Kita akan sering bertemu nanti setelah semua urusanku selesai.'

Jin Ra membaca sekilas pesan masuk di ponselnya.

"Kau sama sekali tidak membuatku merindukanmu, Lee Donghae."

Gadis itu menggeser duduknya ke ujung sofa agar bisa meraih telepon rumah di atas meja.

Mengangkat gagang dan menekan beberapa nomor.

"Ajhuma."

Lalu mendesah kecewa saat mendapati suara penerima teleponnya bukanlah orang yang ia harapkan.

"Apa eomma pergi? Kemana?"

"Baiklah, aku mengerti."

"Katakan saja putri kesayangannya sedang rindu padanya."

"Ne, aku akan ke rumah nanti."

Dia meletakkan gagang telepon kembali ke tempat lalu merebahkan tubuhnya ke sofa.

"Sesibuk apa hingga kalian semua tidak memiliki waktu bertemu denganku?"

Sepertinya belakangan ini semua orang tidak memiliki waktu untuknya, atau justru memang sengaja menjauhinya?

~

Snack coklat yang baru ia beli tadi malam memang lebih menarik untuk ia nikmati sekarang dibanding harus beranjak dari sofa dan membuka pintu depan.

'Sebagai informasi aku sudah mengetuk pintu dan menekan bell puluhan kali.'

'Aku menunggu, sayang.'

Jin Ra bisa mendengar samar-samar suara ketukan di pintu apartemennya.

'Kau tahu aku bisa melakukan apapun agar bisa masuk ke dalam.'

'Lee Jin Ra.'

'Kau ingin aku memanggil pegawai dan memaksa masuk ke dalam?'

"Justru mereka akan mengusirmu dari sini."

Jin Ra meremas kantong snack yang kosong dan beranjak dari sofa.

"Kau akan menyesal jika kita terlambat hari ini."

"Aku sedang tidur tadi, lagipula kenapa kau datang kemari?"

"Bukankah sudah ku katakan aku akan menjemputmu?"

Donghae berjalan ke dalam dan masuk ke kamar Jin Ra.

"Kenapa masuk ke kamarku tanpa izin?"

"Lee Donghae!"

Gadis itu sedikit berlari mendekati kamarnya, takut sang kekasih melakukan sesuatu yang buruk disana.

"Ini. Kenakan dan jangan banyak bertanya."

Sebelum tertahan karena pria itu yang sudah lebih dulu keluar dan menyodorkan coat serta tas tangan miliknya.

~

"Bisa kau ulangi lagi, eonni?"

"Kau harus mengenakan gaun ini untuk menjadi pengiring pengantin bersama Donghae?"

"Pengiring pengantin siapa? Dan kenapa harus aku? Donghae bahkan tidak mengatakan apa-apa."

"Kerabat dekatnya dan ini juga mendadak jadi mungkin dia tidak sempat memberitahumu."

"Aish! Tapi aku tidak ingin jika mendadak seperti ini."

Dia menatap gusar kekasih Donghwa di depannya ini.

"Ayolah. Hanya sebentar saja."

"Aku tidak bisa menolak permintaan Donghae. Kau juga tidak akan mau kan melihat dia marah."

Hye Soo sekali lagi menyodorkan gaun di tangannya dan menunjuk ruang ganti.

"Cepatlah. Mereka menunggu."

Dan walau masih dengan gerutuan, Jin Ra meraih gaun putih itu dan beranjak masuk ke ruang ganti.

"Dia yang akan melihat betapa menyeramkannya aku jika marah."

"Lagipula kenapa aku harus mengenakan gaun seperti ini? Aku pengiring atau pengantinnya?"

Diiringi dengan suara Hye Soo yang terus memintanya untuk bergegas, Jin Ra keluar seraya masih sibuk merapikan gaunnya.

"Duduklah."

Lalu hanya menurut saat Hye Soo menariknya agar duduk di depan meja rias.

"Aku hanya akan meriasmu sedikit."

Pengiring pengantin tanpa riaspun tidak akan masalah kan?

Menyebalkan.

"Jangan memasang ekspresi seperti itu. Kecantikanmu akan menghilang nanti."

"Hm. Aku tidak akan pernah terlihat cantik jika sedang bersama calon adik iparmu itu, eonni."

"Jangan terlalu membencinya, kau akan semakin jatuh cinta nanti."

"Cih. Tidak akan."

Hye Soo tersenyum simpul lalu menggandeng lengan Jin Ra, membawanya keluar riang persiapan dan berjalan ke arah hall gereja.

Mungkin juga tanpa menyadari ekspresi Jin Ra yang masih saja masam.

"Maaf."

"Hm?"

Dan gadis itu yang menunduk tadi sekarang sedikit mendongak dan melihat ke arah Hye Soo yang menunjuk ke depan; ke dalam hall.

Jin Ra bisa melihat deretan bangku gereja serta altar di ujung, ada pendeta disana dan ada satu pria yang berdiri disampingnya.

Pengantin pria?

Tapi dia mengenal pria itu.

Hye Soo yang menyadari Jin Ra masih terlalu sibuk terpesona saat melihat ke arah altar, memanfaatkan kesempatan dengan menarik gadis itu agar terus berjalan masuk.

Dia mungkin juga tidak menyadari hymne wedding yang mulai terdengar seirama dengan langkahnya.

Senyum pria di ujung sana semakin mengembang melihat Jin Ra yang semakin dekat dan kemudian berhenti saat sudah sampai di altar.

Dia mengulurkan tangan pada gadis yang masih menatapnya itu. Gadis yang bukannya menerima uluran tangannya tapi justru terus diam di tempat.

Jin Ra berkedip mendapati tatapan sang pria yang seakan memintanya untuk cepat naik dan tidak membuat pendeta menunggu lebih lama lagi.

Dan juga sentuhan Hye Soo di punggungnya setelah wanita itu dengan paksa melepas kaitan Jin Ra di tangannya tadi sedikit berhasil membuatnya tersadar lalu dengan pelan menerima uluran tangan sang pengantin pria.

'Tuhan, maafkan aku karena memiliki niat untuk membunuh pria di depanku ini.'

Sang pendeta segera memulai proses pemberkatan lalu berdehem kemudian saat menyadari jika pasangan di depannya hanya asik saling berpandangan dan kemungkinan besar tidak mendengar apa yang sudah ia katakan.

Memang tidak sepenuhnya tatapan cinta melainkan jelas ada tatapan ingin memaki dari salah satunya.

"Baiklah, kita singkat saja."

Tidak ada pilihan lain.

"Kau, Lee Donghae, apakah kau bersedia menerima Park Jin Ra sebagai istrimu?"

Tanpa perlu jeda lama, seseorang yang ditanya itu tersenyum dan mengangguk.

"Ya, aku bersedia."

"Dan kau, Park Jin Ra, apakah kau bersedia menerima Lee Donghae sebagai suamimu?"

Tidak ada suara untuk beberapa saat. Tatapan Jin Ra tetap mengarah ke Donghae.

Dia kemudian sempat mengalihkan pandangan dan mendapati hanya ada Hye Soo dan Donghwa di bangku hall yang tersenyum padanya.

Gadis itu lalu kembali menatap Donghae yang juga tersenyum dan balik menatapnya lekat, pria itu juga sedikit meremas tangannya.

Mungkin berniat menguatkan serta mencoba meyakinkan jawaban apa yang akan ia ucapkan.

~

"Jadi selama semingguan ini kau menjauhiku karena menyiapkan semua ini?"

"Ya, begitulah."

"Kau nekat sekali. Tidak takut aku akan mengatakan 'tidak' saat di altar?"

"Tentu saja tidak. Kau pikir aku berani mengambil resiko menikahi seorang gadis yang tidak mencintaiku?"

"Cih."

Donghae mengangkat tangan Jin Ra yang ia genggam; berniat memberi kecupan disana sebelum gadis itu justru lebih dulu menggunakannya untuk mendorong wajahnya.

"Aish, tidak bisakah kau menghargai usahaku? Kau tidak tahu apa yang sudah aku lakukan agar rencana hari ini bisa terlaksana dengan baik."

"Hyukjae oppa pasti mendapat hujan ancaman darimu agar bersedia membantu."

"Tidak ada masalah dengan pria itu. Seharusnya kau bertanya bagaimana aku meminta bantuannya."

Donghae menginjak rem saat lampu lalu lintas berwarna merah. Matanya mengarah ke kaca spion; menatap mobil di belakangnya. Membuat sang istri melakukan hal yang sama.

"Donghwa oppa?"

"Meminta bantuannya berarti membongkar rahasia jika selama ini kita tidak menikah sungguhan."

"Dan reaksinya?"

"Biasa saja. Setidaknya kau masih bisa melihatku disini dan tidak berakhir di kamar mayat."

Jin Ra tersenyum simpul dan mengusap pipi Donghae saat pria itu kembali menjalankan mobil.

"Lalu sekarang kita akan kemana?"

"Tempat kejutan kedua."

"Tidak ingin memberitahuku?"

"Tidak."

"Aish. Selalu saja."

"Lagipula sebegitu tidak percayanya kau padaku."

Pria itu mengurangi kecepatan mobilnya dan berbelok memasuki pekarangan sebuah rumah berukuran cukup besar.

Yang membuat Jin Ra mengerut bingung, terlebih saat ia melihat ibu mertua (sungguhan) dan orang tuanya sedang ada di teras; seakan menunggu mereka.

"Apa yang-"

Belum sempat kalimat itu selesai ia ucapkan, Donghae sudah lebih dulu turun, memutari mobil dan membuka pintu untuknya.

Memintanya turun seraya berjanji akan menjawab pertanyaannya nanti.

"Kalian lama sekali. Sengaja ingin membuat kami menunggu?"

"Maaf, eommonim. Semuanya karena putri kesayanganmu."

"Karena ku?"

Jin Ra refleks memukul lengan Donghae.

"Dia tiba-tiba datang dan memintaku ikut dengannya. Tidak mungkin aku setuju begitu saja kan, eomma?"

"Ya! Memangnya aku akan membawamu ke tempat yang buruk hingga kau tidak percaya padaku?"

"Aku kan hanya bersiaga. Lagipula, kau memang tidak dapat dipercaya."

"Ah, sudahlah!"

Ibu Donghae menarik tangan sang putra; memberinya tatapan peringatan.

"Bisa-bisanya kalian masih bertengkar di acara seperti ini?"

"Maaf, eommonim."

Jin Ra mengangguk singkat dan meraih tangan sang ibu mertua saat wanita itu berniat membawanya ke dalam.

Di dalam rumah sudah berhias dekorasi yang jelas menunjukkan jika memang ada sesuatu yang dirayakan disini.

"Kalian sudah menikah hampir 10 bulan. Donghae belum sempat merayakan pernikahan kalian dan sengaja ingin menunggu hingga dia bisa menyiapkan rumah ini."

Jelas ibu Donghae yang ditanggapi dengan anggukan oleh ibu Jin Ra.

Sedang gadis itu sudah kembali berdiri di samping sang suami.

"Kau menyiapkan semua ini tanpa memberitahuku?"

"Ini ke-ju-tan. Perlu aku carikan arti kata itu di kamus?"

"Aku serius."

Suaranya lirih tapi tegas.

"Aku juga serius, nyonya Lee."

"Tapi tetap saja tidak perlu seperti ini."

"Kau seharusnya senang karena aku menyiapkan kejut-"

Donghwa sudah lebih dulu menarik telinga sang adik dan menarik serta membawanya menjauh dari Jin Ra sebelum mereka melanjutkan pertengkaran konyol mereka.

"Untuk hari ini saja. Bisa tidak bertengkar untuk hari ini, sayang?"

"Maaf, eomma. Maaf, eommonim."

Kedua ibunya itu hanya tersenyum simpul dan menggeleng singkat.

Jin Ra lalu merasakan dirinya ditarik oleh seseorang yang membawanya ke dapur.

"Park Jin Ra!!!"

Seseorang yang sudah memeluknya dengan sangat erat.

"Astaga. Kau ingin membunuhku, Park Young Me? Erat sekali."

Memaksanya sedikit menggunakan kekuatan agar pelukan sang sahabat terlepas.

"Maaf. Aku terlalu gembira."

"Kau juga ikut menyembunyikan semua ini dariku?"

"Hanya mengikuti perintah."

Jin Ra mendengus singkat lalu memperhatikan kembali sang sahabat; menyadari sesuatu.

"Tapi kau bagaimana bisa ada disini?"

"Aku sahabatmu. Tentu saja aku akan ada disini."

"Bukan begitu. Memangnya Donghae mengundangmu? Dia kan sepertinya masih tidak suka denganmu."

"Tentu saja bukan dia. Tapi bibi yang mengundangku."

"Maaf, dia sebenarnya bukan orang pendendam."

"Tidak apa. Dia kan marah karena memang aku melakukan kesalahan padamu."

"Maaf, eoh?"

Jin Ra mendekat dan memeluk Young Me; menepuk-nepuk punggungnya singkat.

"Lalu bagaimana hubunganmu dan Kibum?"

"Baik. Kami mulai membicarakan pertunangan sebenarnya."

"Benarkah? Bagus jika begitu."

Jin Ra hendak kembali bertanya sebelum suara seseorang yang berdehem terdengar dari arah pintu dapur. Membuat Young Me menoleh dan mendapati Donghae yang masuk dengan raut tidak bersahabat.

"Aku akan menceritakannya nanti."

Gadis itu lalu hanya menyentuh tangan sang sahabat dan berlalu pergi dari sana.

"Kau membuatnya takut."

Jin Ra mendekat ke meja makan dan menuang air ke dalam gelas.

"Apa aku mendengar ada nama 'Kibum' yang disebut tadi?"

"Ya, benar. Lalu kenapa?"

"Aku tidak suka namanya disebut di acara seperti ini."

"Aku hanya bertanya bagaimana hubungannya dan Kibum. Apa aku salah menanyakan tentang itu?"

Gadis itu berniat minum sebelum Donghae lebih dulu merebut gelas itu dari tangannya.

"Kita baru menikah kurang dari dua jam yang lalu, haruskah kita sudah bertengkar sekarang?"

"Bukankah kita sudah bertengkar sedari tadi?"

Dia menyadari ekspresi Donghae yang datar.

"Kau marah?"

Pria itu meletakkan gelas di tangannya ke atas meja, dengan kasar.

Lalu berniat menjauh dari sang istri.

"Tunggu dulu. Kau benar-benar marah?"

Sebelum gadis itu menahan tangannya.

"Kau ingin aku memarahimu disini? Sekarang?"

"Jadi kau benar-benar marah?"

"Entahlah!"

Donghae melepas kaitan Jin Ra di lengannya dan berniat melanjutkan langkah sebelum kembali terhenti saat melihat seseorang yang berdiri mematung di ambang pintu.

"Eommonim."

~

"Jadi... kalian baru menikah hari ini?"

"Ya, eommonim."

"Lalu selama ini kalian tinggal bersama?"

"Itu... pernikahan kontrak..."

"Kontrak? Astaga."

Donghae memperhatikan sang ibu mertua yang bersandar di sofa besar di hadapannya.

Wanita itu memutuskan untuk bertanya dulu sebelum memutuskan akan memberitahu hal ini pada yang lainnya atau tidak.

"Jadi selama ini kau tinggal dengan pria yang tidak memiliki hubungan resmi denganmu? Apa eomma mengajarimu menjadi wanita yang tidak tahu aturan seperti itu?"

Jin Ra yang sedari tadi sudah menunduk karena tangisannya, menggeleng dan tidak berani menatap wajah sang ibu.

Membuat sang suami mengeratkan genggamamnya; menenangkan.

"Maaf, eommonim. Kami hanya tinggal bersama selama tiga bulan dan tidak ada yang terjadi di antara kami. Selama tiga bulan pertama dia masih tinggal di apartemennya, begitu juga beberapa bulan belakangan."

"Tetap saja, Lee Donghae. Kau sadar apa yang sudah kau lakukan pada putriku? Kau memanfaatkannya."

"Eomma..."

"Sudah. Terserah apa yang ingin kalian lakukan. Yang pasti aku kecewa dengan semua ini."

Ibu Jin Ra perlahan bangkit dari tempat duduknya, menarik nafas sebentar lalu berjalan keluar dari kamar yang mereka gunakan untuk bicara ini.

"Sudahlah. Berhenti menangis. Kau tahu eomma tidak benar-benar marah padamu. Dia hanya marah padaku."

Donghae memeluk Jin Ra dan mengusap kepala gadis yang semakin nyaring dengan suara tangisannya itu.

"Kita masih harus turun ke bawah dan menemui yang lain. Berhenti menangis, Lee Jin Ra."

~

"Kau tidak ingin mengelilingi rumah ini? Kita akan tinggal disini mulai hari ini."

Donghae mendekat dan memeluk Jin Ra yang berdiri membelakanginya di balkon.

"Nanti."

"Kenapa? Kau masih memikirkan eommonim?"

"Dia tidak pernah marah hingga tidak menegurku sekalipun seperti tadi."

"Sudah ku katakan dia tidak marah padamu. Kalaupun memang dia marah, itu tidak akan lama."

"Kau yakin?"

"Sebenarnya dia ibu siapa? Ibumu atau ibuku?"

"Lee Donghae..."

"Tidak bisakah kau memanggilku dengan sebutan 'oppa'? Aku suamimu sekarang."

"Jangan membuatku tertawa di saat seperti ini."

"Aku hanya berusaha menghibur, sayang."

Dia mengeratkan pelukan dan meletakkan dagunya ke pundak Jin Ra.

"Tidak berhasil."

"Lalu kau ingin apa sekarang?"

"Mendapatkan cara agar eomma tidak lagi marah."

"Ada. Hanya satu cara."

"Ada? Apa?"

"Memberikannya sesuatu."

Jin Ra yang kelewat excited, memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan sang suami.

"Memberikan apa? Hadiah?"

"Ya. Hadiah yang tidak akan bisa dia dapatkan dari orang lain selain dari kita."

Donghae memainkan jemarinya di wajah Jin Ra yang semakin lama semakin tersenyum lebar.

"Memangnya hadiah berupa apa?"

"Menurutmu hadiah apa yang bisa kita berikan?"

"Tidak tahu. Eomma tidak suka mengoleksi barang apapun jadi aku tidak tahu apa yang harus kita berikan."

"Ada satu hadiah yang tidak akan dia tolak dan pasti menjadi hadiah paling mengesankan yang pernah dia terima."

"Yaitu?"

"Kau tidak tahu?"

"Aish! Beritahu saja aku!"

Menyadari jika pria di depannya itu mulai berbelit-belit, Jin Ra menarik kedua pipi sang suami dan membuatnya mengangguk kalah.

Tapi pria itu justru kembali tersenyum dan mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggang Jin Ra.

"Kita bisa memberikannya..."

Dan perlahan mendekatkan wajah ke samping agar bisa membisikkan sesuatu ke telinga sang istri.

"Cih. Kau ingin mengerjaiku?"

Yang justru refleks memukul dadanya setelah mendengar apa yang ia bisikkan.

"Mengerjai apanya? Itu adalah ide paling cemerlang yang kita butuhkan sekarang."

"Ah, terserahlah."

Jin Ra mencoba melepas kaitan Donghae di tubuhnya dan berjalan masuk ke kamar.

"'Terserahlah'? Apa itu artinya kau setuju?"

"Kita bisa menggunakan ide lain. Tidak perlu ide mesum seperti itu."

"Mesum bagaimana?"

Donghae menarik tangan Jin Ra agar gadis itu ikut duduk di atas tempat tidur.

"Kita sudah menikah, sungguhan. Tidak ada yang bisa kau sebut mesum sekarang. Bukankah itu wajar dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah?"

"Lee Donghae! Aku sedang benar-benar pusing sekarang. Jangan semakin menggangguku."

Gadis itu sengaja memberi beberapa pukulan ringan di tubuh Donghae yang tertawa agar pria itu tidak menyadari ekspresi wajahnya yang memerah sekarang.

Sialan.

~

"Makan malam?"

Donghae memandang sang istri yang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya.

"Nanti."

"Kenapa nanti? Tidak lebih dari 30 detik untuk berjalan ke ruang makan dan tidak lebih dari 10 menit untuk makan. Kenapa harus nanti?"

"Perkerjaan sedang menumpuk, sayang."

"Itu alasan yang selalu kau gunakan sejak minggu lalu."

Jin Ra berjalan masuk dan berdiri di samping meja kerja, membuat sang suami sedikit gelabakan dan meraih satu berkas dan meletakkannya ke atas keyboard laptop; untuk menutupi berkas lain.

"Lagipula kau kan beberapa hari ini selalu makan malam sendiri. Jadi tidak apa kan jika malam ini juga begitu?"

"Justru itu, aku sudah terlalu sering makan malam sendiri. Jadi malam ini aku tidak ingin begitu lagi, dan kau kan juga sedang ada di rumah, kan?"

Gadis itu bicara dengan tangan serta pandangan mengarah ke tumpukan berkas, sedikit membuka-bukanya.

"Kau akan menyesal jika berani menyentuh berkas-berkas itu lagi, Lee Jin Ra."

"Memangnya kenapa?"

Dia sekarang menatap Donghae yang sudah berdiri dan merangkul pundaknya.

"Ada berkas yang tidak boleh aku lihat?"

"Ya. Berkas pernikahanku yang kedua."

"Aish."

~

"Benar yang orang katakan, pernikahan dapat merubah kehidupan seseorang."

"Kenapa? Aku tampak berbeda?"

"Ya, sangat."

"Tampak lebih tampan?"

"Tampak lebih aneh."

"Sialan."

Donghae membolak-balik berkas di hadapannya sekaligus membubuhkan tanda tangan.

"Lagipula kenapa kau masih ada disini? Rapatnya sudah selesai."

"Benar juga."

Hyukjae mengedarkan pandangan; memeriksa ruang rapat yang sudah sepi dan hanya tersisa mereka saja sekarang.

"Lalu kau sendiri? Kenapa masih ada disini?"

"Ini perusahaanku, Lee Hyukjae. Aku bebas melakukan apa saja atau berada dimana saja."

"Jawaban yang bukan jawaban."

Hyukjae berdiri dan mengaitkan kancing kemejanya sebelum kembali duduk saat menyadari ada satu berkas yang terpisah dari tumpukan berkas lainnya.

"Itu berkas apa?"

"Sesuatu."

Sang sahabat bahkan semakin tidak berniat menatapnya saat bicara sekarang.

"Apa yang kau rencanakan dengan berkas itu?"

"Apa saja yang bisa direncanakan."

"Cih. Jawaban macam apa itu?"

"Jawaban yang sesuai gayaku. Pergilah saja, kau mengganggu."

"Sialan."

Dia berlagak hendak memukul kepala Donghae agar pria itu sadar dari ketidakwarasannya. Yang justru membuat sang sahabat terkekeh dengan masih sibuk mendatangani berkas-berkasnya.

"Aku pergi."

"Hmm."

~

"Malam ini ikut denganku."

"Kemana?"

"Acara peresmian cabang perusahaan."

"Jika aku tidak mau?"

"Tidak apa. Aku akan mengajak Chaebi jika begitu."

Jin Ra melempar kaos Donghae yang sedang ia lipat ke kepala pria itu.

Yang sekarang menghentikan langkah dan menatapnya.

"Kau tidak ingin menemaniku tapi juga melarangku untuk pergi bersama Chaebi."

Donghae memungut kaos miliknya lalu ikut duduk disamping sang istri yang duduk di lantai dan bersandar pada salah satu lemari besar di walking closet itu.

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Entah."

"Selalu jawaban yang ambigu."

"Pergi saja. Terserah bersama siapa. Lagipula aku senang jika tidak harus menemanimu, aku bisa tidur lebih awal."

"Benarkah? Aku akan pulang terlambat atau mungkin tidak akan pulang karena bermalam di kantor. Tidak apa?"

Pria itu bergerak dan meletakkan kepalanya di pangkuan Jin Ra, menghambat kegiatan melipat pakaian yang gadis itu lakukan.

"Terserah."

"Baiklah, aku tidak akan pergi. Biarkan saja mereka menungguku, lagipula itu juga bukan acaraku."

Dia melipat tangan dan memejamkan mata. Sengaja membuat Jin Ra semakin kesal.

"Baiklah baiklah. Cepat bangun. Aku akan menyiapkan pakaianmu."

Menyerah.

"Benarkah? Kau bersedia ikut?"

Pria itu dengan cepat bangkit dan menghadap wajahnya. Dengan ekspresi ceria.

Sebegitu senangnya kah dia hanya karena sang istri bersedia untuk ikut?

"Kau akan sangat menyebalkan jika sedang merajuk."

"Kau memang istri terbaik, sayang."

"Memangnya siapa lagi istrimu selain aku?"

"Yang memang hanya kau. Tapi aku mengatakan itu kan karena aku senang karena kau akan ikut."

"Ya, baiklah. Sekarang menjauhlah agar aku bisa segera menyelesaikan pekerjaanku."

"Melipat pakaian memang lebih menarik daripada bermain dengan suamimu sendiri, kan?"

"Memang. Lagipula apa yang kau maksud dengan 'bermain'?"

Jin Ra mendorong dada Donghae karena tubuh pria itu terlalu dekat dengannya.

"Ya bermain apa saja yang bisa kita mainkan."

Membuat sang suami akhirnya kembali ikut bersandar di lemari di sampingnya.

"Bagaimana jika aku bermain dengan melipat pakaian sedangkan kau bermain dengan merapikan tempat tidur dan mencuci pakaian kotor yang ada di keranjang di sudut kamar kita itu?"

"Itu tidak menyenangkan."

"Jika menyenangkan aku tidak akan mengeluh saat setiap hari harus melakukannya."

Jin Ra mengibaskan kaos terakhir yang harus ia lipat.

"Baiklah. Aku akan membantu nanti. Tapi untuk sekarang kita melakukan hal lain yang lebih bermanfaat saja."

"Misalnya?"

"Misalnya..."

Jin Ra beringsut menjauh saat Donghae mendekatkan wajah ke arahnya.

"Apa?"

Pria itu menggeleng dan hanya tersenyum. Sebelum kemudian mengecup singkat bibirnya.

Lalu kembali menempelkan bibir saat tidak mendapat respon penolakan dari Jin Ra.

Gadis itu yang tadi menggenggam erat kaos Donghae yang hendak ia lipat sekarang beralih ke kaos yang sedang suaminya itu gunakan.

Terlebih saat Donghae yang sudah meletakkan tangan kanan ke tengkuk Jin Ra dan tangan kiri ke punggung gadis itu, perlahan menarik tubuh sang istri agar semakin menempel padanya.

Hingga Donghae merebahkan tubuh akhirnya dengan posisi Jin Ra ada di atasnya.

Antara bersyukur karena gadis itu belum memberikan tanda-tanda penolakkan dengan melepas kaitan mereka atau bahkan memukulnya dan menyesal karena mengingat mereka sekarang ada di lantai di walking closet; bukan di tempat yang lebih baik.

Pergerakan Donghae yang semakin agresif membuat Jin Ra kewalahan mengikutinya. Suaminya itu bahkan sudah mulai sedikit menyingkap pakaiannya.

Dan saat dia berniat membalik posisi agar Jin Ra ada di bawahnya, gadis itu justru tiba-tiba melepas kaitan mereka dan mendorong tubuhnya ke belakang. Dia bergegas berdiri lalu berlari keluar dari walking closet.

Meninggalkan sang suami yang masih sedikit terkejut terlebih karena kepalanya sempat membentur pinggiran lemari karena dorongan sang istri.

"Sedikit lagi."

Pria itu dengan posisi yang masih terbaring di lantai meraih kaos yang sudah dilipat Jin Ra dan menggunakan benda itu untuk menutupi wajahnya.

"Sialan."

Sementara Jin Ra yang terengah menekan dadanya pelan, merasa pasokan oksigen berkurang di tubuhnya. Dia menarik kursi di meja makan dan duduk.

Menatap panci berisi sup yang masih bertengger di atas kompor.

Bagaimana bisa dia lupa jika sedang menyalakan kompor untuk memanaskan sup? Jika dia lupa mematikan kompor bagaimana nasib panci serta dapurnya nanti?

Semua karena Donghae.

Bicara tentang Donghae... pria itu?

"Aish. Tidak bisakah kompor ini mematikan sendiri apinya?"

Dia yakin mereka akan jadi sedikit canggung setelah ini.

Gagal dan ditambah fakta jika mereka hampir melakukannya di walking closet semakin membuat Jin Ra menekan telapak tangan ke wajahnya.

"Benar-benar sialan."

~

Sekali lagi, Jin Ra memperhatikan pantulan tubuhnya di cermin.

Lalu melihat heels serta tas tangan yang tergeletak di atas tempat tidur.

Apakah gaunnya pas dengan tubuhnya? Apakah heels serta tas tangan yang ia pilih serasi dengan gaun ini? Apa riasannya kurang atau terlalu tebal? Rambutnya harus ia ikat atau digerai saja?

"Astaga! Aku seperti remaja yang hendak melakukan kencan pertama saja."

Setidaknya ini pertama kalinya dia datang ke sebuah acara dengan status sebagai istri (sungguhan) bukan sekretaris dari Donghae lagi.

Terlepas apakah orang-orang tetap menganggapnya sebagai sekretaris atau tidak, itu tidak masalah.

"Sudah siap?"

Donghae yang tiba-tiba masuk membuat Jin Ra menghentikan kegiatan memeriksa penampilannya.

Lalu menatap sang suami yang berjalan mendekatinya. Memuji diri sendiri karena pakaian yang ia pilih tadi tampak melekat sempurna di tubuh pria itu.

Pilihan yang tepat.

"Sudah."

Dia memandang Donghae yang berdiri di sampingnya dan merengkuh pinggangnya itu.

"Tapi, apa warna bibirmu tidak terlalu pudar?"

Tanyanya kemudian. Membuat Jin Ra kembali melihat ke arah cermin dan menatap bibirnya.

Cukup merah. Pas dan tidak kurang.

"Apa warnanya kurang merah?"

"Hmm. Menurutku."

Donghae lalu mendekatkan wajah dan meraih bibir Jin Ra. Mengecup beberapa kali lalu menautkannya dengan tangan menahan tengkuk gadis itu agar dia tidak menarik wajahnya menjauh.

Dia terus bergerak menikmati bibir sang istri yang sudah mulai berusaha untuk mendorong tubuhnya.

Setelah puas, Donghae menarik wajahnya sedikit menjauh. Menatap mata sang istri lalu menunjuk ke arah cermin, meminta gadis itu melihat kesana.

"Lihat, kan? Warna bibirmu kurang merah."

Menciptakan ekspresi datar di wajah Jin Ra.

Tentu saja warna bibirnya sekarang berkurang. Itu karena perbuatan pria itu tadi.

Sekarang sebenarnya siapa yang bodoh disini?

"Ingin aku membuat warnanya semakin hilang?"

"Ingin aku menarik kata-kataku untuk pergi denganmu malam ini?"

"Hehe, tidak. Maaf."

"Kalau begitu keluar saja duluan. Aku akan menyusul."

"Hmm."

~

"Selamat, Donghae-ah."

"Ya, terima kasih hyung."

"Ini kelima kalinya kau mendapat ucapan itu. Memangnya ada apa?"

Jin Ra berbisik setelah salah satu rekan kerja suaminya berlalu meninggalkan mereka.

"Tidak ada. Hanya ucapan atas proyek besar yang berhasil aku dapatkan."

Jawaban singkat yang dibalas anggukan oleh sang istri. Gadis itu lalu kembali melanjutkan kegiatannya; mencari papan nama acara atau ucapan yang sekiranya mencantumkan nama perusahaan yang sedang melaksanakan acara malam ini.

Sayangnya, tetap tidak ia temukan.

Donghae lalu menggiring sang istri menuju meja minuman yang berada di sudut ruangan.

"Aku tidak menyangka akan banyak yang datang malam ini."

"Memangnya ini peresmian cabang perusahaan apa? Kau sedari tadi tidak ingin memberitahuku."

Suaminya itu hanya menggeleng dan menyodorkan segelas minuman untuknya.

"Kau akan tahu nanti. Bersabarlah."

Pria itu lalu meneguk minuman di tangannya.

"Aku ingin menemui teman-temanku dulu. Kau tunggu disini."

Dia membenarkan posisi jasnya yang menutupi pundak Jin Ra lalu beranjak pergi kemudian.

Meninggalkan sang istri yang tersenyum singkat.

Gadis itu mengingat saat dulu sering pergi ke acara resmi seperti ini. Saat Donghae meninggalkannya pasti akan ada Siwon yang datang tidak lama setelahnya. Pria itu akan menemaninya mengobrol hingga Donghae kembali.

"Tapi tidak kali ini."

Tentu. Pria itu sedang di mutasi ke luar negeri selama 1 tahun.

"Lama tidak berjumpa, Jin Ra-ssi."

Suara yang berhasil memudarkan senyuman di sudut bibir Jin Ra.

Tanpa melihat ke samping pun dia tahu siapa yang menyapanya barusan.

"Ya. Lama tidak berjumpa."

Siwon yang ia harapkan. Bukan orang ini.

"Aku tidak mengira bisa melihatmu lagi. Kau datang bersama Donghae oppa?"

"Ya."

Dengan pandangan mengarah lurus ke depan, Jin Ra berusaha mensugesti dirinya jika di sampingnya tidak ada siapa-siapa. Hanya khayalannya saja.

"Hubungan kalian 'baik'?"

Sayangnya dia nyata.

"Baik. Sangat baik bahkan."

Chaebi hendak kembali bersuara sebelum suara seseorang di panggung yang ada di tengah hall menggema ke penjuru ruangan.

"Terima kasih atas kehadiran kalian semua malam ini. Dan untuk memulai peresmian saya persilahkan tuan presdir untuk memberikan sambutan dan melakukan peresmian."

Semua orang bergerak mendekat ke arah panggung. Jin Ra pun mengikuti Chaebi yang turun dari kursi tingginya dan berdiri bersandar ke meja bar.

Dia lalu mengedarkan pandangan mencari dimana suaminya berada.

Donghae yang terlihat baru saja selesai berbincang dengan beberapa orang itu berdiri di sudut sisi kanan panggung.

Pria itu tersenyum pada teman berbincangnya lalu mulai berjalan menjauh.

Jin Ra awalnya tersenyum karena mengira suaminya itu berjalan ke arahnya, sayangnya pria yang sempat melempar senyum untuknya itu berubah haluan dan berjalan ke arah panggung.

Lebih tepatnya, naik ke atas panggung lalu menggantikan pria yang membuka acara tadi dan berdiri di depan standing mic.

"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk semua undangan yang sudah hadir malam ini."

Jadi, ini peresmian cabang perusahaannya?

Pintar sekali dia menutupi. Pantas tidak ada papan nama atau karangan bunga yang terlihat.

"Seperti yang mungkin sudah kalian dengar, cabang perusahaan ini dipersiapkan untuk orang yang spesial. Dan juga mungkin dari informasi yang kalian dengar, seseorang yang akan menjalankan cabang perusahaan ini adalah seorang wanita."

Pria itu mengubah arah tubuhnya ke sudut dimana meja bar berada.

"Seorang wanita yang sedang ada di ujung sana."

Dia menunjuk dan membuat semua orang spontan mengalihkan pandangan ke arah meja bar.

Mereka sempat berpandangan satu sama lain karena mendapati ada dua wanita disana; Chaebi dan Jin Ra.

Yang mana?

"Wanita spesial yang bersamaku selama beberapa bulan belakangan. Seseorang yang selalu mendukung dan membantuku untuk urusan pekerjaan."

Ucap Donghae sebelum pria itu berjalan menuruni panggung dan mengambil langkah mengarah ke sumber tatapan semua orang.

Jin Ra yang merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan orang menundukkan wajah. Berbanding terbalik dengan Chaebi yang justru semakin menunjukkan senyuman manisnya, terlebih saat mendengar suara-suara bisikan tamu lain yang menyebut-nyebut namanya.

Tidak ada yang tidak tahu tentang kedekatan Donghae dan Chaebi. Karena itu mereka jelas sebagian besar berpendapat jika wanita yang Donghae maksud adalah Chaebi.

Senyuman gadis itu semakin lebar saat Donghae menghentikan langkah di depannya.

Pria itu sedikit tersenyum dan menggumamkan kata 'maaf' yang dibalas anggukan oleh Chaebi. Mungkin 'maaf' atas sikapnya tempo hari di ruang kerjanya.

Jin Ra yang menunduk hanya berani menatap sepatu sang suami yang berhenti tepat di depan heels Chaebi.

"Terima kasih sudah menghadiri undanganku."

Dia bisa mendengar Donghae mengatakan kalimat itu. Kaki pria itu kemudian kembali mengambil langkah dan sekarang berhenti tepat di depannya.

Tidak ada kata yang terdengar. Hanya tangan kanannya terulur ke depan tubuh Jin Ra; tepat di depan arah pandangan gadis itu.

"Tetap ingin menunduk? Semua orang menunggumu."

Ucapnya kemudian yang tanpa pikir panjang langsung meraih tangan sang istri dan membawanya berjalan ke arah panggung.

Menyisakan tatapan terkejut serta tidak percaya dari beberapa orang. Serta tatapan terkejut bercampur amarah dari seseorang yang masih berdiri di samping meja bar.

Donghae merangkul pundak Jin Ra agar gadis itu tidak lagi menunduk dan mau menatap ke depan; menatap semua orang yang melihat ke arah mereka.

"Sebagian besar dari kalian pasti mengenalnya. Karena wanita cantik ini selalu menemaniku saat rapat atau bertemu dengan beberapa rekan kerja. Namanya Park Jin Ra. Mantan sekretarisku yang sekarang berubah profesi menjadi istriku. Atau kalian bisa memanggilnya dengan nama Lee Jin Ra mulai saat ini."

~

"Kau tidak suka? Kenapa diam saja?"

"Kau pura-pura tidak tahu atau apa?"

"Maksudmu? Kau tidak suka dengan kejutan ini? Kau marah padaku?"

"Lee Jin Ra..."

"Aku benar-benar tidak tahu dimana letak kesalahanku."

Donghae sibuk menggenggam tangan Jin Ra dan meminta gadis itu menatapnya.

"Kenapa tidak memberitahuku dulu? Kau tidak lihat tatapan semua orang? Mereka tidak mengenalku dan tiba-tiba melihatku disini sebagai pemegang cabang perusahaan milikmu. Kau pikir mereka tidak akan mengatakan hal yang macam-macam tentangku?"

"Perkataan atau pendapat mereka tidak akan mempengaruhi hubungan kita atau apapun. Kenapa kau harus peduli dengan itu?"

"Lee Donghae. Jangan bersikap seakan semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya akan ada masalah yang muncul setelah hari ini. Kau sadar itu."

"Aku sadar dan aku tidak peduli dengan itu. Ini perusahaanku. Aku membuka cabang atau membangkrutkan perusahaan ini, itu hak ku. Untuk apa mereka ikut campur?"

Jin Ra menghembuskan nafas dan menatap Donghae, jawaban pria itu sama sekali tidak menenangkannya.

"Ayolah. Cepat atau lambat mereka akan tahu tentangmu. Dan yang namanya sebuah perusahaan pasti akan mendapat masalah, tidak peduli karena apa dan kapan waktunya."

"Kau tidak bisa setenang ini."

"Aku berusaha untuk tenang agar kau juga ikut tenang."

Gadis itu berniat kembali merespon sebelum ia melihat seseorang yang berjalan mendekati meja mereka.

"Kalian masih disini?"

Membuat suaminya mendongak melihat orang yang sesekali menatap ponselnya itu.

"Tidakkah aku yang harus bertanya seperti itu, Lee Hyukjae? Semua tamu sudah pulang, kenapa kau masih ada disini?"

"Aku tadi sedang berbincang dengan seseorang di luar gedung ini dan aku kembali karena mengambil ponselku yang tertinggal di meja."

Hyukjae menarik kursi dan duduk lalu menatap Jin Ra.

"Kau tampak tidak suka dengan kejutan ini. Benarkah?"

Yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman masam.

"Itu karena suamimu merahasiakan hal ini dariku. Jika aku membantu pasti akan menjadi kejutan yang tidak akan mengecewakanmu."

Donghae yang hanya menampilkan wajah datar, melepas jasnya dan meletakkannya ke pangkuan Jin Ra.

"Aku ingin ke toilet. Kalian bicarakan saja aku sesuka hati kalian."

Ucapnya lalu beranjak menjauh.

"Dia menyiapkan semuanya sendiri. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa dan tidak memberikan bantuan apapun."

Ucap Hyukjae setelah melihat Donghae menghilang dari pandangannya.

"Tapi kejutan ini berlebihan menurutku, oppa."

"Menurutku kau seharusnya jangan melihat dari segi cabang perusaahan yang ia buka untukmu. Tapi keputusannya yang mengenalkanmu kepada semua orang malam ini. Aku tahu jika dia sudah ingin melakukannya dari lama."

Hyukjae memperhatikan Jin Ra yang memainkan ujung jas Donghae.

"Kau sudah lama bekerja dengannya. Kau pasti tahu bagaimana sikap suamimu itu. Ketika dia menganggap keputusannya adalah hal yang tepat, dia tidak akan memerlukan dan peduli dengan pendapat orang lain. Dia akan tetap melakukannya."

"Aku tahu. Aku hanya takut ada masalah karena semua ini."

"Dia bisa mengatasinya. Yang dia perlukan hanya kehadiran dan dukunganmu. Itu sudah cukup."

Hyukjae berdiri dan menyampirkan jas ke pundaknya.

"Aku pergi dulu. Katakan pada Donghae jika aku sedang ada janji."

"Hmm. Dan terima kasih sudah datang kemari."

Dia mengangguk dan menepuk singkat puncak kepala Jin Ra.

~

Donghae memasukkan ponsel ke saku kemeja setelah menerima panggilan dari salah satu rekan kerjanya.

"Dia kelelahan karena marah atau karena waktu tidurnya terganggu?"

Dia melihat istrinya yang duduk sendirian dengan kepala beberapa kali terantuk kecil; dia tertidur.

Donghae melihat ke sekeliling mencari keberadaan sahabatnya. Tapi hanya tersisa beberapa pelayan yang sedang merapikan meja dan ruangan saja.

Dia lalu menghampiri Jin Ra, merangkul dan membantu gadis itu untuk berdiri.

"Kau bisa melanjutkan marahmu di rumah."

Ucapnya singkat saat gadis itu membuka mata dan menatapnya.

Dia diam tanpa merespon dan hanya menurut saat Donghae memintanya naik ke atas mobil yang sudah terparkir di depan gedung.

Mobil yang kemudian mulai berjalan meninggalkan area gedung acara.

Donghae sengaja mengendarai mobilnya dengan kecepatan pelan agar Jin Ra bisa melanjutkan kegiatan istirahatnya di dalam mobil.

Walau jadi harus menghabiskan waktu lebih lama hingga mobilnya masuk ke pekarangan rumah mereka.

Dia lalu turun, membukakan pintu untuk Jin Ra dan mengangkat tubuh gadis itu yang tertidur.

Dia berjalan dengan hati-hati, dari mulai menaiki teras rumah hingga menaiki tangga menuju kamar mereka yang berada di lantai atas.

Tidak berniat membangunkan Jin Ra dengan meletakkan tubuh gadis itu perlahan ke atas tempat tidur, Jin Ra justru membuka mata saat Donghae mengusap singkat pipinya.

"Maaf. Tidurlah lagi. Kau tidak ingin melanjutkan kegiatanmu yang marah padaku, kan?"

Ucapnya seraya duduk di pinggiran ranjang.

"Ada berkas penting yang tertinggal di kantor. Boleh aku mengambilnya?"

"Sudah larut malam. Tidak bisa besok saja?"

Suara gadis itu sedikit lirih karena kantuk yang masih menguasainya.

"Sebenarnya aku harus menyelesaikannya malam ini."

"Kalau begitu minta supirmu saja untuk mengambilnya."

Jin Ra memandang Donghae yang balas menatapnya. Pria itu lalu tersenyum simpul kemudian.

"Kau tidak ingin aku tinggal atau apa? Hanya mengambil berkas kan tidak akan memakan waktu yang lama."

Menyadari tingkahnya barusan, Jin Ra menarik selimut lebih tinggi agar menutupi wajahnya.

"Baiklah, pergi saja. Tidak kembali kemari juga tidak apa."

"Ey, lihatlah. Aku menggoda sedikit saja kau sudah marah."

"Pergilah. Bukankah berkasnya harus selesai malam ini?"

"Tidak. Aku ingin disini saja."

Donghae sengaja semakin menggoda Jin Ra dengan mencoba membuka selimut yang ia gunakan.

"Pergi saja. Aku ingin sendiri."

"Tapi aku ingin menuruti keinginanmu untuk mengambil berkasnya besok saja."

"Lee Donghae..."

"Lee Jin Ra..."

Mendapati sang istri tertawa sebagai respon, Donghae sekali lagi menarik selimut dan berhasil membukanya.

"Berhenti tertawa. Kau tadi memasang ekspresi kesal padaku dan sekarang kau sudah bisa sesenang ini?"

Dan gadis itu hanya mengangguk dalam diam.

"Baguslah."

Jin Ra bangkit dan menyandarkan tubuh ke pinggiran ranjang saat mendapati ekspresi serius Donghae.

"Aku benar-benar meminta maaf jika kau tidak suka atau kecewa dengan kejutan yang aku berikan."

"Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu tampak buruk di mata semua orang. Mungkin aku terlalu fokus dengan masalahku sendiri yang bosan mendengar semua orang mengatakan jika hanya ada satu wanita yang berhubungan denganku, yaitu Chaebi. Aku ingin mereka mengenalmu, menghormatimu dan berhenti mengaitkanku dengan gadis lain."

"Karena itu aku menyiapkan semua ini."

Donghae mengusap pelan puncak kepala Jin Ra, membuat gadis itu kembali mengangguk.

"Aku tahu. Seharusnya aku tidak memberikan respon yang buruk. Kau pasti sudah bekerja keras untuk mempersiapkan semuanya."

"Itu tidak sebanding dengan apa yang sudah kau berikan. Aku kadang merasa aku melukaimu dengan semua yang terjadi. Memintamu menikah kontrak, memutuskannya dengan sepihak lalu seenaknya mendekatimu kembali bahkan menculikmu untuk melakukan pernikahan di gereja."

Donghae menarik selimut untuk menutupi kedua kaki Jin Ra yang gadis itu tekuk.

"Aku melakukan semuanya tanpa memikirkan pendapat atau perasaanmu lebih dulu."

"Dan yang lebih parahnya, aku sempat tidak bisa menentukan apa yang aku rasakan. cinta kah atau obsesi?"

Ceroboh. terlalu jujur.

Donghae menyadarai kebodohannya karena mengatakan kalimat terakhir tadi. Dia meraih tangan sang istri dan menggenggamnya.

Memastikan agar gadis itu terus menatapnya.

"Yang aku tahu aku hanya harus mempertahankanmu agar selalu bersamaku. Tidak mengulang kesalahan yang sama dengan melepasmu."

"Dan aku ingin kau membantuku untuk meyakinkan apa sebenarnya yang kita jalani ini. Bagaimana perasaanku dan bagaimana perasaanmu."

Hanya harus mengatakan satu kalimat itu. Harus memerlukan bukti sebanyak apa lagi?

Katakan saja.

"Aku rasa... aku mencintaimu."

Dan aku harap kau merasakan yang sama.

Jin Ra sempat menunduk dan menarik nafas dalam, sedikit kehilangan fokus karena tatapan Donghae yang menghujaninya.

Dia juga tanpa sadar meremas tangan pria itu.

"Aku tidak tahu. Tapi aku merasa nyaman denganmu, merasa bangga saat kau memperkenalkanku sebagai istrimu dan ingin terus mendengarmu mengatakan itu. Juga merasa tidak nyaman jika kita terpisah."

"Aku berharap jika yang aku rasakan ini bisa kau sebut sebagai 'cinta'."

Untuk kalimat terakhir ini, Jin Ra terlalu malu melanjutkan kegiatannya membalas tatapan Donghae.

Dia hanya bisa menyelesaikannya dengan kepala tertunduk, tidak ingin sang suami melihat rona merah di wajahnya.

"Jadi... kau merasakan hal yang sama?"

Jin Ra bisa mengetahui jika Donghae bertanya dengan ekspresi senyum di wajah. Yang hanya dia balas dengan anggukaan (lagi).

Dia merasakan Donghae mencium puncak kepalanya selagi ia tertunduk. Pria itu lalu mengangkat wajahnya agar sejajar.

"Apakah itu cinta atu bukan, aku yang akan memastikannya."

Tatapan Jin Ra yang mengarah ke bibir Donghae membuatnya memejamkan mata saat pria di depannya itu bergerak maju dan meraih bibirnya.

Kecupan-kecupan ringan yang menciptakan senyuman di bibirnya. Juga senyuman lain karena mendapati Donghae yang terlalu agresif hingga kesulitan menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan menjadi penghalang di antara mereka.

Sekarang tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Terlepas dari bagaimana buruknya semua ini berawal, yang terpenting bagian akhirnya tidak meleset dari harapan yang mereka punya.

Dan bukti nyata jika semua hanya harus dikatakan dan berai diungkapkan.

Kalaupun jawaban yang didapat nanti tidak sesuai dengan yang diharapkan, setidaknya tidak ada penyesalan karena tidak mencoba.


~If they ask if I have a wish
I'll say it's only you
I'll stay with you forever
like a sunflower~ (This Is Love of Super Junior)


FIN
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar