Senin, 05 Desember 2016

Just Say It #3

Author : Reni Retnowati (Park Hye Ri)
Cast : Lee Donghae, Park Jin Ra, etc.
Length : Chapters


Happy reading!

~

"Kau. Bukankah kau sedang... sakit? Aku tidak menyangka... bisa melihatmu disini."

Walau dengan susah payah dan terbata-bata, Jin Ra berusaha untuk tidak membiarkan buliran air yang hendak keluar dari matanya mengganggu caranya bicara.

Terlebih saat matanya kembali mengarah ke kedua tangan yang saling berkaitan itu. Yang mungkin sang pemiliknya masih terlalu enggan untuk membalas perkataannya.

Dan entah sadar atau tidak, kaki Jin Ra bergerak dan membuat tubuh gadis itu berbalik lalu berjalan menjauh.

Dengan cepat, berusaha untuk menjauh sejauh mungkin dari kedua orang yang dia anggap sebagai orang-orang spesial di hidupnya.

Dia bahkan mungkin juga tidak bisa menangkap siluet pria yang baru saja masuk ke pintu hotel dan terdiam di tempat saat melihatnya.

Yang langsung menghadangnya saat ia mendekat.

"Hey. Ada apa? Kau menangis?"

Jin Ra yang akhirnya bisa melihat wajah pria itu dengan jelas, refleks bergerak maju dan masuk ke pelukannya.

"Kau kenapa? Kenapa menangis di tempat seperti ini?"

Walau masih belum mendapat jawaban, dia dengan sabar mengusap rambut Jin Ra yang semakin tersedu.

"Lee Jin Ra. Jawab pertanyaanku. Apa klien ku melakukan sesuatu padamu?"

Jin Ra tidak menggeleng ataupun mengangguk. Hanya pemandangan lain yang membuatnya mampu menebak apa yang membuat gadis itu seperti ini.

Dua orang pria dan wanita yang tampak tergesa mendekati posisi mereka, menatapnya dengan gusar.

"Kalian ada disini? Bukankah kau memiliki janji bersama Jin Ra, Kibum-ssi?"

Dan walaupun dia sudah benar-benar bisa menebak apa yang terjadi, dia masih memiliki waktu untuk bertanya.

Dan waktu untuk menyaksikan tangan Kibum yang menggenggam tangan wanita di sampingnya, sebelum kaitan itu lepas.

"Aku tidak tahu jika kau mengenal Kibum, Young. Kau pasti sangat mengenalnya."

"Maksudmu?"

"Kau pikir apa yang membuat Jin Ra menangis seperti ini setelah melihat kalian?"

Jin Ra tampak bergerak mendorong-dorong tubuh Donghae; meminta pria itu membawanya pergi dari sana.

"Atau aku yang perlu memberitahumu? Memberitahumu jika pria yang baru saja menggenggam tanganmu tadi adalah kekasih dari sahabatmu sendiri?"

Young Me dengan tatapan tidak percaya melihat Kibum yang terdiam di tempat, bahkan tidak membalas tatapannya.

"Dan haruskah aku melarangmu untuk tidak terus menatap istriku, Kibum-ssi?"

"Dia bahkan hanya istri kontrakmu. Apa kau memiliki hak yang berbeda denganku?"

"Tidak. Tapi setidaknya aku tidak mengkhianati dan tidak mempermainkan perasaanya."

Young Me yang semakin bingung dengan perdebatan Donghae dan Kibum mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Jin Ra, memanggil sahabatnya itu.

Yang justru direspon dengan tolakkan. Gadis itu lalu lepas dari pelukan Donghae dan berjalan menjauh, membuat Donghae mengikutinya keluar dari hotel.

Meninggalkan Young Me yang hanya bisa menatap sedih dan tampak tidak percaya dengan semua apa yang terjadi.

~

Dengan sabar dan tenang, Donghae terus mengusap pundak dan kepala Jin Ra. Sesekali mengusap air mata yang terus membasahi pipinya.

"Jangan mengingatnya lagi, kau akan semakin sakit."

Berbagai ucapan menenangkan juga sudah ia lontarkan yang tidak direspon apa-apa, melainkan hanya terus suara tangisan yang ia dapat.

"Kau membuatku ikut merasa sakit jika kau terus seperti ini, sayang."

Donghae menarik tangan Jin Ra yang gadis itu gunakan untuk memukul dadanya, mungkin dia merasa sesak.

Tentu saja. Melihat sahabat terbaiknya bersama dengan pria yang ia sebut sebagai kekasih, pria yang seakan menjadi penenangnya karena masalahnya dan Donghae, justru menjadi orang yang menghancurkan perasaannya.

Dan kini, pria menyebalkan yang sering menjadi lawannya berdebat justru dengan setia diam disampingnya; menemaninya.

"Mereka tidak pantas kau tangisi, kau tahu? Kau terlalu berharga untuk mereka sia-siakan."

Donghae semakin gencar bersuara saat mendapati Jin Ra yang mulai tenang walau masih tersedu-sedu.

"Kau ingin sendiri? Aku akan keluar jika kau menginginkannya. Aku akan ada di depan pintu kamar jika kau memerlukanku."

Pria itu mendekap dan mengecup keningnya lalu berdiri dari pinggiran ranjang. Berniat pergi saat tangannya justru dipegang oleh Jin Ra.

Seakan memintanya tetap bertahan disana.

"Jika ingin aku tetap disini, berhentilah menangis. Kau tidak boleh menangis di depanku."

Gadis itu mengangguk dan sesekali menarik nafas dalam agar tangisannya reda.

"Aku tidak peduli kau menangis karena apa. Tapi jangan pernah lagi tunjukkan air matamu di depanku, terlebih jika kau tidak ingin aku melukai seseorang."

Donghae menarik Jin Ra ke dalam pelukannya, lagi. Mencoba membuat gadis itu merasa lebih tenang.

Ternyata, bersusah payah mendapatkan tiket untuk pulang lebih awal adalah keputusan yang tepat.

Jika saja hal tadi terjadi dan tidak ada dia disini, siapa yang akan memeluk gadis ini sekarang; menenangkannya?

"Aku mungkin tidak berhak untuk memberi komentar tentang apa yang terjadi, aku hanya meminta agar kau lupakan semuanya. Anggap saja waktu mereka bersamamu sudah habis, jadi biarkan saja mereka menjauh."

"Jika aku melihatmu menangis karenaku, aku sudah memiliki pikiran untuk lenyap dari hidupmu. Apalagi jika ada orang lain yang membuatmu menangis, aku akan semakin bersemangat melenyapkan mereka."

"Donghae..."

Suara Jin Ra seakan terkuras habis karena tangisannya.

"Aku disini. Tenanglah."

"Apa aku bukan sahabat yang baik? Kenapa Young Me melakukan itu padaku?"

"Kenapa harus berpikir kesalahannya ada padamu? Bukan kau yang merebut kekasih orang lain."

"Tapi aku juga pasti bukan sahabat yang baik, kan?"

"Tidak. Kau sudah menjadi teman terbaik untuknya. Jadi jangan justru merasa bersalah."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Jadi..."

Donghae mengusap air mata di pipi Jin Ra sekali lagi.

"Jangan kau gunakan air matamu sia-sia hanya untuk menangisi mereka."

Dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

~

Getaran ponsel yang terus menerus membuat Jin Ra terbangun.

Gadis itu bergerak tidak nyaman karena merasakan sesuatu yang berat menahan tubuhnya.

Memaksanya harus membuka mata dan mendapati wajah Donghae yang berjarak sangat dekat. Bahkan nafas pria itu yang teratur terus menerpa wajahnya.

Tangan kanannya pun melingkar dengan nyaman di pinggang Jin Ra.

Memunculkan rona memerah di pipi gadis itu.

Pria itu menemaninya dan menjaganya saat tertidur. Dasi dan kemeja putih bahkan masih menempel di tubuhnya.

Dan yang pasti dia belum memakan apapun sejak datang beberapa jam yang lalu.

Saat Jin Ra hendak menyingkirkan tangan Donghae yang masih bertengger di pinggangnya, pria itu bergerak sebentar dan membuka mata.

"Hei."

"Merasa lebih baik?"

Gadis itu mengangguk dan menggumamkan kata 'terima kasih'.

"Untuk apa? Sudah kewajibanku untuk menjagamu."

"Tetap saja. Kau tidak harus bertahan disini, bahkan saat aku sudah tidur."

"Siapa tahu kau akan terbangun tiba-tiba dan kembali menangis karena tidak menemukanku."

Pria itu menarik tubuh Jin Ra mendekat dan mengusap puncak kepalanya.

"Tidak akan. Aku kan bukan anak kecil."

"Baiklah baiklah. Aku mengerti."

"Kau lapar? Kau pasti belum makan apa-apa."

Gadis itu bangkit dan menggelung rambutnya ke atas.

"Aku akan buatkan sesuatu. Tunggulah disini."

"Tidak apa jika kau sedang tidak ingin melakukan apa-apa."

"Aku bukannya sedang terluka fisik. Lagipula kau ingin aku terus menangis di hadapanmu?"

"Jika kau akan memelukku saat kau menangis, lebih baik menangis saja terus."

Pria itu ikut bangkit dan duduk menyila menghadapnya.

"Tidak menguntungkan bagiku."

"Benarkah? Sayang sekali jika begitu."

Jin Ra hanya terkekeh dan segera turun dari tempat tidur.

~

"Aku bahkan lupa untuk berbelanja."

Tidak ada bahan lain yang tersisa di lemari pendingin selain beberapa bungkus ramen, semangkuk daging dan beberapa butir telur.

Dan dia pun terlalu malas untuk keluar dan membeli sesuatu. Dia juga tidak mau meminta Donghae yang melakukannya.

Alhasil hanya ramen yang bisa ia sediakan sekarang.

Jin Ra memotong beberapa daun bawang dan menyiapkan telur untuk dimasukkan.

"Hei."

Sebelum terhambat karena Donghae datang dan mengganggunya.

"Ramen?"

"Tidak ada makanan lain. Ini saja. Tidak apa, kan?"

"Tidak apa. Asal kau yang memasaknya, aku akan makan apapun itu."

Pria itu memeluknya dari belakang dan melingkarkan kedua tangan ke perutnya.

"Baguslah."

Gadis itu mengangkat mangkuk kecil berisi potongan daun bawang dan berniat memasukannya ke dalam panci.

"Tunggu."

Sebelum Donghae mengambil mangkuk itu dari tangannya.

"Aku tidak suka daun bawang. Jangan menggunakan ini."

Dan meletakkannya kembali. Tanpa menyadari Jin Ra yang terdiam menatapnya.

Gadis itu teringat sesuatu.

FLASHBACK

"Menambahkan daging, bagaimana?"

"Boleh. Kau kan pemakan segala."

"Enak saja. Aku akan memakan apapun yang kau masak, tapi bukan berarti aku pemakan segala jenis makanan."

 "Baiklah baiklah. Aku mengerti."

Jin Ra menatap lemari pendingin yang masih terbuka karena Kibum masih sibuk mengobrak-abrik isinya.

"Ambilkan daun bawang yang ada di kotak sayuran paling bawah."

Ucapnya yang berhasil membuat Kibum menoleh.

"Aku tidak suka daun bawang. Aku tidak akan memakannya jika kau menambahkan itu."

"Benarkah? Tapi rasanya akan lebih enak nanti."

"Kalau begitu kita buat dua porsi saja, jadi kau bisa menambahkan daun bawang."

"Ey, tidak perlu. Baiklah, tanpa daun bawang. Biar aku yang mengalah."

Pria itu tampak sumringah dan menutup lemari pendingin lalu memberikan daging untuk ia olah dengan ramen.

FLASHBACK ENDS

"Hei."

Tangan Donghae menjulur mengaduk ramen di dalam panci yang diacuhkan oleh Jin Ra.

"Kau ingin ramennya gagal dan tidak bisa dimakan?"

"Eh?"

Gadis itu dengan cepat mendekatkan mangkuk saat Donghae ingin menuang ramennya.

"Apa yang kau pikirkan? Kau masih sempat melamun bahkan saat sedang memasak seperti ini."

"Aish, berhenti mengomeliku."

"Kau harus tahu jika mulai saat ini jika aku melihatmu melamun, aku harus bersusah payah menahan agar tidak memikirkan hal-hal buruk karena menebak apa yang kau pikirkan."

"Aku baik-baik saja, tuan Lee Donghae. Berhenti khawatir."

Jin Ra meletakkan kaleng minuman ke depan Donghae yang sudah duduk di meja makan.

Gadis itu kemudian ikut duduk di sampingnya.

"Selamat makan."

Pria itu mengangguk dan menyendokkan kuah ramen ke mulutnya.

Lalu berniat menyuapi sang istri.

"Kau saja yang makan. Aku tidak lapar."

Membuat Donghae hanya memasang wajah datar dan mengangguk.

"Kau akan menyesal."

~

Kertas yang sudah lusuh ini menjadi subjek pandangan Jin Ra sejak 30 menit yang lalu.

Entahlah. Antara berharap kertas di tangannya itu hanyalah kertas biasa yang walaupun ia bakar tidak akan meninggalkan masalah.

Atau berharap jika tanggal yang tertera di kertas itu berubah, bahkan tahunnya juga bisa berganti menjadi tahun depan.

Lucu memang. Karena jelas-jelas beberapa minggu yang lalu dia terus berharap jika tanggal yang tertera disana bisa segera tiba, tapi sekarang?

Bahkan mengharapkan pria di hadapannya itu juga memikirkan hal yang sama.

"Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"

"Sudah, sajangnim."

Jin Ra segera memasukkan kembali kertas di tangannya ke dalam tas.

"Kalau begitu ayo pergi makan siang."

"Sepertinya aku tidak bisa."

Donghae menutup laptop dan menatapnya.

"Aku harus menemui seseorang."

"Siapa?"

"Bukan siapa-siapa. Hanya teman lama."

Gadis itu berdiri dan meraih blazer serta tas tangannya.

"Ingin aku siapkan sesuatu untuk makan siangmu?"

"Tidak. Aku sudah tidak berselera."

"Kekanakkan. Aku pergi dulu."

Dan melambai singkat pada Donghae yang hanya mendengus menatapnya.

~

"Aish, kau yang membuat janji ini. Kenapa jadi kau juga yang membatalkan?"

"Baiklah, aku tahu. Aku kan memang bukan temanmu lagi."

"Ey, aku hanya bercanda. Kita bisa makan siang lain kali. Tidak apa."

"Ya, sampai jumpa."

Jin Ra memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

Makan siang bersama teman lamanya kali ini harus batal. Dan melihat jam yang masih lama sebelum waktu makan siang habis, lebih baik dia kembali ke kantor.

Agar sang atasan tidak kembali uring-uringan karena tidak bisa makan siang dengannya.

"Hey."

Dan belum sempat dia beranjak dari kursi, seseorang -lebih tepatnya- seorang pria menyentuh lengannya.

Yang dalam waktu singkat berhasil menghilangkan senyuman di wajahnya.

Gadis itu bahkan kembali melanjutkan niatnya untuk pergi.

"Tunggu! Aku ingin bicara sesuatu."

"Aku harus pergi. Jangan menggangguku."

Jin Ra berusaha menarik lengannya yang masih dipegang oleh pria itu.

"Ayolah, sebentar saja!"

"Kim Kibum!"

Memaksanya menghentakkan tangan agar cengkraman Kibum terlepas.

"Aku harus pergi! Lagipula tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan! Jadi jangan ganggu aku."

"Ada! Aku harus meminta maaf padamu."

Kibum bahkan harus menghadang Jin Ra yang sudah menjauh beberapa langkah.

"Sebentar saja. Aku berjanji tidak akan muncul lagi di depanmu setelah ini, jika kau menginginkannya."

~

"Kenapa? Kau sedari tadi diam saja."

"Tidak apa. Hanya tidak ada hal yang bisa aku bicarakan denganmu."

"Apa aku melakukan kesalahan? Lagi?"

"Tidak. Aku mungkin hanya sedang tidak dalam mood yang baik."

Jin Ra menepuk singkat pundak Donghae, membersihkan sedikit debu yang ada di jas pria itu.

"Kalau begitu ingin jalan-jalan?"

Dan pria itu menangkap tangannya. Menggenggam dan menciumnya.

"Kau tidak lelah? Pekerjaanmu kan padat hari ini."

"Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja."

"Kalau begitu juga jangan khawatirkan aku."

Gadis itu tersenyum dan merespon singkat sentuhan Donghae di pipinya.

~

"Kenapa mengacuhkanku? Kau tidak suka dengan kehadiranku disini?"

"Ayolah, Jin Ra. Kau jangan seperti lupa diri. Memangnya apa posisimu hingga kau bisa bertanya seperti itu?"

"Maksudmu?"

"Kau lupa? Bukankah kontrak kita sudah berakhir? Itu berarti tidak ada lagi hubungan di antara kita."

"Kau..."

Merasa lemas di bagian kaki, Jin Ra memundurkan langkah dan membuatnya tertahan dinding.

"Lalu maksud dari semua perlakuanmu selama ini? Kau bahkan mengatakan akan selalu ada di sampingku dan juga memintaku untuk selalu bersamamu."

"Bukankah kita sudah memiliki perjanjian sebelumnya? Aku akan bersikap layaknya seorang suami hanya pada saat ada keluargamu atau keluargaku di sekitar kita. Dan aku rasa aku hanya memberikan perhatian yang sewajarnya padamu."

"Kau menemaniku dan menenangkanku saat aku menemukan Kibum dan Young Me hari itu. Kau bilang kau akan merasa sakit saat kapanpun aku tersakiti. Tidakkah secara lain kau mengatakan jika kau menyukaiku?"

"Jangan terbawa perasaan. Aku mengatakannya hanya untuk menenangkanmu."

"Tapi-"

"Oppa."

Satu suara yang berhasil membuat Jin Ra semakin merasa tersudut.

Gadis itu-gadis yang selalu membuat suasana hatinya hancur- dengan santai berjalan masuk dan mendekati Donghae yang direspon dengan sangat baik oleh pria itu.

Dia bahkan berdiri, memeluk dan mengecup singkat pipi Chaebi.

"Apa kau sedang ada urusan dengannya?"

'Dengannya' Denganmu yang dia maksud, Jin Ra.

"Tidak. Dia hanya meminta tanda tanganku untuk suatu berkas."

Tangan Donghae pun melingkar dengan nyaman di pinggang Chaebi. Membuat senyuman gadis itu semakin lebar.

Yang justru berbanding terbalik dengan Jin Ra. Matanya mulai mengabur, mungkin karena genangan air yang mulai memenuhi kelopak matanya.

Dan dengan langkah gontai, gadis itu berjalan menjauh dari meja kerja Donghae.

Menjauh dari pemandangan yang sangat-sangat merusak mata serta hatinya.

Yang berimbas pada rasa pusing dan pandangan yang semakin kabur yang ia rasakan.

Bahkan tangannya harus bersandar pada dinding sebagai penyangga.

Tapi sepertinya, kakinya sudah tidak mampu lagi untuk menopang tubuhnya yang semakin berat.

Dan sebelum tubuhnya benar-benar bersentuhan dengan lantai, dia bisa melihat ada seseorang yang berlari mendekat yang mungkin berniat menangkap tubuhnya.

Dan... semua itu hanya mimpi.

Suara detingan jam bahkan lebih nyaring dari suara nafasnya.

Keringat yang mengucur dari kening Jin Ra membuat gadis itu mengusap wajahnya gusar.

Lalu menatap pria yang masih terlelap dengan nyenyak di sampingnya.

Antara senang karena semuanya hanya mimpi dan antara khawatir jika semua yang ada di dalam mimpinya akan terjadi, segera.

Apa Donghae memang benar-benar menganggapnya hanya sebagai seseorang yang 'bekerja' sebagai istrinya?

Dan semua 'kedekatan' yang ia buat selama ini hanya sebatas akting belaka?

Tapi bukankah memang itu yang harusnya Donghae lakukan? Dan yang seharusnya Jin Ra rasakan; hanya akting.

Dan yang seharusnya ia ingat; semua akting ini akan segera berakhir.

Dia harus siap untuk menjauh dari Donghae dan berhenti mengharapkan hal yang lebih dari kontrak mereka.

Itu yang terbaik. Agar sakit yang ia rasakan nanti tidak terlalu dalam.

~

"Selamat pagi."

"Selamat pagi."

Jin Ra dengan senyum ramah merespon setiap sapaan yang ia terima.

Yang membuatnya menertawakan dirinya sendiri. Suasana hatinya sedang tidak baik, tapi dia masih bisa menebar senyum dan bersapa ria dengan semua orang yang ia temui tadi.

"Haruskah aku memuji diri sendiri?"

Ya, kau harus.

Mengingat kemampuan untuk menutupi kesedihanmu yang semakin lama semakin baik.

Langkah Jin Ra terhenti di depan pintu ruangan Donghae.

Tarik nafas dan pasang ekspresi wajah yang normal.

Dan setelah merasa dirinya siap, Jin Ra menyentuh knop pintu dan membukanya.

Dan mendapati kedua mata tajam Donghae menyambutnya.

"Selamat pagi."

Beruntung dia masih peka dengan situasi, dan tidak lupa diri dengan posisinya.

"Hai, Jin Ra."

"Selamat pagi Hyukjae-ssi."

"Kau tidak ingin memanggilku 'oppa'?"

Jin Ra hanya tersenyum dan tidak berniat kembali menatap Donghae.

Hanya memilih segera duduk di mejanya.

Membiarkan Donghae melanjutkan pembicaraan dengan Hyukjae.

Entah apa yang mereka bicarakan, Jin Ra terlalu fokus dengan hal lain hingga tidak terlalu perduli dengan topik obrolan sepasang sahabat itu.

~

"Haruskah aku mengambil kunci rumah yang ada padamu? Agar kau tidak lagi keluar tanpa sepengetahuanku seperti pagi ini?"

"Aku hanya pergi ke suatu tempat. Biasanya kau juga tidak akan mempermasalahkannya."

"Yang aku permasalahkan adalah kenapa kau menjauhiku. Selalu memiliki alasan untuk keluar rumah dan bahkan tidak ingin ada dalam mobil yang sama denganku."

"Aku tidak menjauhimu. Itu hanya perasaanmu saja."

Jin Ra kembali mendekatkan berkas yang terbuka di meja ke arah Donghae; menunggu tanda tangan pria itu.

"Ayolah, Jin Ra. Jangan semakin memancing pertengkaran denganku."

"Aku tidak melakukannya. Aku bersikap biasa-biasa saja, kan?"

"Kontrak kita akan segera berakhir."

Donghae berhenti dan menarik nafas. Merasa tidak suka dengan topik pembicaraan yang harus ia bawa.

Pria itu berdiri dan mendekat.

"Bisakah kita mengakhirinya dengan cara yang baik? Aku tidak ingin ini semua berakhir dengan kau atau aku saling menjauh."

Kau tidak bisa seenak mengatakannya itu.

"Aku rasa kau juga sadar hubungan kita tidak akan sebaik sebelumnya setelah semua ini berakhir."

"Karena itu. Aku ingin kita bersikap biasa saja dan tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan jarak di antara kita. Agar saat semua... selesai nanti, tidak akan ada yang berubah."

Ada. Perasaanku.

"Baiklah, aku akan menurutinya. Bukankah aku pihak kedua yang hanya menerima perintah tanpa bisa menyampaikan pendapat?"

Gadis itu mengambil kembali berkas di atas meja Donghae dan kembali ke mejanya.

Membiarkan Donghae yang masih mematung di tempat.

~

Untuk yang kesekian kali, tumpukkan bahan makanan dan sayuran terabaikan olehnya.

Dia hanya harus menyisihkan waktu setidaknya dua jam untuk memasak, tapi ini bahkan sudah hampir tiga jam dan yang ia lakukan masih dalam tahap menyiapkan tanpa ada satupun bahan yang sudah ia olah di atas kompor.

Setidaknya dia harus bersyukur karena tangannya masih belum terluka hingga saat ini karena kegiatan melamunnya.

"Bisakah aku fokus? Ada apa denganku?"

Menggelengkan kepala singkat, Jin Ra mencoba kembali melanjutkan kegiatannya.

Makan malam harus sudah tersedia sebelum Donghae pulang. Pria itu ada meeting yang tidak perlu Jin Ra untuk ikut menemani.

Lagipula bisa jadi ini adalah makan malam terakhir mereka.

Siapa sangka, lima hari lagi semua sandiwara ini akan berakhir. Entah bagaimana mereka mengakhirinya nanti di depan keluarga masing-masing.

Setidaknya tidak akan ada lagi semua sikap manis dan manja Donghae atau sosok wanita yang selalu membuat suasana dapur dan ruang makan di rumah pria itu menjadi ramai.

Tidak ada lagi perdebatan konyol di ruang kerja hanya karena Jin Ra yang menolak ajakkan Donghae untuk makan siang.

Atau moment-moment lain yang terkesan bodoh tapi mungkin yang akan sangat ia rindukan.

Dan tugas terakhirnya hanya harus mengikuti keinginan pria itu; bersikap biasa saja.

Bersikap seperti apa yang sudah mereka lakukan selama ini.

"Ah!"

Jin Ra memperhatikan punggung tangannya yang terkena percikan kuah sup.

"Bodohnya aku."

Tidak ingin terlalu lama sibuk dengan pikirannya dan justru akan kembali terluka nanti, Jin Ra mempercepat kegiatannya.

Sup, dan beberapa makanan kesukaan Donghae sudah tersedia di atas meja makan.

Dan secara bersamaan pintu depan sepertinya terbuka; menandakan jika pria itu sudah datang.

Jin Ra melepas celemek putih dan meletakkan benda itu kembali ke tempatnya.

Dia lalu meninggalkan dapur dan mencoba mencari dimana Donghae berada.

Tas dan jasnya tersampir di sofa di ruang tengah.

Dan suaranya yang tampak sedang bicara dengan seseorang terdengar dari arah ruang kerja.

Jin Ra yang melangkah mendekat semakin jelas mendengar suara Donghae yang meninggi.

Apa pria itu sedang bertengkar dengan seseorang?

"Kau tahu ini bukan kesalahanmu yang pertama."

"Kau orang kepercayaanku. Aku memberimu kesempatan karena kau sudah begitu lama bekerja di perusahaan ini."

"Benarkah? Kau sebut aku pemimpin yang tidak loyal?"

"Apa aku pernah mempermasalahkan beberapa kecerobohanmu? Apa aku bahkan pernah berpikir memperkarakanmu?"

"Kau seharusnya sadar kau bisa dipenjara karena kasus ini!"

Jin Ra mematung dengan tangan yang menyentuh knop pintu.

Ini pertama kalinya dia mendengar Donghae bicara dengan nada seperti itu; atau lebih tepatnya mendengar dia marah.

Haruskah dia tetap masuk? Mencoba menenangkan pria itu, mungkin.

Tapi bagaimana jika dia merasa terganggu dan justru semakin marah?

"Sialan!"

Jin Ra menghentikan perdebatan di otaknya saat mendengar suara barang yang pecah.

Membuatnya cepat memutar knop dan membuka pintu. Lalu mendapati vas bunga kecil yang sebelumnya ada di atas meja kerja Donghae, sekarang hancur tak berbentuk dan kepingannya berserakkan di lantai.

Terlebih saat melihat Donghae yang tidak menggunakan sandal rumah, menginjak kepingan kecil dan membuat darah keluar dari telapak kakinya.

"Hei."

Jin Ra dengan ragu mendekat seraya memperhatikan kepingan-kepingan kaca di lantai.

Donghae yang tampak tengah menahan amarah, berdiri membelakanginya.

"Berhenti!"

Sebelum pria itu memajukan tangan ke arahnya.

"Donghae..."

Yang sama sekali tidak menghentikkan Jin Ra, karena gadis itu semakin mendekat.

"Aku bilang berhenti, Park Jin Ra."

"Tapi kau terlu-"

"Apa hakmu peduli padaku!"

"Kau bukan siapa-siapa! Berhenti bersikap seakan kau orang spesial disini!"

Donghae yang semakin meledak memaksa Jin Ra mengambil langkah mundur.

Walau otaknya tidak bekerja dengan cukup baik sekarang, mengingat imbas dari bentakan pria itu.

"Berhenti perduli padaku! Itu tidak akan mengubah apapun!"

"Apa aku tampak memanfaatkanmu saat ini?"

"Kau pikir aku mengharapkan hal yang lebih dari hubungan kita?"

"Bukankah memang itu adanya?"

Pria itu menatapnya, menarik kasar dasi yang masih ia kenakan.

"Semua orang memanfaatkanku. Semua orang menggunakan kepercayaan yang ku berikan untuk mengkhianati diriku sendiri. Semua orang sama! Termasuk kau!"

Berkas yang terjangkau olehnya melayang dengan bebas ke lantai. Semakin membuat Jin Ra membuat jarak.

Gadis itu bahkan kehilangan suara sekarang, tertahan oleh suara tangisan yang mendesak keluar dari bibir kecilnya.

Mengangguk paham dengan perkataan Donghae. Entah kata-kata itu benar-benar keluar dari dalam hatinya atau dia hanya sebatas terbawa emosi karena masalah pekerjaannya tadi.

Yang pasti, itu sudah cukup. Cukup membuatnya mengerti dan sadar.

Jin Ra membalik tubuh dan berjalan dengan gontai mendekati pintu.

Kenapa moment ini serupa dengan mimpinya kemarin malam?

Bedanya hanya tidak ada Chaebi disini, itu saja.

~

Jin Ra menarik selimut dan membenamkan wajah semakin dalam ke bantal.

Sinar matahari membuat matanya sakit dan pusing di kepalanya semakin bertambah.

Dia hampir lupa fakta jika dia menangis semalaman, bahkan jatuh tertidur karena kelelahan.

Entah dimana pria yang sudah membuatnya menangis itu. Yang pasti dia tidak tidur dikamar ini tadi malam.

Jin Ra mengikat rambut dan bergegas turun dari tempat tidurnya saat mendengar suara bel.

Tamu di pagi hari.

"Maaf nyonya, tuan meminta saya mengambil koper miliknya."

Salah satu supir Donghae.

"Koper?"

"Tuan harus pergi ke London karena urusan kerja. Dia sudah menyiapkan barangnya dan meminta saya untuk mengambilnya."

Walau masih sulit untuk memahami, Jin Ra hanya mengangguk dan meminta supir itu untuk menunggu.

Dia kembali masuk ke kamar dan masuk ke ruangan yang berisi lemari pakaian miliknya dan Donghae.

Benar saja, ada koper yang sudah ada di sudut ruangan.

"Kapan dia menyiapkannya?"

Jin Ra merasakan sedikit berat di koper yang dia angkat, Donghae jarang sekali membawa koper saat pergi kecuali untuk waktu yang lama.

"Berapa lama dia di London?"

Supir Donghae mengambil koper yang Jin Ra sodorkan.

"Saya tidak tahu, nyonya. Maaf."

"Hm. Tidak apa."

"Kalau begitu saya permisi. Tuan sudah menunggu."

"Ya."

Dia memperhatikan hingga mobil milik Donghae itu keluar dari pekarangan rumah.

"Apa aku juga harus menyiapkan pakaian ku?"

Untuk pergi dari sini.

~

"Terima kasih sudah mengantarku."

"Sama-sama."

Jin Ra menarik pegangan koper dan berniat berjalan menjauh.

"Jin Ra."

"Hm?"

Sebelum kembali menoleh pada pria yang masih setia berdiri di tempatnya.

"Apa... kau masih marah padaku?"

Membuatnya menarik nafas panjang.

"Jika aku masih marah apa aku akan meminta bantuanmu untuk mengantarku kemari?"

"Ah, benar. Aku hanya berpikir kau akan menjauhiku nanti."

"Tidak akan. Kau tidak sepenuhnya bersalah disini, aku juga bersalah hingga membiarkanmu memiliki pikiran untuk selingkuh dariku."

"Tidak, kau tidak bersalah. Aku saja yang bodoh."

"Jika bodoh, kau tidak akan memiliki hubungan dengan gadis seperti Young Me. Dia lebih baik dariku dan dia lebih pantas bersamamu. Jadi jangan merasa bersalah."

Kibum menggenggam kunci mobilnya dan mendekat.

Menyentuh pundak Jin Ra dengan ragu, lalu memberanikan diri mengecup kening gadis itu.

"Terima kasih dan sekali lagi maaf. Hubungi aku jika kau perlu bantuan apapun."

Gadis itu mengangguk dan berbalik lalu melanjutkan langkah.

Berjalan agak sedikit cepat, mengikuti air mata yang juga dengan cepat mengalir di pipinya.


FLASHBACK

"Aku bertemu Young Me di rumah sakit. Dia mengatakan dia kesana karena menemui temannya."

"Hye Soo."

"Ya. Jujur aku benar-benar tidak tahu jika Young Me adalah temanmu."

"Entah karena apa, aku merasa nyaman saat berbincang dengannya hari itu. Mengingatmu yang memiliki hubungan denganku tapi tinggal bersama pria lain, membuatku jadi lebih senang bertemu dengannya dibanding denganmu."

"Saat bersamanya aku bisa menghentikan semua pikiranku yang selalu menebak-nebak apa yang terjadi diantara kau dan suami kontrakmu."

"Walau hubungan kalian hanya di atas kertas, tapi kalian tinggal bersama. Tetap saja ada kemungkinan hubungan kalian menjadi lebih dekat dan interaksi diantara kalian akan semakin sering."

"Aku merasa cemburu dan berusaha menghilangkan semua pikiran itu dengan bersama Young Me."

"Mungkin terdengar seperti aku menggunakannya untuk pelarian. Tapi semakin lama sepertinya aku semakin menyukai Young Me. Dan semakin lama aku semakin berpikir jika kau akan semakin dekat dengan pria itu, jadi aku beranggapan tidak apa-apa jika aku... berselingkuh."

"Dan sejak hari itu, Young Me menjauhiku. Dia pasti benar-benar kecewa padaku dan merasa bersalah karena secara tidak langsung mengkhianatimu."

"Aku tidak keberatan jika kau membenciku dan tidak ingin lagi bertemu denganku. Tapi aku ingin kau tidak memutuskan pertemananmu dengan Young Me. Kalian sudah bersahabat sejak lama. Aku semakin terpuruk mengingat betapa kejamnya aku karena merusak hubungan kalian."

FLASHBACK ENDS

Jin Ra meletakkan tas dan ponselnya yang mati ke atas tempat tidur.

Lalu meraih kotak tisu di atas meja rias.

Membersihkan semua air mata yang membasahi wajah.

Semakin rumit saja hidupnya.

Disaat-saat seperti ini Young Me lah yang dia perlukan, walaupun dia juga tidak mungkin mengatakan tentang pernikahan kontraknya ini.

"Benarkan? Aku yang bersalah disini."

Gadis itu menjatuhkan tubuh ke atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya yang berhiaskan stiker-stiker bergambar bintang; pekerjaan Young Me.

Saat gadis itu menginap disini, mereka akan saling berbagi masalah atau cerita lain sembari memandangi gambar-gambar di langit-langit kamar itu.

Temannya berbagi suka duka. Tidak seharusnya menjadi teman berbagi kekasih.

Jika dipikir lagi memang tidak ada yang salah diantara mereka; Kibum dan Young Me.

Young Me yang tidak tahu apa-apa dan Kibum yang merasa 'terlantar' karena hubungannya yang semakin dekat dengan Donghae.

Dan sekarang, kedua orang itu dan Donghae seakan pergi dari hidupnya.

Sengaja menjauh atau dia yang membuat mereka menjauh.

Jin Ra meraih ponsel dan menyalakannya.

Menunggu beberapa saat lalu menekan dengan lama angka 1 di layar ponselnya yang langsung menyambung ke nomor seseorang.

"Hei. Kau sibuk?"

"Bisa kita bertemu? Lusa."

~

"Aku memintamu kemari bukan untuk melihatmu menangis."

"Maaf..."

"Sudahlah. Kau tidak tahu apa-apa jadi jangan menyalahkan dirimu."

"Tetap saja. Seharusnya aku tidak menerimanya begitu saja."

Jin Ra mengusap pundak Young Me dan membuat gadis itu kembali memeluknya.

Dia terus menangis tersedu-sedu. Dia bahkan mungkin masih tidak menyadari sesuatu.

"Kau tidak ingin mengatakan atau bertanya apa-apa padaku?"

"Aku ingin meminta ma-"

"Aku sudah bosan mendengarnya. Lagipula aku sudah memaafkanmu."

"Lalu?"

Jin Ra mengambil selembar tisu dan memberikannya.

"Kau tidak merasa ada yang aneh?"

"Kenapa aku bisa bertemu Kibum?"

"Bukan. Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Aish! Kau tidak merasa ada yang salah dari fakta jika... Kibum adalah kekasihku?"

Young Me tampak semakin aneh dengan titik air mata serta wajah bingungnya.

Membuat Jin Ra jengah.

"Aku sudah menikah! Kenapa aku bisa memiliki kekasih. Kau tidak sadar itu?"

Ucapnya dengan satu tarikan nafas.

Yang membuat Young Me terdiam lalu secara bertahap matanya melebar; menyadari sesuatu.

"Babo!"

Membuat Jin Ra gemas dan mengetuk kepalanya.

"Astaga! Aku tidak sadar itu."

Gadis itu lalu menatapnya lekat.

"Lalu kenapa aku harus merasa bersalah karena berhubungan dengan Kibum??"

"Yaa!! Dia tetap kekasihku saat itu!!"

"Haish!"

Young Me mengusapkan tisu ke wajahnya.

Lalu memperhatikan sang sahabat yang meraih cangkir minumannya, saat ia hendak mendekatkan pinggiran cangkir ke bibirnya Young Me menahan tangan Jin Ra dan membuat gadis itu menatapnya kesal.

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi?"

"Molla!"

Dan hanya berucap kesal lalu melanjutkan niatnya untuk minum.

"Yaa!! Lee Jin Ra!"

"Park Jin Ra! Jangan seenaknya mengubah namaku."

"Ha?"

"Diam saja. Persiapkan diri sebelum mendengar ceritaku."

"Baiklah."

Young Me menatap penuh harap Jin Ra.

"Kau... jujur, pernah bertanya-tanya bagaimana bisa aku menikah dengan Donghae?"

"Sebenarnya aku juga ingin tahu, tapi karena kau bekerja sebagai sekretarisnya dan kalian selalu bersama jadi mungkin saja kalian saling jatuh cinta dan akhirnya menikah."

Mengucapkannya dengan nada seperti menyampaikan sebuah dongeng.

"Hidupku tidak seindah itu, nona Park."

"Lalu?"

"Aku menikah kontrak dengannya."

Dengan cepat Jin Ra menutup mulut Young Me dengan telapak tangannya. Karena sesuai perkiraan, gadis itu hampir teriak karena terkejut.

"Diam!"

"Ya!!"

Dan gadis itu justru langsung menghempas tangannya.

"Kau gila? Menikah kontrak? Dengan pria itu pula?"

"Ya, aku memang gila! Kau puas?"

Merasa geram Young Me memberi beberapa pukulan di lengan Jin Ra; gemas.

"Kau baru menceritakannya sekarang? Sudah berapa bulan ini, nyonya Lee?"

"Jangan memanggilku seperti itu. Lagipula kontraknya juga sudah berakhir."

"Berakhir?"

Young Me menggeleng; tanda dia tidak mengerti.

"Kontrak kami hanya 6 bulan, dan akan berakhir dua hari lagi."

"Waaah, kalian sama-sama tidak waras."

"Dia yang tidak waras. Dia yang meminta pernikahan kontrak ini."

"Kau juga gila karena menerimanya."

"Dia CEO kita, kau pikir aku masih bisa ada di perusahaan itu jika menolaknya?"

"Cih, dia tidak akan sekejam itu."

Jin Ra menggeleng tidak tahu dan menghempaskan punggungnya ke sofa, dan Young Me mengikuti tindakannya itu.

Mereka berdua sama-sama menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

Terdiam dan hanya sesekali mengambil kentang goreng di meja.

"Lalu sekarang bagaimana?"

Jin Ra menggeleng sebagai respon.

"Kau sekarang tinggal dimana?"

"Apartemenku tentu saja."

"Tapi kontrak kalian akan berakhir dua hari lagi, kenapa kau sudah meninggalkan rumahnya?"

"Yaa anggap saja 'berakhir lebih cepat'"

"Kau... pasti bertengkar dengannya. Ya kan?"

"Entah. Terkadang tidak ada yang bisa disebut sebagai pertengkaran karena hubungan kami kan palsu."

"Tapi... apa kau merasa sedih?"

"Entah."

"Lalu bagaimana nanti? Saat kau bertemu di kantor dengannya. Apa kalian akan bersikap biasa saja seakan tidak ada yang terjadi? Aku rasa tidak mungkin, walau aku tidak tahu apa saja yang sudah terjadi diantara kalian."

Jin Ra menyentuh lengan Young Me.

"Aku akan berhenti."

"Berhenti maksudmu?"

Dan sekarang menatapnya.

"Aku rasa aku tidak bisa lagi bekerja di perusahaan itu."

"Eh? Kau gila?"

"Lalu kau akan bekerja dimana nanti?"

"Aku bisa memikirkannya nanti. Lagipula kau pikir semuanya akan biasa-biasa saja setelah adanya kontrak ini."

"Sebentar."

Young Me menunjukkan telapak tangannya lalu berpindah posisi duduk agar bisa memandang sang sahabat lebih dekat.

"Kontrak ini. Apa yang kau dapatkan?"

"Maksudmu?"

"Ya, mungkin saja kau mendapatkan sejenis 'gaji'."

"Ey, tidak ada hal seperti itu."

"Lalu kau tidak mendapatkan apa-apa?"

"Memangnya aku harus mendapat apa?"

Young Me menggeleng, menunjukkan ekspresi yang seakan mengatakan 'setidaknya kau harus mendapatkan sesuatu karena sudah melakukan hal gila seperti itu'.

"Tidak perlu menatapku seperti itu. Aku juga tahu seberapa gila keputusanku itu."

~

Haruskah dia juga berpindah apartemen agar tidak lagi berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Donghae?

"Minumlah."

"Tidak, terima kasih. Aku tidak akan lama disini."

Jin Ra mengangguk dan meraih cangkir teh; meminumnya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Donghae oppa?"

"Baik. Apa kau kemari hanya ingin menanyakan itu?"

"Tidak juga. Aku hanya penasaran, jika hubungan kalian masih baik kenapa dia akhir-akhir ini selalu menempel padaku? Dia bahkan lebih memilih menginap di apartemenku dibanding di rumahnya."

....

Jin Ra kembali meminum teh setelah terdiam beberapa saat.

Hanya bersyukur dalam hati karena teh di mulutnya tidak meluncur keluar.

"Benarkah? Mungkin karena dia sedang bosan denganku dan sedang ingin mencari suasana baru. Jika dia sudah puas nanti dia juga akan kembali padaku."

Hebat, kan? Jangan bertanya bagaimana kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya.

"Kau benar. Hanya saja aku takut dia jatuh terlalu dalam ke pelukanku dan tidak bisa lepas. Aku kan tidak ingin disebut sebagai pengganggu hubungan orang."

"Tapi aku rasa julukan itu sudah melekat di dirimu. Buktinya kau masih saja mendekatinya saat dia tidak meresponmu dan saat kau tahu dia sudah menikah."

Salah satu keuntungan saat dia sudah terlepas dari Donghae sekarang; dia bisa dengan senyaman mungkin mengeluarkan semua unek-uneknya tentang Chaebi.

Tidak akan ada yang melarang dan tidak ada aturan yang mengekangnya.

"Jadi, jika dia memang jatuh ke pelukanmu karena keinginannya sendiri yang mungkin frustrasi karena tidak bisa bersamaku, aku akan menerima dan menghargai keputusannya."

"Tapi jika dia kau sebut 'jatuh' ke pelukanmu karena kau yang terus menerus tanpa malu mendekatinya dan mencoba menarik perhatiannya, aku mungkin akan memuji usahamu dan aku berdoa semoga Donghae tidak segera sadar dari semua muslihatmu agar kau bisa 'mendapatkannya'."

Beruntung cangkir teh itu terbuat dari gelas kaca yang cukup tebal, jika tidak mungkin cangkir itu sudah berubah menjadi kepingan kaca karena kerasnya genggaman Chaebi.

"Jadi, nona Jung..."

Jin Ra berdiri dan menunjuk dengan sopan pintu apartemennya.

"Kau bisa meninggalkan tempat ini jika tidak ada hal lain yang ingin kau sampaikan. Lagipula aku takut Donghae menunggu sendirian di depan pintu rumahmu."

Dan berhasil membuat wajah Chaebi semakin memerah.

Gadis itu dengan sedikit kesal meletakkan cangkir kembali ke atas meja. Lalu berdiri dan langsung berlalu melewati Jin Ra, keluar melewati pintu.

~

"Bodoh. Haruskah kau terus menangis seperti itu?"

"Dia bahkan tidak peduli denganmu, kenapa kau jadi harus menangis tersedu-sedu karenanya?"

Jin Ra menatap pantulan dirinya di cermin. Menggeleng menyadari merahnya wajah serta matanya.

"Hentikan, Park Jin Ra. Pria itu sudah tidak ada hubungan denganmu, dan kenapa kau harus terpancing oleh perkataan gadis seperti Chaebi."

Dia masih merasa ada lilitan tali yang begitu erat mengikat tubuhnya; oksigen secara perlahan keluar dari paru-parunya seirama dengan setiap kata dari Chaebi yang ia ingat.

Toh dia juga tidak akan tahu benar atau tidaknya apa yang gadis itu katakan.

Donghae benar-benar sedang senang mendekatinya atau tidak, dia tidak tahu.

Jadi sekarang, sebenarnya apa alasan dia menangis?

~

"Aku benar-benar harus memberikan ini?"

Young Me menatap horor amplop surat bertuliskan 'Pengunduran Diri' di tangannya.

"Setidaknya datanglah dulu, siapa tahu dia tidak akan mempermasalahkan semuanya."

"Tidak. Kau harus tahu jika kontrak kami berakhir dengan tidak baik. Akan canggung jika kami bertemu."

"Jadi tolong, eoh?"

"Lagipula keadaanku sedang tidak baik. Kau tidak lihat wajah pucatku ini?"

Jin Ra kembali menunjukkan ekspresi memohon, yang sebenarnya ia tahu jika itu tidak akan berpengaruh pada Young Me.

"Cih, baiklah. Awas saja jika pria itu mencecarku dengan pertanyaan tentangmu. Karena semingguan ini saja aku sudah bosan mendengar pertanyaan karyawan lain yang menanyakan keberadaanmu."

"Tidak akan. Aku yakin dia juga tidak akan perduli denganku."

~

Sialan, Park Jin Ra.

Waktu istirahat yang seharusnya bisa ia habiskan di cafetaria justru berakhir dengan suasana horor di ruang kerja sang atasan.

"Dia tidak berani menemuiku atau apa, hingga harus kau yang mengantar surat ini?"

Pria itu dengan aura dinginnya masih sibuk menatap layar laptop tanpa melihat Young Me yang berdiri gugup di depannya.

"Dia tidak bisa datang. Dia juga sedang sakit, sajangnim."

Satu detik.

Satu detik itu tidak terlewat oleh Young Me. Dimana Donghae refleks menatapnya saat bagian dimana ia mengatakan Jin Ra sedang sakit.

Sebelum pria itu kembali ke wajah datar dan kembali melihat ke laptop.

"Baiklah. Kau bisa keluar."

Young Me menunduk singkat dan berlalu dengan cepat dari ruangan Donghae.

Sedang pria itu hanya menatap sekilas surat pengunduran diri Jin Ra di ujung meja dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

~

'Dia tidak menginterogasiku, hanya berbaik hati menebarkan aura horor miliknya.'

Jin Ra tersenyum tipis saat membaca pesan Young Me.

Gadis itu pasti merasa terintimidasi oleh Donghae. Dia yang setiap hari bertemu dengan pria itu saja masih bisa dengan mudah diintimidasi, apalagi Young Me yang baru beberapa kali berhadapan dengannya.

"Setidaknya aku tidak akan pernah lagi mendapati mata tajamnya itu."

Dan setidaknya itu akan menjadi salah satu hal yang kau rindukan nanti.

Baru beberapa detik Jin Ra meletakkan ponsel ke atas meja, benda itu sudah kembali bergetar.

Panggilan masuk.

Dan nama yang tertera di layar membuatnya membeku. Antara ragu untuk menerima panggilan itu atau tidak.

Lagipula kenapa dia harus mendapat panggilan darinya?

"Aish."

Merasa tidak punya pilihan lain dan merasa penasaran kenapa orang itu menghubunginya, Jin Ra menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telingannya.

"Halo... eommonim."

~

Sial. Double sial.

Dia sudah mati-matian mencoba untuk melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Donghae, dan merasa bersyukur karena pria itu sama sekali tidak mencoba menghubunginya.

Tapi sekarang? Dia harus kembali kemari, duduk di tempat yang sama dan harus berhadapan dengan orang yang menghubunginya tadi.

"Kau sakit? Kau terlihat kurus."

"Tidak, eommonim. Aku baik-baik saja."

"Benarkah? Lalu kenapa kalian tidak datang bersama? Donghae bahkan meminta eomma untuk menghubungimu langsung."

"Ah itu..."

"Kami sedang bertengkar. Jadi wajar, kan?"

Dan pria itu -yang entah muncul dari mana-, tiba-tiba sudah duduk dengan santai di sofa yang berhadapan dengan sofa yang Jin Ra dan ibu Donghae tempati.

Membuat Jin Ra sigap mengalihkan pandangan agar tidak perlu bertatapan dengannya.

"Pantas."

Ibu Donghae mengusap sekilas rambut Jin Ra.

"Selesaikan masalah kalian dengan cepat. Jangan bertengkar terlalu lama."

Yang -karena tidak ada pilihan lain- dibalas anggukan oleh Jin Ra.

~

Jin Ra merapikan bagian lengan pakaiannya yang sedikit basah karena terkena cipratan air saat ia mencuci tangan.

Ia mengambil beberapa lembar tisu dan mencoba sedikit mengeringkan pakaiannya seraya berjalan keluar kamar mandi.

Yang membuatnya hampir bertabrakan dengan seseorang yang tampak hendak masuk ke kamar mandi.

Dia lupa fakta jika dia menggunakan kamar mandi di dalam kamar tidur orang ini.

Tidak ingin terlalu lama 'terkejut', Jin Ra mengambil langkah menyamping untuk melewati tubuh pria itu.

"Aku pikir kau ingin menjauhiku."

Sebelum sebuah kalimat menghentikannya.

"Memang. Aku kemari hanya memenuhi permintaan ibumu."

"Kenapa tidak kau tolak saja dan katakan yang sebenarnya tentang kita?"

"Bukankah itu tugasmu untuk mengatakan yang sebenarnya? Aku hanya mengikuti permainanmu."

Tanpa perlu berbalik dan memandang lawan bicaranya, Jin Ra melanjutkan langkah dan keluar dari kamar.

Berhenti dan bersandar di dinding luar kamar, menghirup pasukan oksigen yang tidak bisa masuk ke paru-parunya saat berhadapan dengan Donghae tadi.

"Jangan membuatnya semakin rumit."

~

` Every time I thought of you, I cursed at you
That way, I felt a little better
I erased everything that might remind me of you
But still, there are too many memories

How can I call you?
How can I call you after suddenly thinking about you?
But all I could say is, what’s up?
`
(Super Junior KRY - ...Ing)


Donghae bergerak maju dan mengecilkan audio lagu yang terputar di mobilnya.

Di dalam hati merutukki sang supir kenapa bisa ada lagu seperti itu di saat yang seperti ini.

Lagu yang sesuai dengan hatinya.

Matanya mengarah ke kaca jendela di sampingnya, berharap bisa melihat pantulan Jin Ra yang duduk di seberang sana.

Gadis itu diam menatap jalanan yang terlihat dari samping. Tidak berniat hanya sekedar melihat ke depan atau melihat ke arahnya.

Dan diantara mereka berdua tidak ada satupun yang berinisiatif untuk mengatakan sesuatu lebih dulu.

"Hah. Sepi sekali."

Hingga sang supir harus membuat suara dan membuat kedua orang di kursi belakang itu menatapnya melalui kaca di atas dashboard.

Yang satu hanya menatap dan tersenyum canggung. Sedang yang satu menatapnya seakan hendak melontarkan sejuta makian.

"Lagipula kenapa aku harus jadi supir hari ini? Sial sekali."

"Maaf, oppa. Aku tidak tahu jika eommonim akan memintamu mengantar kami."

"Itu karena wajahmu cocok untuk menjadi supir, Hyung."

Donghwa memincingkan mata, menatap tajam Donghae yang terlihat dari kaca.

"Kau ingin aku antar kemana Jin Ra, apartemenmu atau rumah Donghae?"

Dia bahkan masih sempat menggoda Jin Ra dan membuat gadis itu jadi gugup.

Dia seakan tahu jika ada yang salah dari kedua manusia di belakangnya.

"Apart-"

"Rumahku tentu saja. Haruskah kau bertanya seperti itu?"

Yang berhasil membuat Jin Ra semakin kelimpungan karena jawaban Donghae.

"Aku kan hanya bertanya. Dan haruskah kau jadi sekesal itu?"

"Hyung."

"Baiklah baiklah."

~

Asing? Canggung? Kesal? Rindu? Entahlah yang mana yang ia rasakan sekarang.

Melihat pria itu yang sudah duduk dengan nyaman setelah meletakkan secangkir coklat hangat untuknya.

Untuk apa ia dibawa kesini jika hanya untuk di acuhkan seperti ini.

"Minumlah. Aku tidak memasukkan apa-apa jika itu yang kau khawatirkan."

Donghae berdiri dan berlalu ke ruang kerja.

Meninggalkan Jin Ra yang meraih coklat hangat itu dan meminumnya. Berharap bisa menurunkan detak jantungnya yang sedang bekerja dengan tidak normal.

Total hampir sepuluh hari dia meninggalkan tempat ini, waktu yang singkat jika dia harus ada disini lagi sekarang.

Donghae tampak kembali dengan amplop di tangan. Yang Jin Ra tahu apa isinya.

"Kita mengakhirinya dengan tidak semestinya, kan?"

Ucapnya kemudian. Membuka amplop dan meletakkan kertas di dalamnya ke hadapan Jin Ra.

Serta sebuah pulpen; memintanya untuk menandatangani surat ini. Sebutlah sebagai tanda jika kontrak mereka benar-benar berakhir.

Yang entah kenapa semakin membuat Jin Ra merasa sesak.

Gadis itu menarik nafas singkat, meraih pulpen dan dengan cepat membubuhkan tanda tangan ke tempat yang ada.

Cepat akhiri saja semua ini.

"Sudah? Bisa aku pergi sekarang?"

Lalu memasang kembali coat dan bersiap untuk berdiri.

"Tunggu."

"Kau... benar-benar ingin mengundurkan diri dari perusahaanku?"

"Aku ingin mencoba pekerjaan lain."

"Bukan karena ingin menjauhiku?"

Itu juga.

"Bukan."

Donghae mengangguk dan memperhatikan Jin Ra yang melanjutkan niatnya untuk pergi, bahkan terus menatap hingga gadis itu menghilang di balik pintu depan.

Sebelum akhirnya dia menyabet kunci mobil dan melesat keluar; mengejar Jin Ra.

~

Apa yang dia lakukan sekarang? Berhasil dibodohi untuk kedua kalinya.

Menatap nanar sang ibu yang asik berbincang dengan Donghae.

Pria itu semakin sialan. Dia bahkan masih tidak mengatakan apa-apa tentang kejadian di rumahnya 10 hari yang lalu, yang membuat Jin Ra memilih untuk meninggalkan rumah itu.

"Jadi, kau setuju eommonim?"

"Aku akan setuju apapun yang kalian lakukan."

Ha? Setuju?

"Setuju apa? Apa yang kalian bicarakan?"

Donghae mengangkat kedua bahu dan meminum teh yang dihidangkan.

"Menyiapkan apa, eomma?"

Harus bertanya pada yang satunya.

"Tidak tahu. Tanyalah sendiri pada suamimu."

Wanita itu berdiri dan mengeratkan cardigannya, lalu berlalu pergi.

"Apa yang kau katakan? Jangan berbuat yang macam-macam."

Tatapan membunuhnya pun tidak akan ampuh untuk membuat Donghae menurut.

Pria itu seakan senang saat harus menjahilinya.

"Bisakah kau serius? Kontrak kita sudah berakhir, kau juga yang sudah memintaku menjauh. Sekarang apa yang kau lakukan?"

"Kecilkan suaramu."

Donghae yang panik beringsut mendekat dan hendak menutup mulut Jin Ra sebelum gadis itu menangkis tangannya.

"Diamlah."

"Kalau begitu menjauh dariku!"

Dan refleks memberi beberapa pukulan di tubuh Donghae.

Pria itu mengangguk terpaksa dan menggeser duduknya menjauh.

"Menginap saja malam ini, kamar kalian sudah disiapkan."

Ibu Jin Ra muncul dan membuat Jin Ra berhenti menatap kesal Donghae.

Tapi berubah jadi tatapan terkejut saat berusaha mencerna perkataan sang ibu.

"Ah, tidak eomma. Kami pulang saja, lagipula ada pekerjaan yang harus Donghae selesaikan."

Jin Ra menepuk pelan pundak Donghae agar pria itu menatapnya; mencoba meminta kerja sama.

Mereka tidak mungkin menginap disini, apalagi dalam satu kamar yang sama.

Tidak mungkin.

"Tapi aku sudah lelah sekali, sayang. Kita menginap disini saja, eoh?"

Lelah? Sayang?

Sialan.

"Sudah. Akan bahaya jika Donghae menyetir dengan keadaan mengantuk. Lagipula dia juga belum pernah menginap disini, kan?"

"Ya, eommonim. Terima kasih."

Jin Ra mati-matian menahan diri untuk tidak mencakar wajah Donghae yang sedang menampilkan wajah konyolnya itu.

"Kalau begitu eomma tidur dulu. Jika kau memerlukan sesuatu, mintalah pada istrimu, Donghae-ah."

"Ne, eommonim. Aku mengerti."

Donghae menatap sumringah ibu Jin Ra yang masuk ke kamar, tanpa sadar dengan benih-benih emosi yang berterbangan di sekitar Jin Ra.

"Ayo kita ke-"

Gadis itu bahkan langsung berdiri meninggalkannya.

"Hei, kau marah?"

Donghae yang tidak ingin diam saja ikut berdiri dan mengikutinya.

Sebelum Jin Ra berhenti dan menahannya.

"Aku akan naik lebih dulu. Masuklah satu jam atau dua jam lagi, saat aku sudah tertidur."

"Tapi aku kan tidak tahu kamarmu. Jika aku masuk ke kamar yang salah bagaimana?"

"Aish! Jangan banyak alasan. Kau akan langsung tahu yang mana kamarku saat kau sudah ada di atas."

Tangannya tampak memberi isyarat agar Donghae tetap di tempat dan tidak mendekat.

Jin Ra lalu melanjutkan langkah untuk naik ke lantai atas. Sedang Donghae, yang karena tidak ada pilihan lain kembali duduk di sofa.

~

Jin Ra memainkan ponsel di genggamannya. Sudah hampir pukul satu pagi tapi dia bahkan tidak bisa memejamkan mata barang sebentar.

Entah karena sudah lama tidak berada di kamarnya di rumah ini atau karena hal lain.

Mungkin terpikirkan pria yang entah masih bertahan di ruang tamu atau sudah lenyap karena pria itu masih belum muncul di kamarnya.

"Cih. Dia tidak mungkin berani masuk kesini. Akan aku buat menyesal jika dia sampai menampakkan batang hidungnya."

Merubah posisi tubuh dan memeluk erat boneka, mencoba kembali memejamkan mata.

'Tapi apa benar pria itu tidak akan masuk kemari?'

'Lalu tidur dimana dia? Di sofa?'

'Tapi mungkin saja dia sudah pergi'

'Tidak mungkin dia pergi diam-diam'

"Baiklah baiklah."

Merasa tidak akan tenang jika tidak melihat langsung apa yang Donghae lakukan, Jin Ra turun dari tempat tidur dan keluar kamar.

Menuruni tangga dengan pelan saat melihat pria yang ia cari tengah terlelap di atas sofa dengan bantal sofa menutupi wajah.

"Benar-benar tidur di sofa."

"Ya sudahlah."

Gadis itu berbalik dan kembali menaiki tangga sebelum berhenti dan kembali melihat Donghae.

Bukankah akan menyebabkan masalah jika ibunya melihat pria itu tidak tidur di kamar tapi justru terlantar di ruang tengah?

"Aish!"

Tidak ada pilihan lain.

Jin Ra menuruni tangga dan mendekati sofa dimana Donghae berada.

Pria itu tampak sangat lelap dan tidak terganggu walaupun harus tidur disana.

Jin Ra lalu mencoba menyentuh lengan Donghae; sedikit menggoyang-goyangkannya.

Yang direspon dengan lenguhan tapi mata yang masih tertutup rapat.

"Lee Donghae..."

 "Hmm?"

Dia merespon tapi justru membalik tubuhnya ke samping.

"Bangunlah. Jangan tidur disini."

"Pergilah, Lee Jin Ra. Kau menganggu tidurku."

Dalam keadaan seperti ini pun dia masih bisa bersifat bossy.

"Aku hanya memintamu untuk berpindah tempat. Jangan tidur disini."

Merasa tidak akan mendapatkan respon lagi, Jin Ra menarik pipi Donghae dan memukul-mukul lengannya.

"Aish, baiklah baiklah."

Yang berhasil membuatnya bangkit dan langsung duduk dengan mata yang masih terpejam.

Dia tidak sadar jika posisi wajahnya sekarang berjarak sangat dekat dengan Jin Ra karena gadis itu duduk di pinggiran sofa di samping tubuhnya.

Sialan.

Beruntung Jin Ra sudah lebih dulu berdiri sebelum Donghae membuka mata.

"Naik!"

Rasa gugup membuat nada bicaranya seakan memerintah saat Donghae yang mengacak-acak rambut menatapnya.

Sedang pria itu hanya mengangguk malas dan mengikutinya yang sudah berjalan menaiki tangga.

"Kau sengaja bangun hanya untuk memintaku naik?"

"Aku memang belum tidur. Jangan terlalu percaya diri."

Donghae tersenyum tipis, memandangi kaki Jin Ra yang menaiki setiap anak tangga.

Saat sampai di lantai dua, ada 3 kamar disana. Satu kamar dengan pintu yang mencolok, karena ada beberapa hiasan serta nama seseorang yang sudah pasti pemilik kamar itu.

Benar yang Jin Ra katakan, kamarnya akan sangat mudah ditemukan.

"Tidak ada sofa disini."

Komentar pertama Donghae saat masuk ke kamar.

"Kau ingin aku tidur di lantai?"

Yang ditanya hanya menggeleng dan dengan ragu menunjuk tempat tidurnya.

"Aku tidak keberatan tapi kau?"

"Kau benar ingin tidur di lantai?"

"Tidak."

"Kalau begitu diamlah. Kau ada di kamar seorang gadis, jadi jangan berbuat macam-macam."

"Hei."

Donghae menyentuh tangan Jin Ra yang hendak berjalan ke tempat tidurnya.

"Maaf. Aku bukannya bermaksud mempermainkanmu."

"Kau sadar ternyata."

Matanya mengarah pada tangan Donghae yang masih menyentuhnya.

"Bukan begitu. Aku hanya-"

"Sudahlah. Sudah malam, aku mengantuk."

"Baiklah."

Memang karena tidak ada pilihan lain dan juga karena rasa kantuk yang sudah semakin menguasainya, Donghae mengikuti Jin Ra yang naik ke atas tempat tidur.

Gadis itu berbaring dan memalingkan tubuhnya ke samping; membelakangi Donghae.

"Selamat malam."

~

"Bagaimana tidurmu tadi malam, Donghae-ah?"

"Aku tidur dengan nyenyak, eommonim. Terima kasih."

"Baguslah. Jadi kau tidak akan merasa tidak nyaman jika harus tidur disini lagi nanti."

"Eomma, berhenti mengganggunya."

"Astaga. Eomma hanya bertanya."

Ibu Jin Ra mencubit pelan pipi putrinya dan membuat gadis itu mengerucutkan bibir.

Sedang Donghae hanya tersenyum riang dan melanjutkan sarapan.
"Kalau begitu habiskan sarapan kalian. Eomma ada perlu pagi ini. Jika kalian pulang jangan lupa beritahu Kim ajhumma."

"Baik, eommonim."

Donghae berdiri, meraih coat milik ibu Jin Ra dan membantu mengenakannya.

Membuat wanita itu tersenyum seraya menatap Jin Ra yang justru hanya mendengus dan melambaikan tangan.

"Kau tidak ke kantor?"

"Kau mengusirku?"

"Aku bertanya, bukan mengusir."

"Tidak. Lagipula tidak ada yang menarik di ruanganku sekarang."

"Ah... Karena tidak ada Chaebi?"

Donghae menggigit sandwich dan melihat Jin Ra sekilas lalu mengangguk.

"Benar. Karena tidak ada dia."

Membuat gadis di sampingnya itu ikut mengangguk malas.

"Kau yang memancingku dan kau sendiri yang merasa kesal."

"Hm?"

"Tidak. Lanjutkan saja makanmu."

~

"Aku muak dengan semua ini. Bisakah kau menghentikannya?"

Suasana tenang beberapa saat yang lalu menghilang sudah.

Entah karena siapa.

Mungkin Jin Ra tidak nyaman dengan tingkah Donghae yang semakin menjadi-jadi.

Sudah cukup dengan semua hal yang berhubungan dengannya saat menginap tadi malam. Dan sekarang?

Pria itu memaksanya untuk ikut ke rumahnya dan menunjukkan sebuah kamar yang tampak baru di dekorasi.

Kau tahu kamar apa? Kamar bayi.

Dinding dengan cat biru, sebuah tempat tidur kecil dengan beberapa mainan serta barang-barang di samping.

Kursi sofa bulat berukuran besar yang Jin Ra tahu kursi itu sering digunakan wanita yang hendak menyusui bayi mereka, karena kursi itu memang dirancang untuk itu.

Di sudut terdapat dua lemari kecil, satu lemari yang pasti akan digunakan untuk pakaian serta satu lagi lemari yang sudah terisi sebagian dengan beberapa boneka serta mainan-mainan bayi lainnya.

Di atas lemari itu terdapat bingkai foto yang berupa collage, ada foto pernikahan (kontrak) mereka lalu ada sisi kosong di tengah-tengah, seakan menunggu sebuah foto untuk diletakkan disana.

"Aku harus mengatakan sesuatu."

Tidak ingin membuat Jin Ra semakin marah, Donghae meraih tangan gadis itu dan memintanya duduk di sofa.

"Bisa beri waktu aku untuk mengatakan sesuatu?"

Lalu menarik kursi untuknya duduk agar berhadapan dengan gadis itu.

"Aku tahu kau akan kesal dengan sikapku yang kemarin memintamu menjauh tapi justru sekarang bersikap seperti ini."

"Aku senang jika kau sadar."

"Kau tahu kenapa aku seperti ini?"

"Karena kau memang suka mempermainkan seseorang."

"Tapi aku tidak suka mempermainkan hati seseorang."

Jin Ra menatap sinis dan sigap menjauhkan tangan saat Donghae hendak menyentuh tangannya.

"Dengarkan aku dulu."

"Ya. Tapi tidak perlu dengan memegang tanganku."

"Astaga."

"Atau kau ingin aku pergi sekarang?"

"Jangan."

Mereka tidak sadar saling berbuat konyol.

"Aku memang ingin segera mengakhiri kontrak kita."

Aku juga.

"Karena aku ingin memulai sesuatu denganmu."

"Memulai hubungan... Sungguhan."

Donghae tampak tidak berani menatap Jin Ra sekarang.

Mungkin karena sadar jika rencana yang sudah ia buat dulu gagal hingga membuat semuanya seperti ini.

"Maksudmu? Aku tidak mengerti."

"Aku berniat mengatakan sesuatu sebelum kontrak kita berakhir, aku ingin kita benar-benar menjadi pasangan sungguhan bukan kontrak. Tapi ternyata aku melakukan kesalahan dengan membiarkan emosi mengendalikanku dan membuatmu menjauh, membuat suasana di antara kita jadi buruk."

"Lalu apa yang membuatmu merasa hubungan kita sudah membaik sekarang?"

"Tidakkah seperti itu keadaannya?"

Jin Ra mengangkat bahu dan tersenyum masam.

"Aku serius."

"Aku juga. Kau pikir bagaimana perasaanku setelah hari itu? Aku mati-matian berusaha untuk tidak berdekatan dengan sesuatu yang berhubungan denganmu. Tapi kau? Dengan seenaknya melakukan semua ini."

"Karena itu aku ingin kau mendengarkan dulu penjelasanku. Setidaknya sebelum kau memutuskan semuanya."

"Aku sudah memutuskan, kau juga, kan? Apalagi yang kurang?"

"Kau tidak lihat kamar ini? Kau pikir aku mengambil keputusan yang sama sepertimu? Tidak."

Donghae bangkit dan mengambil figura foto di atas lemari. Menunjukkannya pada sang gadis.

"Kau lihat bagian yang kosong ini? Aku ingin mengisinya dengan foto buah hati kita nanti. Dan aku ingin mengganti foto pernikahan ini dengan foto pernikahan kita yang sebenarnya, bukan lagi kontrak."

"Kau sadar dengan apa yang sedang kau lakukan ini?"

"Aku menyebutnya sebagai 'melamar'."

"Aku menyebutnya sebagai rencana gilamu yang kedua."

"Ey, ayolah. Bersikap manislah sedikit."

"Tidak mau."

"Baiklah. Setidaknya berikan jawabanmu, jawaban yang benar-benar jawaban. Bukan kalimat untuk mengajakku berdebat, atau yang sejenisnya."

Donghae meraih tangan Jin Ra dan menggenggamnya dengan erat, tidak peduli sang gadis yang tampak berusaha melepasnya.

"Cepat! Jangan sampai aku harus melamarmu di depan ibumu."

"Lakukan saja jika kau berani."

Berhasil membuat Donghae menatap datar dan semakin menarik-narik tangannya.

"Kau tidak bisa memaksaku. Setidaknya bersikaplah seperti pria pada umumnya; mendekatiku dari awal. Bukannya tiba-tiba melamar seperti ini."

"Kita tinggal di rumah yang sama dan bahkan sudah tidur dalam ranjang yang sama. Kedekatan seperti apa lagi yang kau maksud?"

"Bukan yang seperti itu."

"Lalu?"

"Kau pikirlah sendiri."

Jin Ra menepuk paha Donghae lalu berdiri hendak menjauh.

"Baiklah baiklah, aku mengerti."

Pria itu justru dengan berani menahan dengan cara memeluknya dari belakang.

"Jika kau ingin aku melakukannya secara normal, aku akan melakukannya. Aku harus berkenalan denganmu, pendekatan, lalu nanti memintamu menjadi kekasihku, menjalin hubungan beberapa tahun lalu aku baru bisa melamarmu dan akhirnya kita menikah. Walau tidak masuk akal tapi aku harus melakukan itu, kan?"

Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

Dia bisa tersenyum karena yakin Donghae tidak akan menyadarinya.

Tapi kemudian...

"Tidak."

Dia melepas kaitan Donghae dan memberi jarak dengannya.

"Sebelum melakukan itu, selesaikan dulu hubunganmu dengannya."

"'Dengannya' siapa?"

"Tidak tahu. Dengan siapa saja yang kau rasa memiliki hubungan. Sebelum itu, jangan berani mendekatiku."

Jin Ra menepuk singkat dada Donghae lalu meraih tas dan pergi dari sana.

'Selesaikan semua'


~TBC~

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar