Rabu, 07 September 2016

Rewind (Can I?)





Author : Reni Retnowati
Cast : Kim Jongwoon, Park Hye Ri, Kim Kibum, etc.
Length : Oneshot


`

Suasana cafetaria kali ini cukup sepi. Mungkin karena banyak yang memilih untuk makan siang di luar.

Sebenarnya dia juga ingin pergi ke cafe atau restoran lain. Tapi pekerjaan yang menumpuk memaksanya hanya bisa menghabiskan waktu 10 menit untuk makan siang di cafetaria milik perusahaan tempatnya bekerja.

Atau lebih tepat disebut sebagai perusahaan miliknya.

Kim Jongwoon.

Pria dengan kacamata bening menghiasi kedua matanya itu sibuk memperhatikan tab yang menampilkan pekerjaannya hari ini.

Membuat secangkir kopi di depannya terabaikan.

Pria itu bahkan mungkin tanpa sadar juga mengabaikan sesosok manusia yang setia menggerutu di sampingnya.

"Aktingmu sungguh sangat tidak bagus. Kau seakan berpura-pura fokus pada pekerjaan tapi matamu sedari tadi berputar memandangi meja."

"Kau jika tidak ingin makan siang dan hanya berniat menggangguku, lebih baik pergi dan selesaikan pekerjaanmu."

"Pekerjaan yang mana? Bukankah kau sendiri yang memanggilku kemari?"

"Aku memanggilmu kemari untuk menjelaskan proposal yang kau susun. Bukan untuk mengomentari apa yang aku lakukan."

"Cih, kau sendiri yang mengacuhkanku. Sekarang kau menggerutu karena salahmu sendiri."

"Baiklah, Lee Sungmin. Sekarang kau jelaskan saja apa yang aku minta, setelah itu cepat pergi dari hadapanku."

Sungmin mengeluarkan tabnya dan membuka sebuah file.

Lalu menyodorkan benda itu pada sang atasan.

"Baca sendiri."

"Sialan."

Jika saja perasaannya tidak sebaik sekarang, mungkin pria imut di depannya itu tidak akan bisa tersenyum manis seperti saat ini.

Well, walaupun semua juga tahu jika dia akan lebih sering 'berperasaan' tidak baik dibanding sebaliknya.

Tapi terkecuali hari ini, dan mungkin hanya hari ini.

Seseorang di tempat yang jauh.

Atau lebih tepatnya di tempat yang tidak dapat ia datangi, tengah menemaninya berkirim pesan.

Hanya sebatas pesan memang. Tapi sudah cukup membuat hatinya berbunga-bunga.

"Kau pasti sedang memikirkan Hye Ri kan?"

Senyum yang awalnya terpatut di bibir Jongwoon mendadak hilang.

"Kau masih disini? Tidak berniat enyah dari hadapanku?"

"Tidak. Lagipula aku kan asisten yang baik, jadi aku berniat menemani CEO tercintaku ini makan siang."

Sungmin meraih kembali tabnya dan membuka note berisi jadwal milik Jongwoon.

"Meeting satu jam dari sekarang adalah jadwal terakhir hari ini. Kau bebas setelahnya."

Ucapnya setelah beberapa kali memeriksa catatannya.

"Bebas? Lalu berkas yang menumpuk di mejaku akan kau apakan?"

"Tenang saja. Aku yang akan mengurusnya. Bukankah sudah ku katakan tadi jika aku ini adalah asisten yang baik?"

"Kau menginginkan sesuatu, kan?"

Jongwoon menyesap kopinya dan mengernyit saat menyadari minuman itu sudah dingin.

"Tidak. Aku hanya ingin kau melakukan sesuatu yang membuatmu senang hari ini. Agar aku tidak terus-terusan menjadi sasaran uring-uringanmu."

Pria itu berdiri. Memeluk tabnya.

"Ajak pergi gadis impianmu itu, sebelum orang lain menyabetnya darimu."

Ucapnya yang sedetik kemudian berlalu sebelum sang atasan sempat memaki-makinya.

"Tahu apa dia tentang gadis impianku? Jika bukan karena pekerjaanmu yang memuaskan, aku pasti sudah mengirimmu ke kutub utara, Lee Sungmin-ssi."

Asistenmu itu tidak akan mendengar gerutuanmu, Jongwoon-ssi.

~

"Aku akan memeriksanya sekali lagi. Jika sudah ada keputusan, sekretarisku akan menghubungimu."

"Hye Ri?"

"Fokus, hyung. Fokus."

"Aku fokus. Buktinya aku paham jika Hye Ri yang akan menghubungiku."

"Baiklah, apa katamu saja. Dan karena meeting kita sudah selesai, kau bisa pergi sekarang."

"Kau mengusirku?"

"Ya."

"Haish."

Ketukkan pintu yang berhasil merebut perhatian kedua pria itu, menampilkan seorang gadis yang muncul setelah membukanya.

Hye Ri, dengan blazer hitam di tangannya itu tersenyum saat menyadari ada orang lain disana.

"Selamat siang, Lee Donghae-ssi."

"Cih, bukankah kau biasanya memanggilku 'oppa'?"

"Tidak saat sedang waktu bekerja."

Ucapnya santai lalu menatap pria lain yang duduk di singgasananya.

"Ingin aku pesankan makan siang?"

Pria itu menggeleng, berbanding terbalik dengan Donghae yang sudah dengan wajah ceria mengangkat telunjuknya.

"Kau juga ingin aku pesankan makan siang, oppa?"

Gadis itu menekankan kata 'oppa' agar pria childish di hadapannya itu tidak lagi protes.

"Boleh. Pesankan saja untuk kita berdua. Kibum sepertinya tidak pernah lapar."

Ucapannya mendapat tanggapan tatapan kesal dari yang disebut.

Walau tentu saja Donghae tidak akan tahu karena pria itu membelakanginya.

"Aku sudah makan siang. Aku pesankan untukmu saja."

"Dan kau benar-benar tidak ingin makan sesuatu?"

Sekali lagi. Dia perlu tahu apa yang diinginkan Kibum.

"Tidak. Urus saja orang di depanku ini, agar dia bisa segera pergi dari sini."

"Baiklah."

Beberapa orang mungkin akan berpendapat buruk jika mendengar cara bicara Hye Ri yang informal pada Kibum.

Padahal pria itu adalah atasan sekaligus CEO di tempatnya bekerja.

Tapi jika sudah menyadari hubungan mereka yang cukup 'dekat', kau akan tahu ketidakperluan bicara formal jika hanya ada mereka berdua.

Terlebih meja kerja Hye Ri yang berada di ruangan Kibum. Tepatnya di samping pintu ruangan yang membuatnya berhadapan dengan meja besar sang CEO.

Membuat intensitas percakapan mereka semakin sering.

Entah membicarakan pekerjaan atau yang lainnya.

Walau terkadang Kibum akan tampak sangat dingin dan menyebalkan.

Tapi pria itu akan sangat ramah dan menghibur jika emosinya tidak sedang terganggu.

Atau mungkin lebih tepatnya 'hanya' ramah padanya saja.

Apa kita memikirkan hal yang sama? Sepertinya ada yang lain dari hanya sekedar hubungan antara atasan dan sekretaris.

Ya, mungkin.

~

"Ini pesanannya. Selamat menikmati."

"Terima kasih."

Dua mangkuk es krim yang disodorkan oleh pelayan cafe itu membuat Jongwoon tersenyum.

Membayangkan wajah gadis yang akan menikmati salah satu es krim coklat di tangannya.

Gadis itu akan langsung melupakan semua hal dan hanya fokus pada sendok dan es krimnya nanti.

"Es krim coklat pesananmu, tuan putri."

"Terima kasih, oppa."

Pria itu sendiri, duduk dan menghadap es krim cappucino untuknya.

"Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau mau ikut pergi denganku."

"Aish, berlebihan. Kau seperti orang asing saja."

Orang terdekat yang mulai asing, tepatnya.

"Bukan begitu. Hanya saja kau terlalu sibuk dan aku tidak berani mengganggu waktumu."

Jongwoon tersenyum memperhatikan sendok sang gadis yang tanpa berhenti mengambil es krim itu sedikit demi sedikit.

"Aku justru selalu menunggu saat kau akan mengajakku pergi dan menikmati es krim seperti ini."

"Astaga, Hye Ri-ah. Kau hanya memanfaatkanku untuk semangkuk es krim itu?"

"Ya, begitulah."

"Hah, aku berpikir akan memindahkan cafe es krim ini ke samping perusahaan ku nanti jika kau terus mengincarnya."

"Ide bagus. Aku akan semakin sering bertemu denganmu nanti jika aku membeli es krim disini."

Benar. Itu juga yang aku harapkan.

"Dan kau akan semakin sering menggangguku."

"Haha, aku suka mengganggumu."

Dan aku suka itu.

"Sudah. Habiskan es krimmu cepat. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat setelah ini."

"Kemana?"

"Itu rahasia, tuan putri."

"Menyebalkan."

"Aku tahu."

~

"Memangnya kau tidak ada meeting atau semacamnya hingga berani mengajakku kemari?"

"Kalaupun ada meeting atau semacamnya, aku akan tetap berani membawamu kemari."

"Benarkah? Kalau begitu jangan mengajakku pulang dalam waktu beberapa jam ke depan."

"Aku tahu. Aku juga sudah bersiap-siap jika kau akan roboh setelah mencoba semua permainan disini."

"Enak saja. Aku tidak selemah itu."

"Oh, benarkah? Aku tidak lupa kau merengek meminta pulang saat baru mencoba satu permainan di tempat ini saat kita sekolah dulu."

"Dulu. Sekarang beda."

"Baiklah. Kita lihat seberapa lama kau akan bertahan di tempat ini."

Jongwoon meraih tangan Hye Ri dan membawanya masuk ke theme park yang cukup ramai hari ini.

Ingin menghabiskan waktu bersama sahabatnya itu.

Dia suka menghabiskan waktu bersama Hye Ri dan berharap akan terus bisa menghabiskan waktu bersama gadis itu.

Seperti saat mereka masih sekolah dulu.

FLASHBACK

"Oppa, nilaiku bagus, kan?"

Hye Ri terus mengibarkan kertas ujian dengan nilai 90 yang tertera disana.

Bangga dengan hasilnya.

"Tentu saja. Kau kan memang pintar, tuan putri."

Dia menjawab dengan tangan yang terus memutar-mutar bola.

"Kalau begitu ayo kita pulang. Kenapa kau terus diam disini?"

"Aku memikirkan hadiah apa yang harus aku berikan padamu."

"Hadiah? Aku suka hadiah."

"Tidak ada yang tidak suka hadiah."

Jongwoon berdiri dan menarik gadis itu bersamanya.

Membawanya ke kedai kecil di dekat sekolah mereka.

"Es krim untukmu."

Dan memberinya satu cone es krim vanilla.

"Aku ingin es krim coklat."

"Ini tidak kalah enaknya dari es krim coklat."

"Tapi aku tidak ingin yang lain, oppa."

"Bukankah ini hadiah dari oppa? Kau tidak boleh menolak hadiah apapun yang diberikan untukmu."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Jika kau menerima ini, oppa akan membelikan es krim coklat untukmu lain kali. Bagaimana?"

"Janji?"

"Janji."

"Jika besar nanti kau tidak lupa janjimu?"

"Kau sudah cukup besar, Hye. Apalagi aku."

"Cepat ambil sebelum es krimnya meleleh."

Hye Ri yang hanya diam menatapnya mengambil es krim di tangannya.

Dan terus menatapnya.

"Baiklah. Aku tidak akan lupa janjiku. Walaupun saat kau sudah besar. Puas?"

Gadis itu hanya mengangguk.

Dengan senyuman yang terus mengembang di wajahnya.

Senang dengan janji dari sang oppa.

FLASHBACK ENDS

"Bagaimana? Sudah puas?"

"Belum. Tapi aku lapar."

"Itu karena kau tidak ingin aku ajak makan tadi."

"Tadi kan aku belum lapar."

"Aish, lihatlah. Selalu tidak ingin kalah dariku."

"Oppa."

"Baiklah, jangan mulai merengek. Tunggu disini."

Jongwoon meninggalkan Hye Ri yang mengistirahatkan tubuhnya di bangku panjang yang terletak di dekat permainan roller coaster.

Lelah, tapi menyenangkan.

Cukup ampuh untuk mengurangi kepenatannya bekerja selama semingguan ini.

"Aku tidak menyangka kau mau pergi ke tempat seperti ini."

Seseorang yang baru duduk di sampingnya itu membenarkan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya.

"Aku lebih tidak menyangka jika aku bisa bertemu denganmu disini."

"Aku menemani seseorang."

"Aku juga."

"Kekasihmu?"

"Bukan urusanmu, bos."

"Benar berarti."

Hye Ri mengibaskan tangan; tidak peduli dengan ucapan Kibum.

Lagipula bisa-bisanya mereka bertemu disini.

"Oppa..."

"Hey, sudah habis es krimnya?"

"Hmm."

Hye Ri memperhatikan anak perempuan yang lari ke pelukkan Kibum.

"Ingin main lagi? Atau ingin pulang?"

"Pulang. Nanti eomma marah pada oppa."

"Kenapa oppa? Bukankah Jaena sendiri yang menangis dan meminta pergi kemari?"

"Bukan Jaena, tapi oppa."

"Bukan oppa tapi Jaena."

Pria itu terkekeh saat Jaena memukulkan tangan kecilnya ke dadanya.

Dia lalu menoleh dan mendapati Hye Ri tersenyum saat menatapnya dan Jaena.

"Putri pamanku."

Ucapnya; mengenalkan.

"Usianya?"

"Hampir enam tahun."

"Kau tampak dekat dengannya."

"Bisa dibilang seperti itu. Dia sangat menempel padaku."

"Dan kau terlihat tidak cukup menyeramkan saat ini."

"Aku tidak selalu dingin pada orang-orang."

"Tepatnya hanya sesekali."

"Kau tampak sangat mengenalku."

"Aku sekretarismu. Kau lupa?"

"Ah ya, sekretarisku yang cerewet."

Gadis itu mengalihkan pandangan pada Jongwoon yang muncul dengan kotak makanan di tangannya.

"Maaf aku lama."

Kibum yang sudah menurunkan Jaena dari pangkuannya berdiri dan menjabat tangan Jongwoon yang pria itu sodorkan.

"Lama tidak berjumpa, Kibum-ah."

"Ya, hyung."

Tidak mungkin mereka tidak saling kenal. Justru hubungan mereka lebih dekat dari yang terlihat.

"Hai Jaena."

"Woonie oppa."

Setelah memberikan kotak makanan dan minuman pada Hye Ri, Jongwoon berjongkok dan mengangkat Jaena ke gendongannya.

"Kau tidak rindu pada oppa?"

"Tidak."

"Eoh, benarkah? Kejam sekali."

Jaena tertawa dan melingkarkan kedua tangan ke leher Jongwoon; memeluknya.

"Kau hanya bersama Kibum oppa?"

Kibum tampak memperhatikan Hye Ri lalu Jongwoon.

Menyadari sesuatu.

"Kalian pergi bersama?"

Tanyanya yang mendapat anggukan dari Jongwoon.

Sedang Hye Ri, sibuk menghabiskan minuman dinginnya.

Baiklah, dia juga tahu jika kedua orang itu bersahabat.

"Ingin ikut oppa? Kita berkeliling lagi bersama eonni itu?"

Jongwoon menunjuk Hye Ri yang melambai pada Jaena.

Dan anak itu mengangguk.

"Baiklah. Kebetulan aku ada pekerjaan mendadak."

"Kau bersama Jongwoon oppa saja, eoh? Dan jangan nakal."

Kibum mengusap puncak kepala Jaena dan membuat anak itu tersenyum.

"Aku pergi, hyung."

"Ya."

~

"Jaena manis sekali."

"Kau belum pernah bertemu dengannya ya."

"Hm. Ini pertama kali."

Hye Ri membersihkan sudut bibir Jaena.

"Aku juga jarang bertemu dengannya. Dia lebih dekat dengan Kibum dibanding denganku."

"Mungkin karena Kibum lebih muda darimu."

"Katakan saja jika aku tua."

"Haha, kau sendiri yang mengatakannnya."

Jongwoon melengos dan kembali memperhatikan Jaena.

"Kelihatannya kau semakin dekat dengan Kibum."

"Mau tidak mau. Aku kan sekretarisnya."

"Apa dia semenyebalkan itu sampai kau tidak nyaman dengannya?"

"Tidak. Hanya saja dia terlalu dingin dan cuek. Walau dia atasan tapi setidaknya dia bisa sedikit ramah padaku, bukannya selalu memarahi tanpa alasan dan membuatku bekerja melebihi aturan."

"Tapi aku juga sering memarahimu dulu."

"Kau berbeda, oppa. Kau mengenalku dengan baik, dan jika kau marah itu artinya aku memang melakukan kesalahan. Aku sama sekali tidak merasa kesal padamu. Justru aku merasa tidak nyaman jika kau mengacuhkanku."

"Ah, benarkah? Aku pikir kau menganggapku berlebihan."

"Tidak. Aku kan tahu jika kau menyayangiku."

"Eonni?"

"Ya, sayang?"

Jaena memandang Jongwoon dan Hye Ri bergantian.

Membiarkan sang oppa membelai rambutnya.

"Apa eonni dan oppa akan menikah?"

"Oh?"

Hye Ri hendak berkomentar sebelum tertahan karena menahan tawa melihat Jongwoon yang tersedak minumannya.

"Jaena. Kau belajar darimana untuk menanyakan itu?"

Jaena menggeleng dan melihat Hye Ri yang menyodorkan tisu untuk Jongwoon.

"Dan memangnya kenapa? Apa oppa tidak boleh menikah dengan eonni?"

"Tidak."

"Tidak? Lalu oppa harus menikah dengan siapa?"

"Jaena."

"Jaena? Bukankah Jaena bersama Kibum oppa?"

Hye Ri menopang dagu dan tersenyum memperhatikan Jongwoon yang terus menanggapi ocehan Jaena.

"Tidak."

"Tidak? Baiklah, jika Jaena berjanji untuk tidak nakal dan belajar dengan baik nanti oppa akan menikah dengan Jaena. Ya?"

"Ya!!"

Jaena tertawa dan merentangkan tangan; meminta Jongwoon untuk memeluknya.

Yang langsung saja pria itu sambut, dia mengangkat Jaena dan meletakkan anak itu ke pangkuannya.

"Kau lucu sekali, Jaena."

Hye Ri mengusap pipi berisi Jaena.

"Sekarang selesaikan makanmu, agar kau cepat besar dan bisa menikah dengan oppa."

"Ne."

~

"Kau belum mengatakannya?"

"Mengatakan apa?"

"Mengatakan jika kau mencintainya sejak lama? Menyukainya bukan sebagai adik atau sahabat, tapi lebih dari itu? Kau tidak mengatakan itu?"

"Kau pikir aku bisa dengan mudah mengatakannya? Terlalu cepat. Dia akan terkejut."

"Terlalu lama? Memangnya kau sudah menyukainya sejak kapan? Sejak 10 tahun yang lalu, bos."

"Jangan bertingkah seakan kau tahu semuanya."

"Tentu saja aku tahu. Hanya melihat matamu yang berbinar saat bertemu atau bahkan hanya berbicara melalui telepon dengannya, aku sudah tahu bagaimana perasaanmu."

"Lee Sungmin."

Jongwoon melonggarkan dasi yang seakan bergerak sendiri dan mengetat di lehernya.

"Kau seenaknya menasehatiku? Atasanmu? Kau bahkan tidak lebih berpengalaman dariku."

"Setidaknya aku sudah berhasil.menikahi gadis yang ku cintai."

Pria itu mengibaskan tangan; bangga dengan fakta jika dia lebih baik dari sang atasan dalam hal asmara.

"Aku bukannya ikut campur, aku hanya khawatir kau akan dilangkahi oleh orang lain."

"Tidak, tenang saja. Aku akan memilih waktu yang tepat untuk mengatakannya."

"Ya, semoga. Dan jangan uring-uringan di hadapanku jika kau gagal, eoh?"

"Tidak akan."

~

Baiklah, sudah cukup dengan tatapan aneh semua orang hari ini.

Bahkan pria itu, pria labu yang duduk di mejanya juga terus saja menatapnya.

"Ada yang salah, Lee Sungmin-ssi?"

"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu? Ada yang salah darimu?"

"Tidak. Memangnya kenapa?"

"Memangnya kenapa? Kau tahu? Sejak tiba di lobi, semua orang menatapmu aneh. Kau tahu karena apa? Tidak seperti biasanya, kau terus tersenyum bahkan menyapa lebih dulu beberapa karyawan yang berpapasan denganmu."

"Apakah itu salah?"

"Tentu saja. Kim Jongwoon yang selalu tampak serius dan terkadang dingin, bahkan hanya akan cuek saat orang-orang menyapanya. Sekarang?"

"Aku hanya sedang gembira. Wajar, kan?"

"Memangnya gembira karena apa?"

Sungmin menghampiri meja Jongwoon.

Meletakkan sebuah file dan kembali ke mejanya.

"Kau lupa tanggal berapa hari ini?"

"24 Agustus."

"Ada yang spesial?"

"Kau bahkan tidak ingat? Pantas saja."

Pria itu menatap note berisi jadwal Jongwoon yang ia pegang.

"Astaga. Hari ini hari ulang tahunmu, bukan?"

"Baguslah. Kau tidak jadi aku mutasi ke Afrika."

Jongwoon menunduk dan menandatangani berkas yang Sungmin berikan tadi.

"Hanya karena itu? Kau tidak biasanya gembira hanya karena kau berulang tahun."

"Itu karena kau tidak tahu apa-apa. Ada hal menarik yang akan aku lakukan hari ini."

"Dan itu adalah?"

"Rahasia."

"Cih. Bermain rahasia denganku."

Dia kembali mendengus saat mendapati sang atasan yang hanya tersenyum ambigu menanggapi ucapannya.

Pria itu sudah benar-benar gila sepertinya.

~

"Makan malam? Tidak biasanya kau mengajakku makan malam."

"Ah, benarkah?"

"Tentu saja aku ingat. Tidak mungkin aku lupa dengan ulang tahunmu."

"Baiklah, jemput aku nanti."

"Sampai jumpa, oppa."

"Jongwoon hyung?"

"Tahu darimana?"

Hye Ri meletakkan ponselnya ke dalam tas.

"Dia satu-satunya yang berulang tahun hari ini."

"Ada banyak orang yang berulang tahun hari ini."

Lalu meraih cangkir kopi kosong di meja Kibum.

"Dia mengajakmu makan malam?"

"Ya begitulah."

"Pasti akan menyenangkan."

"Ada apa sebenarnya denganmu?"

Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Apa?"

"Kau. Sinis sekali, seperti tidak suka melihatku merasa senang sedikit saja."

"Aku? Untuk apa? Aku kan tidak berhak ikut campur urusanmu."

"Kau sadar itu."

Dia kembali membalik badan; hendak keluar.

Sebelum sang atasan bergerak cepat menahannya.

"Ada yang ingin aku katakan."

~

"Wah, tempat ini."

"Kau suka?"

"Tentu saja, oppa. Aku lama tidak datang kemari."

Jongwoon tersenyum.

Meraih tangan Hye Ri dan membawanya masuk ke restoran bergaya antik yang memang sering mereka kunjungi dulu.

Terutama saat sedang merayakan sesuatu.

"Kau ingin apa?"

Seorang pelayan wanita datang dan memberikan daftar menu untuk mereka.

"Yang sering kita pesan saat kemari."

"Baiklah."

Pria itu lalu mulai menyebutkan beberapa hidangan untuk mereka malam ini.

"Mereka masih memainkannya."

Hye Ri menatap beberapa orang yang memainkan alat musik di panggung kecil di tengah-tengah restoran.

"Itu salah satu keunikkan disini. Dan salah satu alasan kenapa kau menyukai tempat ini."

"Hm. Kau benar."

"Dan ngomong-ngomong, kau terlihat cantik."

Jongwoon memperhatikan Hye Ri yanh menyibakkan rambutnya.

Wajahnya sedikit memerah karena pujian singkat itu.

Rok di bawah lutut dengan motif biru pastel serta pakaian rajut dengan warna senada.

"Terima kasih. Aku tidak sempat menyiapkan pakaian spesial untuk malam ini."

"Tidak apa. Lagipula kau tampak cantik dengan pakaian apapun."

"Baiklah, aku tahu. Dan berhenti memujiku, kau akan kehilanganku saat aku terbang terlalu tinggi nanti."

"Hahaha, tenang. Aku akan selalu memegang erat tanganmu, jika kau mulai terbang aku akan langsung menarikmu."

"Omong kosong."

Jongwoon tertawa dan membuat Hye Ri mengalihkan wajah; menahan senyuman.

Tidak berapa lama hidangan yang mereka pesan datang dan ditata rapi di atas meja.

"Selamat makan, tuan putri."

"Haha, ne oppa."

~

Dia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin.

Sedikit merapikan rambut serta pakaiannya.

"Tidak adakah yang ingin menyemangatiku?"

Bertanya pada dirinya sendiri.

Tangannya meraih sesuatu yang berada di saku celana.

Kotak kecil bewarna merah yang sedari tadi membuat perasaannya tidak tenang.

Atau lebih tepatnya, gugup.

"Ingin melamar seseorang?"

Seorang pria yang muncul dan berdiri disampingnya, menatap sekilas kotak merah itu.

"Ya."

"Gugup?"

"Haha, tentu saja. Aku lebih takut dengan reaksinya daripada proses aku mengatakannya nanti."

"Jangan gugup atau dia akan berpikir kau hanya main-main."

"Aku berusaha."

"Kalau begitu semangat."

Pria itu menepuk pundaknya dan keluar dari toilet.

Membuatnya kembali menghebuskan nafas panjang.

"Aku akan berusaha."

~

"Itu menu baru yang mereka sediakan."

Hye Ri mengangguk dan kembali menikmati hidangannya.

"Kau yang berulang tahun tapi sepertinya aku yang mendapat perlakuan istimewa."

"Karena kau adalah hadiahku. Aku harus memperlakukan hadiahku dengan spesial, kan?"

"Kau pasti sedang merencanakan sesuatu kan?"

"Haha, tidak. Jangan berburuk sangka padaku."

Gadis itu hanya mendengus dan memperhatikan seorang pria yang sedang memainkan piano.

Permainan yang cukup menarik. Membuatnya terdiam dan menikmatinya.

Bahkan tidak menyadari Jongwoon yang terus menatapnya.

"Hye?"

"Ya?"

"Ada yang ingin aku katakan."

"Apa?"

"Lihat dulu aku."

Dia memutar mata; kesal.

Dan membenarkan posisi duduknya lalu menatap Jongwoon.

"Aku... Kau... K-kau mungkin akan terkejut. Tapi... aku harus mengatakannya."

Gadis itu menatapnya.

Curiga.

"Ya? Ada apa?"

Terlebih sekarang pria itu menggaruk leher belakangnya; canggung.

"Jangan membuatku takut, oppa."

Pria itu menggeleng.

Sekarang tangannya turun dari meja.

Mengambil sesuatu?

Yang kemudian ia letakkan di meja dan menyodorkannya mendekat ke arah sang gadis.

Gadis yang hanya bisa diam dengan wajah terkejutnya.

Menatap benda itu lalu wajah Jongwoon.

"Jangan bercanda."

Jongwoon menggeleng dan membuka benda yang ia pegang itu.

Dan menunjukkan cincin polos yang berkilau karena pantulan cahaya lampu.

"Aku ingin mengatakan perasaanku padamu."

Ucapnya pelan; sedikit ragu.

Yang tidak mendapat tanggapan apa-apa.

Selain tatapan Hye Ri yang semakin terkejut.

Dan seakan terlalu cepat untuk dia cerna, gadis itu berdiri meraih tasnya dan berlalu pergi.

Beruntung ia masih cukup sadar untuk mengejar gadis yang sudah melewati pintu keluar itu.

"Hye!"

Gadis yang berhenti beberapa langkah di depannya itu tampak menunduk.

Dan tubuhnya bergerak seakan ia tengah menangis.

Menangis?

"Hye."

Dia berbalik.

Dan benar, ada air mata yang mengaliri pipinya.

Sedang Jongwoon hanya bisa diam dan memperhatikan lekat Hye Ri yang perlahan mendekat.

Bibirnya tampak mengucap kata 'maaf'.

Dan sekali lagi.

Terlalu cepat untuk ia cerna; Hye Ri mengecup pipi kirinya lalu berlalu menjauh.

Meninggalkannya mematung di tempat.

Tepat. Ini yang ia takutkan.

Yang membuatnya selalu menahan diri untuk tidak membahas perasaannya pada Hye Ri.

Dan sekarang apa?

Apa yang akan ia lakukan selanjutnya?

Saat gadis itu bahkan terus berjalan menjauh tanpa sedikitpun menoleh padanya.

~

"Kau kenapa? Beberapa hari ini kau selalu diam dan menghindar dari kami."

"Tidak, eomma. Apa yang eomma katakan. Aku tidak menghindari siapapun."

"Jongwoon-ah, tidak perlu menutupinya. Eomma adalah ibumu, tidak ada hal yang bisa kau sembunyikan dari eomma."

Pria itu mengusap kasar wajahnya.

Benar. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari sang ibu.

"Tidak. Aku hanya kelelahan. Eomma tahu pekerjaanku semakin menumpuk."

"Benarkah? Hanya itu?"

"Benar. Aku tidak mungkin berbohong."

"Baiklah."

Sang ibu meletakkan sebuah kotak besar di samping tempat tidurnya.

"Bisa kau antar ini ke rumah pamanmu? Bibimu memerlukannya."

"Apa itu?"

"Bukan apa-apa. Hanya keperluan untuk wanita."

"Hm. Aku akan mengantarnya."

Ibu Jongwoon mengangguk dan berlalu dari kamar sang anak.

Menutup pintu dan berdiam disana.

Mencoba memahami perasaan Jongwoon.

Yang sepertinya ia tahu apa penyebabnya.

~

Mobil Jongwoon memasuki pekarangan rumah sang paman dan memarkirkannya di samping mobil sport hitam yang sudah jelas siapa pemiliknya.

"Tidak biasanya dia ada di rumah di jam seperti ini."

Dia turun dengan kotak titipan sang ibu.

Berjalan memasuki rumah yang suasananya cukup berbeda hari ini.

Atau dia saja yang memang tidak sering kemari dan jadi merasa asing dengan rumah itu?

"Jongwoon-ah."

"Paman."

"Apa kabarmu?"

Pria yang merupakan kakak dari ayahnya itu mendekat dan memeluknya erat.

"Baik. Paman sendiri?"

"Sama sepertimu."

Jongwoon mengangguk dan sekali lagi memperhatikan keadaan sekitarnya.

"Sepertinya ada sedikit perubahan dekorasi. Ada sesuatu yang terjadi, paman?"

"Tidak. Hanya ingin mengubah suasana saja dan sedikit bersih-bersih."

"Hm? Tidak biasanya."

Pria itu terkekeh dan membawanya duduk ke sofa.

"Kau selalu peka."

"Tentu saja. Keponakanmu ini kan manusia paling peka yang pernah ada."

"Hahaha, kau benar."

"Jadi? Apa akan ada acara?"

"Hanya makan malam."

"Makan malam dengan tamu yang spesial pasti."

Dia memperhatikan wanita berusia sama seperti ibunya yang menuruni tangga dan tersenyum saat menyadari kehadirannya.

"Kau disini?"

"Ya, bibi. Eomma menggangguku dan memintaku mengantar kotak ini kemari."

Tangannya menunjuk kotak yang sudah ia letakkan di atas meja di tengah-tengah sofa.

"Benarkah? Maaf merepotkanmu kalau begitu."

"Haha, tidak. Aku hanya bercanda."

"Jadi, siapa tamu yang akan datang?"

Tanyanya lagi saat sang bibi ikut duduk di sofa yang berhadapan dengannya.

"Keluarga dari seorang gadis yang akan dikenalkan Kibum."

"Kibum? Siapa? Kekasihnya?"

"Ya. Bisa dibilang seperti itu. Sepupumu itu tiba-tiba saja mengatakan ingin mengadakan makan malam dan mengundang mereka."

Jongwoon sekali lagi mengangguk.

Sedikit ragu untuk bertanya.

Setahunya Kibum tidak memiliki kekasih.

Tapi toh hubungan mereka tidak sedekat itu hingga Kibum harus menceritakan semua hal kepadanya.

"Siapa gadis itu, bi?"

"Ah aku lupa namanya."

"Namanya Park Hye Ri."

Jongwoon serta paman dan bibinya sontak menoleh ke seseorang yang berdiri di ujung tangga.

"Jongwoon hyung mengenalnya, eomma."

Pria itu berjalan mendekat dan menatap lekat wajah Jongwoon.

Seakan menikmati wajah terkejut dari sepupunya itu.

"Ya, Park Hye Ri. Kau mengenalnya, Jongwoon-ah?"

Ibu Kibum menatap Jongwoon yang hanya terdiam dan memandang Kibum.

"Dia sahabatnya yang kebetulan bekerja sebagai sekretarisku."

Hingga Kibum sendiri yang kembali bersuara.

"Ah, benarkah? Dunia begitu sempit, ya?"

"Jongwoon-ah."

Pria itu bahkan masih membeku.

Sama sekali tidak terpengaruh dengan tepukkan di pundak oleh pamannya.

"Paman... a-aku harus pergi."

Dia seperti tersadar dan akhirnya menatap pria yang memberikan ekspresi heran di sampingnya.

"Aku harus ke suatu tempat. Maaf."

Lalu berdiri dan pergi begitu saja.

Meninggalkan kebingungan di wajah paman dan bibinya.

Selain Kibum tentu saja.

~

"Yaa!! Jika ingin bunuh diri jangan di rumahku. Cari tempat lain saja!"

"Diamlah, bodoh."

"Eoh? Kau sebut aku bodoh? Jika bukan karena kau atasan aku sudah mengusirmu sejak kau menginjakkan kaki di teras rumahku!"

"Lee Sungmin... Berikan botolnya."

Tangannya bergerak gelisah; mencoba meraih botol di tangan sang sahabat.

"Sialan kau, bos."

Membuat Sungmin berupaya keras menahan emosi.

Dan memilih berdiri serta menyingkirkan botol-botol whiski yang masih penuh dan membawanya ke dapur.

Atau lebih tepatnya ke keranjang sampah.

Tidak memperdulikan Jongwoon yang terus menerus memanggil namanya.

Beruntung istrinya tengah tidak ada di rumah.

Sehingga tidak harus mendapati atasan suaminya tengah sekarat di ruang tamu sana.

"Bodoh. Aku tidak mengira bisa memiliki sahabat serta bos yang bodoh seperti dia."

"Untuk apa memiliki jabatan tinggi dan pintar, jika hanya untuk mendapatkan gadis impiannya saja dia tidak bisa."

Tangannya dengan kaku mengaduk teh mint yang tengah ia buat.

Untuk membantu menghilangkan pengar yang dirasakan Jongwoon dan agar pria itu bisa segera sadar.

"Seandainya teh mint ini bisa membunuhmu, aku akan bersedia membuatkannya setiap saat."

Benar yang dikatakan Jongwoon; asistennya ini tidak akan kalah jika harus berdebat dengan karyawan wanita tercerewet sekalipun.

Mulutnya tidak bisa diam.

"Sekali lagi sialan kau, bos."

Sungmin menatap kesal Jongwoon yang duduk di lantai dan menyandarkan tubuh ke sofa.

Pria itu menangkupkan kedua tangan ke wajah.

"Minum ini. Agar kau tidak semakin menggila di rumahku."

Sungmin mendekatkan teh buatannya ke ujung meja; tepat di depan sang atasan.

"Aku begitu bodoh, kan?"

Dia bahkan masih bisa sadar hanya untuk berkata seperti itu.

"Sangat."

"Dia bahkan tidak mencintai Kibum. Tapi sekarang bahkan keluarga mereka sudah bertemu."

"Dari mana kau tahu? Mungkin saja mereka memang sudah memiliki hubungan sejak lama."

"Aku tidak merasa sesakit ini saat dia menolakku malam itu. Tapi saat mengetahui jika dia berhubungan dengan sepupuku sendiri? Kenapa aku merasa seperti dikhianati? Apa mereka tidak peduli dengan perasaanku?"

"Hush. Kau mabuk. Jangan bicara yang macam-macam."

"Aku... aku tidak mabuk."

Jongwoon bergerak membenarkan posisi duduknya lalu mendongak menatap Sungmin yang duduk di sofa di depannya.

Walau dengan kepala yang masih beberapa kali terantuk.

Dia tidak pernah separah ini sebelumnya.

"Jika dia menolakku karena belum siap atau alasan lain, aku masih bisa terima. Tapi ini? Dia akan menikah!"

"Tunangan! Hanya bertunangan."

Koreksinya.

"Apa kau pikir aku masih memiliki kesempatan setelah mereka bertunangan?"

"Aku tidak sebejat itu, merebut gadis sepupuku sendiri."

"Kalau begitu berhenti meraung-raung. Berhenti menyalahkan mereka yang diam-diam memiliki hubungan di belakangmu."

"Lagipula kau bukan siapa-siapa. Apa hakmu melarang Hye Ri berhubungan dengan pria lain, bodoh?"

"Aku?"

Walau dengan level ketidasadaran seperti itu ternyata otaknya masih bekerja cukup baik untuk menangkap semua perkataan lawan bicaranya.

Atau mungkin dia hanya bicara asal dan akan melupakan percakapan ini esok harinya?

Mungkin.

"Aku sahabatnya. Aku pria yang hampir selalu ada disampingnya. Menemani dan menjaganya. Aku yang seharusnya berhak bersamanya."

"Dan kau yang seharusnya lebih dulu menyatakan perasaanmu padanya!"

Sungmin refleks melempar bantal sofa ke arah Jongwoon dan berhasil mengenai kepalanya.

Emosinya jadi memuncak karena pria ini.

Gila. Kenapa jadi dia yang harus marah sekarang?

"Apa yang harus aku lakukan?"

Menangkupkan kedua tangan ke wajahnya (lagi).

"Berhenti meratapi semuanya. Kau terlambat."

"Seperti yang kau katakan; kau tidak akan bisa menjangkaunya lagi setelah ini."

Jongwoon membenamkan wajah ke kedua tangan yang ia lipat di atas meja.

Benar. Dia tidak bisa menjangkau gadis itu lagi.

Dia tidak akan bisa.

Entah karena memang dia tidak akan sanggup atau fakta jika gadis itu bersama Kibum yang notabenenya adalah sepupunya yang membuatnya tidak mampu.

Kau tidak sedekat itu dengan Kibum, tapi kau bahkan merelakan gadis impianmu untuknya.

Konyol.

~

"Aku akan kesana, bibi. Tenang saja. Dia akan aman bersamaku."

"Baiklah. Sampai jumpa."

Sungmin menggeser layar ponselnya dan meletakkan benda itu ke saku jas.

Dia bahkan hampir menabrak seseorang karena kegiatannya itu.

"Eoh, maaf."

"Hye?"

Sedang orang itu hanya menatapnya dengan senyuman tipis.

"H-hai, oppa."

Berusaha mengontrol ekspresi wajahnya, Sungmin menatap sekilas paper bag di tangannya.

Lalu kembali menatap gadis yang menunduk itu.

Tampak hendak mengatakan sesuatu tapi ia tahan.

"Ada apa kau kemari?"

Pertanyaan konyol.

Hanya ingin memastikan tujuannya.

"Aku... apa Jongwoon oppa ada... di ruangannya?"

Wow.

Tidak menyangka dia yang akan mencari Jongwoon terlebih dahulu.

"Tidak ada. Dia sedang istirahat di apartemen."

Tegas Sungmin. Tegas!

"Istirahat? Apa... apa dia sakit?"

Ya. Sakit hati.

"Entahlah."

"Lagipula untuk apa kau mencarinya?"

Terlalu tajam.

"Aku bukannya melarangmu menemuinya. Hanya saja dia sedang tidak ingin bertemu siapapun."

Terutama bertemu denganmu.

Hye Ri hanya menunduk dan merasa mengerti kenapa Sungmin begitu ketus padanya.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Jongwoon membutuhkanku."

Hingga harus Sungmin yang kembali angkat bicara.

Menepuk lengannya singkat dan berlalu dari sana.

Membiarkan Hye Ri yang bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

Ia hanya ingin bertemu dengan Jongwoon. Hanya ingin melihat wajahnya.

Walaupun dia tidak tahu apa yang harus ia katakan jika mereka bertemu nanti.

Lagipula tiga minggu penuh tanpa pesan atau telepon dari pria itu sedikit memberi kekosongan di hidupnya.

"Hah, bodoh."

Ya. Bodoh.

Kau menolaknya dan bahkan tidak mengatakan alasanmu.

Dan sekarang saat dia menjauh kau justru mencarinya? Tidak tahu diri.

Apa kau pikir dia akan tetap di sampingmu? Mengajakmu pergi jalan-jalan atau menikmati es krim seperti yang ia selalu lakukan sebelumnya dan bersikap seakan tidak pernah terjadi apa-apa?

Tidak mungkin.

Disini bahkan kau yang tampak jadi pemeran jahatnya.

Merutuki diri sendiri pun tidak ada gunanya.

Toh semua sudah terjadi.

Belum sepenuhnya terjadi memang. Masih ada waktu untuk merubah semuanya.

Merubah?

~

"Beberapa jadwal meeting bisa aku atasi. Dan berkas-berkas ini."

Sungmin meletakkan beberapa berkas ke atas meja di ruang tengah.

"Tidak akan menyita waktu lebih dari lima menit untuk menandatanginya."

Dia menatap Jongwoon yang bersandar dan mendongakkan kepala dengan mata terpejam.

Pria itu tampak tidak bernyawa.

Keterlaluan.

"Aku bertemu Hye Ri di kantor."

Tidak ada reaksi.

"Mencarimu. Dan tampak khawatir saat aku mengatakan kau tengah istirahat."

Tetap sama.

"Baiklah, lupakan. Kau sudah memakan apa yang aku bawa tadi pagi? Eommamu menanyakannya."

Pria ini memperbaiki posisi duduknya lalu menyodorkan tangan.

"Pulpen."

Dan langsung menandatangi berkas-berkas di depannya saat sang asisten sudah memberikan pulpen untuknya.

"Sudah aku tandatangani. Pergilah."

"Sialan."

Umpatannya sama sekali tidak berpengaruh pada pria yang sudah kembali ke posisinya semula itu.

"Setidaknya buat dirimu berguna. Jika kau tidak ingin terlalu tampak mengenaskan, kembalikan kesadaranmu. Masih ada banyak wanita di luaran sana. Kau hanya perlu mencari mana yang sesuai dengan hatimu.

"Aku pergi."

~

"Lagipula kau bukan siapa-siapa. Apa hakmu melarang Hye Ri berhubungan dengan pria lain, bodoh?"

"Berhenti meratapi semuanya. Kau terlambat."

"Seperti yang kau katakan; kau tidak akan bisa menjangkaunya lagi setelah ini."

Kata-kata itu dengan sialannya terus berputar di kepalanya.

Memang sungguh sialan orang yang mengatakannya.

Sialan. Karena semuanya benar.

Bahkan jika dia memiliki mesin waktu untuk kembali ke masa lalu, belum tentu dia bisa merubah apa yang terjadi saat ini.

"Setidaknya buat dirimu berguna. Jika kau tidak ingin terlalu tampak mengenaskan, kembalikan kesadaranmu. Masih ada banyak wanita di luaran sana. Kau hanya perlu mencari mana yang sesuai dengan hatimu.

Jongwoon kembali tersenyum miring.

Menyadari kewarasannya semakin berkurang.

Dengan malas ia memasukkan kedua tangan ke saku coatnya.

Melanjutkan kegiatannya mengitari pinggir sungai; tempat yang kebetulan tidak terlalu ramai hari ini.

Udara apartemen tidak senyaman beberapa hari yang lalu saat dia terus mengurung diri disana.

Dan akhirnya memilih untuk keluar bertemu dengan sinar matahari.

"Oppa?"

Kepalanya menoleh ke belakang saat yakin panggilan itu memang untuknya.

"Young?"

Gadis dengan beberapa paper bag di tangan itu tersenyum riang saat mengetahui pria di depannya itu memang orang yang ia kenal.

"Hai, oppa. Lama tidak berjumpa."

"Hai. Aku tidak tahu jika kau sudah kembali kemari."

Jongwoon berdiri, mendekat dan memeluk gadis itu singkat.

"Maaf. Aku belum sempat menemuimu."

"Tentu saja. Seorang psikolog profesional; Park Young Me tidak akan memiliki waktu walau hanya untuk mengirimiku pesan."

"Aish, bukan seperti itu!"

Wajah kesalnya semakin memerah saat Jongwoon hanya tertawa menanggapinya.

Sudah sangat lama. Dia sangat merindukkan pria ini.

Pria yang selalu membuatnya nyaman saat mereka bersama.

"Kau bersama siapa?"

"Sendiri. Kau sendiri? Tidak ada bodyguard yang mengawalmu?"

"Aku tidak memerlukannya."

"Tentu saja kau perlu."

Jongwoon menarik tangan sang gadis dan mengajaknya duduk.

"Kau selalu diganggu saat kuliah dulu. Jadi kau memerlukan bodyguard."

"Bukankah aku memilikimu sebagai pengawalku?"

"Dan bukankah aku tidak bisa setiap saat bersamamu?"

Jongwoon kembali terkekeh mendapati wajahnya yang tampak tidak suka dengan respon pria itu.

Pria itu tampak cerah dan selalu tersenyum.

Berbanding terbalik dengan apa yang tampak di matanya.

Terluka? Kesepian? Muram?

Jangan sebut dia seorang psikolog jika ia tidak bisa mengetahui hal sekecil itu.

"Apa kau merasa bosan mengurung diri di rumah dan akhirnya memilih pergi jalan-jalan seperti ini?"

Bingo. Pertanyaannya berhasil membuat senyuman pria itu sirna.

"Ya begitulah."

Percuma mengelak. Gadis ini ahli di bidang itu.

"Kenapa? Karena seorang gadis?"

"Tidak juga. Mungkin pekerjaan."

Young Me mengangguk dan mengikuti pandangan Jongwoon; air.

"Sebagai seorang psikolog, apa hidupmu setenang air itu? Kau pasti dengan mudah menemukan solusi dari setiap masalahmu."

"Aku rasa seorang psikolog manusia normal yang mungkin juga membutuhkan psikolog lain untuknya berkonsultasi."

"Apa kau begitu?"

"Tidak. Setidaknya sampai saat ini."

"Apa kau tengah memerlukan jasaku saat ini?"

"Mungkin. Aku rasa aku memerlukan jasamu untuk mendengarkan ocehanku nanti."

Pria itu memandangnya.

Tersenyum saat mendapat respon acungan ibu jari dari Young Me.

"Ingin makan malam denganku besok?"

~

"Secepat itu kah kau menemukan gadis lain? Wah, hebat sekali."

"Lee Sungmin."

"Tidak. Aku serius. Kau bahkan sudah beberapa kali menemuinya. Makan malam? Ke bioskop. Taman dan tempat lainnya?"

"Kau sendiri yang memintaku melupakan masalahku, bodoh."

"Maksudku, tentu saja kau harus cepat melupakannya. Aku hanya tidak mengira akan secepat ini. Tapi baguslah. Kau jadi tidak lagi uring-uringan di depanku."

Jongwoon hendak merespon saat suara ketukkan pintu menginterupsinya.

Sekretarisnya masuk dan menyerahkan sesuatu yang diterima Sungmin.

Pria itu tampak melihatnya seksama lalu menatap sang atasan.

"Apa itu?"

"Ah? Bukan apa-apa."

Ragu.

"Jika bukan apa-apa lalu kenapa diberikan padaku?"

"Maksudku ini memang ditujukan untukmu tapi bukan sesuatu yang penting."

"Undangan pernikahan, kan?"

Sungmin terkejut dan menatapnya yang hanya menampilkan ekspresi santai.

"Tidak perlu menyembunyikannya. Aku sepupunya. Aku sudah tahu bahkan saat undangan itu belum sampai ke gedung ini."

"Baiklah jika begitu."

Sungmin menghempas undangan di tangannya ke meja.

"Baiklah baiklah baiklah."

Dan berjalan kembali ke mejanya.

"Toh kau sudah melupakannya."

"Benar kan?"

Jongwoon mengalihkan wajah saat Sungmin menatapnya.

Lucu memang.

Selama tiga bulan ini dia mati-matian melupakan -lebih tepatnya 'menghindar'- dari semua hal yang membuatnya kembali kehilangan kewarasan.

Ibunya; yang sering bercerita bagaimana sempurnanya Hye Ri dan bagaimana beruntungnya Kibum mendapatkan gadis itu.

Kibum; yang memang selalu diam dan hanya menyampaikan pikirannya menggunakan tatapan mata. Seakan membanggakan fakta bahwa dia yang mendapatkan Hye Ri, bukan Jongwoon.

Dan, Hye Ri. Gadis itu beberapa kali mencoba menemuinya. Entahlah, merasa tidak nyaman mungkin karena kehilangan 'sahabat' terbaiknya.

Oh ayolah. Kau sendiri yang membuatku menghindarimu. Dan sekarang kau mengharapkan aku akan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa?

Tidak.

~

"Hei. Maaf mengabaikan pesanmu tadi."

"Tidak apa. Aku tahu kau sangat sibuk."

"Ey, lihatlah. Kau kembali menyebalkan."

"Kau kan memang sangat sibuk, sayang."

"Tidak begitu sangat sibuk hingga tidak sempat membalas pesanmu."

"Baiklah. Lagipula aku tidak marah, kan? Jadi tenanglah."

Jongwoon mengucapkan terima kasih saat seorang pelayan meletakkan pesanan mereka.

"Ingin menemaniku minggu depan?"

"Kemana?"

"Pernikahan sepupuku. Jika kau tidak sibuk."

Young Me tersenyum dan mengangguk.

"Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendiri, kan?"

Sendiri menyaksikan pernikahan orang yang kau cintai.

"Hm. Terima kasih."

Jongwoon meraih tangannya.

Menyampaikan perasaan terima kasih serta penyesalannya.

Menggunakan gadis itu untuk melupakan orang lain. Pelarian.

Gadis yang mengetahui itu tapi tetap bertahan di sampingnya.

Apa dia harus menyakiti orang lain sama seperti dirinya yang tersakiti saat ini?

~

"Aku akan menunggu disini. Eomma masuk saja sekarang."

"Kenapa? Kau tidak ingin bertemu Kibum? Lagipula ada banyak hal yang harus eomma diskusikan dengan bibimu."

"Baiklah. Aku akan turun."

Pria itu dengan malas melepas seatbeltnya dan ikut turun dari mobil.

Memperhatikan sang ibu yang masuk ke dalam rumah pamannya.

Sedang dia sendiri memilih untuk duduk di teras.

Jika saja sang ibu tidak mati-matian memaksanya mengantar kemari, dia pasti sudah kembali mengurung diri di apartemen.

Ayolah, bukan alasan hari ini hari minggu yang membuatnya malas.

Tapi karena... tujuan mereka.

Pandangannya di layar ponsel terhenti saat melihat seseorang yang baru turun dari mobilnya.

Tepat sekali. Salah satu hal yang ia hindari.

"Oppa."

"Hm. Lama tidak berjumpa."

Dia kembali menatap ponselnya.

"Maaf."

"Untuk?"

"Entahlah. Aku rasa aku perlu meminta maaf."

"Kalau begitu aku memaafkanmu."

Tangannya terus bergerak di layar ponsel.

Tidak memperdulikan Hye Ri yang masih berdiri di tempatnya.

"Kau tidak ingin masuk? Mereka sudah menunggumu sepertinya."

"Kau sendiri?"

"Aku disini saja. Lagipula aku hanya ingin mengantar ibuku."

"Baiklah."

Hye Ri dengan ragu berjalan menjauh. Tidak berani lebih lama menganggunya.

Padahal sejak melihat Jongwoon melalui mobilnya, dia sudah menyiapkan banyak hal untuk dikatakan pada pria itu.

Pria yang sangat ia rindukan.

Tapi memang tepat seperti yang ia perkirakan; pria itu menghindarinya.

"Oppa."

Dia berhenti dan berbalik.

"Bisa menemuiku nanti malam? Di apartemenku?"

Pria itu menoleh padanya.

Diam sejenak.

"Akan aku usahakan."

Dan kembali menatap ponselnya.

Tanpa memperhatikan Hye Ri yang mengusap pelan tengkuknya dan berjalan masuk ke dalam.

~

"Aku menghindarinya selama berminggu-minggu, dan sekarang dengan bodohnya aku bersedia untuk datang kemari?"

Jongwoon tersenyum miring dan mengeluarkan tangannya dari saku jaket.

Lalu menekan bel pintu.

Berusaha menahan kakinya yang hendak berjalan menjauh dari tempat itu.

Kali ini saja. Anggaplah untuk terakhir kalinya mereka bertemu hanya berdua.

Pikirannya teralih saat pintu di depannya terbuka.

Gadis itu seketika tersenyum lebar saat melihatnya.

"Kau kemari?"

"Kau tidak suka?"

"Bukan, bukan. Aku hanya senang karena kau bersedia datang."

"Aku hanya kebetulan melewati tempat ini dan teringat permintaanmu tadi siang."

"Benarkah? Kalau begitu masuklah."

Dia bergeser dengan senyuman yang masih terpaut di bibirnya.

Sesenang itukah dia dengan kedatangan Jongwoon?

"Apa ada yang ingin kau bicarakan? Aku rasa aku tidak bisa terlalu lama disini. Kau kekasih sepupuku, tidak baik jika aku menemuimu seperti ini."

Perkataannya berhasil melenyapkan senyuman gadis itu.

Pria ini. Benar-benar seperti orang asing baginya.

"Aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya ingin meminta maaf dengan lebih baik."

"Bukankah aku sudah memaafkanmu? Lagipula aku masih tidak tahu kata maafmu untuk apa."

Dia memandang sang gadis yang duduk di sofa setelah mempersilahkannya.

"Kau tahu untuk apa. Kau menghindariku dan aku rasa aku melakukan kesalahan."

Kau 'rasa'?.

Pria itu menarik nafas dalam.

"Bukan salahmu. Seharusnya aku yang meminta maaf karena aku membuat hubungan kita jadi buruk."

"Tidak. Jika saja saat itu aku menjelaskan alasanku pasti semuanya tidak seburuk ini."

Walaupun kau mengatakan alasannya, bukankah hasilnya akan tetap sama? Hubungan kita tetap akan berubah?

"Kau tidak perlu menjelaskannya. Aku yang tidak tahu diri karena tiba-tiba melamarmu. Hubungan kita bahkan tidak lebih dari sahabat sebelumnya, kan? Dan aku dengan seenaknya menyatakan perasaanku padamu."

Dia kembali menarik nafas.

Ekspresi gadis itu tidak baik sekarang.

Memang dia kan yang salah?

Semua juga tahu ketika kau menyukai sahabatmu sendiri dan berani bertindak, maka sejak itu persahabatan kalian tidak akan lagi sama.

"Dan terlebih dari itu, aku dengan bodohnya menyukai kekasih sepupuku sendiri. Aku tampak jadi pria yang tidak tahu malu kan?"

"Bukan."

Hye Ri menggeleng.

Merasakan desakkan air di matanya.

"Kau tidak tahu yang sebenarnya."

"Benar. Karena itu aku tidak tahu jika kalian berhubungan dan dengan tidak sopan mengharapkanmu menjadi milikku."

"Oppa... Dengarkan aku."

Jongwoon terhenyak dengan air matanya.

Gadis itu menangis? Lagi? Karenanya?

"Aku mencintaimu."

Dan sekarang dia mengharapkan gadis itu mengatakan cinta padanya?

"Dia beruntung mendapatkanmu."

"Oppa! Aku mencintaimu!"

"Kau tahu berapa lama aku menunggu kau mengatakan perasaanmu? Dan kenapa harus mengatakannya sekarang? Kau terlambat!"

Baiklah. Perlu sedikit waktu untuk mencerna kalimat gadis itu.

"Kau... kau bercanda?"

Yang ditanya hanya menggeleng dan menunduk. Menyembunyikan wajah basahnya.

"Hye..."

Dia beringsut mendekat.

"Kau serius?"

"Aku memang menyukai Kibum. Tapi membandingkannya yang lebih sering berdebat denganku dan kau yang selalu membuatku tersenyum. Kau pikir aku akan lebih memilih siapa?"

"Maaf. Maaf."

"Aku tidak ingin kau menganggapku merusak persahabatan kita. Karena itu aku tidak pernah mengatakannya."

"Aku selalu menunggu. Tapi Kibum mendahuluimu. Aku merasa akan sia-sia jika terus menunggu dan aku pikir kau memang hanya menganggapku sebagai adik."

"Tidak. Kau salah. Aku menyukaimu, jauh lebih lama dari yang kau bisa bayangkan."

"Tapi aku tidak tahu, kan? Dan kau membuatku menunggu harapan kosong."

Dia bergerak menjauh, tidak ingin Jongwoon terlalu dekat dengannya.

Pria itu membuat nafasnya semakin cekat.

Tangan Jongwoon mendekat; hendak mengusap air mata di pipinya.

"Tidak."

Yang ia respon dengan tolakkan.

"Maaf. Sekali lagi maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu."

"Aku tahu aku juga melukaimu. Tapi kau harus tahu seberapa besar aku mengharapkanmu, oppa."

Jongwoon mengusap kasar wajahnya.

Penyesalannya lebih dalam.

Bukan hanya ia seharusnya menyatakan perasaannya sejak dulu, tapi juga penyesalan karena tidak dengan cepat menyadari jika cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Aku berharap bisa mengulang waktu."

Lebih ke merutuki dirinya sendiri.

"Aku juga."

Hye Ri berdiri dan meninggalkan ruang tengah.

Meninggalkan Jongwoon yang menangkup wajahnya.

Haruskah dia merasa hancur untuk kedua kalinya?

Bisa kau bayangkan? Seandainya dia menyatakan cintanya lebih dulu. Seandainya dia mengetahui jika Hye Ri juga mencintainya.

Mereka akan bersama. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi dengan status yang berbeda.

Bayangkan kebahagaiaan yang akan mereka rasakan.

Tapi bukankah sekarang hanya kata 'seandainya' yang ada?

Apa keadaan akan berubah setelah ini? Apa dia harus melakukan sesuatu?

Toh dia sudah tahu jika Hye Ri memiliki perasaan yang sama dengannya.

Mereka memiliki kesempatan itu.

Tapi Kibum? Setega itu kah dia? Merebut kekasih pria itu?

Dan Hye Ri? Sebegitu beraninya kah dia meninggalkan Kibum untuknya?

"Maaf. Aku tidak bisa membiarkanmu tidak tahu perasaanku."

Gadis itu muncul dan meletakkan minuman untuknya.

Matanya tampak membengkak memang. Tapi air mata sudah tidak menghiasi wajahnya lagi.

"Ya setidaknya kita jadi tahu yang sebenarnya. Tidak apa. Lagipula tidak ada yang akan berubah walau kita saling terbuka seperti ini."

"Hm. Benar. Tidak akan ada yang berubah."

"Sekarang aku hanya menginginkan kebahagianmu. Karena kau bersama seseorang yang aku kenal, aku merasa aman melepasmu."

"Oppa."

"Dia memang beruntung. Dan berhak mendapatkanmu. Pria yang berani dan tidak penakut seperti ku."

"Kau tidak seperti itu."

"Ya, aku tahu jika kau sangat mengenalku."

Jongwoon dengan santai mengusap kepala Hye Ri.

Sekali lagi; untuk terakhir kalinya.

"Walau aku terus menerus menyesal dan meratapi semuanya, tidak akan ada tombol 'Rewind' yang bisa aku tekan."

"Aku hanya harus terus melanjutkan hidup dan menyadari betapa beruntungnya aku pernah menjadi orang spesial di hatimu."

"Aku yang merasa beruntung memiliki seseorang sepertimu di sampingku. Kau selalu menjaga dan melindungiku."

"Itu tugasku. Aku merasa perlu melakukannya."

"Dan mulai sekarang Kibum yang akan melakukannya. Lebih baik dan lebih pantas dariku."

Jongwoon berdiri; menatap lekat Hye Ri.

Walau sangat sakit tapi ada perasaan lega mengetahui perasaan gadis itu yang sebenarnya.

Gadis yang harus ia usahakan untuk tidak terus memenuhi otaknya sejak saat ini.

"Aku akan pergi. Kau istirahatlah. Dan jika perlu lupakan semua yang kita bicarakan malam ini."

Dia bergerak gelisah. Ragu hendak mendekat.

Yang akhirnya gadis itu yang lebih dulu bertindak dan memeluknya.

"Maaf. Dan terima kasih."

"Jangan meminta maaf. Kau tahu aku tidak suka kata itu."

Dia membalas dan mengusap pelan rambut Hye Ri.

Menikmati momen terakhir seperti ini.

"Berbahagialah. Aku mencintaimu."

Jongwoon mengecup puncak kepala Hye Ri dan melepaskan pelukannya.

Lalu segera berlalu dari sana sebelum kembali melihat air mata gadis yang dicintainya.

Harus seperti ini kah akhirnya?

Saling mencintai tapi tidak bisa saling memiliki.

Dan apakah semuanya akan bertambah buruk jika salah satu dari mereka menikah dengan orang yang tidak dia cintai?

Tidak. Bukan seperti itu.

Hye Ri mencintai Kibum, begitu juga sebaliknya.

Tidak akan ada hal yang lebih buruk.

Hanya dia yang harus memastikan jika keadaannya tidak bertambah buruk.

Dengan cara?

"Young? Bisa kita bertemu?"

~

"Aku tampak semakin bodoh sekarang. Harusnya aku lebih berani dan bertindak sejak lama."

"Oppa. Tenangkan dirimu."

"Bukan begitu, Young. Aku hanya tidak bisa terima karena aku juga menyakitinya. Pria macam apa aku?"

"Kau pria baik yang sudah menyelesaikan tugasmu untuk menjaganya. Dia mendapatkan seseorang yang tepat sebgai penggantimu."

Jongwoon menoleh dan menemukan Young Me yang tersenyum menenangkan.

Senyum yang membuatnya merasa jadi pria yang kejam.

Menceritakan gadis lain di depan gadisnya sendiri.

"Maaf."

Dia mendekat dan mengecup sekilas bibir Young Me.

Meletakkan tangan ke tengkuk gadis itu.

"Maaf."

Sekali lagi.

Dia menempelken bibirnya.

Menahannya sejenak dan mulai menggerakannya.

Bukan bermaksud ingin membuatnya terluka.

Hanya saja saat ini dia adalah orang yang paling tepat untuk mendengar ocehannya.

"Berhenti meminta maaf. Memangnya kau salah apa?"

Young Me menangkup wajah Jongwoon.

"Bukankah aku tidak pernah keberatan untuk mendengar keluhanmu?"

"Kau... Kenapa?"

"Aku mencintaimu. Kau tahu itu."

"Dan kau tahu aku mencintai gadis lain. Walaupun aku tidak akan bisa memilikinya."

Young Me tersenyum dan mencium lekat bibit Jongwoon.

"Aku tahu itu. Yang kulakukan hanya berusaha membuatmu membalasku."

"Dan jika kau gagal?"

"Apa kau akan membuatku gagal?"

Jongwoon mengalihkan wajah dan memandang langit malam yang terpampang dari jendela kaca super besar di sampingnya.

Dia tidak ingin. Tapi bisakah dia membalas perasaan gadis itu?

Dia ingin mencoba tapi disisi lain dia takut akan mengecewakannya.

Dan akan menambah satu lagi orang yang terluka karenanya.

"Tidak."

"Aku tidak seharusnya menggagalkan usahamu."

Menatap Young Me yang masih lekat memandangnya.

"Aku."

"Aku akan berusaha mencintaimu."

"Sepenuhnya."

"Bukan menjadikanmu sebagai pelarian."

"Bisa kau bantu aku melakukannya?"

Yang membuat gadis itu tersenyum dan bergerak memeluknya.

"Pasti. Dan terima kasih."

"Kau yang berhak mendapat ucapan itu dariku."

Jongwoon mengeratkan tangannya.

Ingin membuat atmosfer gadis itu menghilangkan Hye Ri dari pikirannya.

Dia akan mencobanya.

"Dan semoga aku berhasil."




FIN
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar